Saham Tech Naik Gila-Gilaan, Krisis Bubble Dotcom Akan Terulang?

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekhawatiran akan tingginya valuasi pasar saham Amerika Serikat (AS) kembali muncul setelah ketua The Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell, menyinggung soal mahalnya harga aset, termasuk saham yang terkait dengan teknologi Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan (AI).

Dalam pidatonnya di Providance, Rhode Island, pada Selasa (23/9/2025), Powell menyebut harga saham saat ini sudah berada di level yang cukup tinggi berdasarkan berbagai ukuran.

Powell mengatakan, The Fed memang memantau kondisi keuangan secara keseluruhan termasuk bagaimana kebijakan moneter akan mempengaruhi pasar.

"Tapi benar, dengan banyak ukuran, misalnya harga saham dinilai cukup tinggi," ujar Powell, dikutip dari CNBC International.

Komentar Powell tersebut muncul di tengah reli kenaikan harga saham di AS yang telah terjadi sebelum pengumuman pemangkasan suku bunga The Fed pekan lalu, pelaku pasar telah meyakini The Fed akan memangkas suku bunga acuannya.

Ekspektasi pasar tersebut terbukti benar, dengan hasil Federal Open Market Committee (FOMC) yang memutuskan untuk pemangkasan 25 basis poin ke level 4,00%-4,25%. Hal ini kembali mendorong indeks saham AS seperti S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) mencetak rekor harga tertinggi sepanjang masa.

Namun, Powell menegaskan bahwa meskipun valuasi saham terlihat mahal, saat ini bukanlah periode di mana risiko stabilitas keuangan berada di level yang mengkhawatirkan.

Meski begitu, pasar saham AS langsung berbalik melemah usai komentar Powell tersebut. Nasdaq ditutup melemah 0,95% di level 22.573,47 pada perdagangan kemarin, Selasa (23/9/2025).

Akankah Terjadi AI Bubble Seperti Dot-Com Bubble 2002?

Kenaikan harga saham-saham AI di AS membuat kekhawatiran akan terjadinya bubble mulai muncul.

Jerome Powell, bahkan secara terbuka mengakui bahwa perekonomian Amerika Serikat saat ini tengah menyaksikan aktivitas ekonomi dalam jumlah yang luar biasa besar melalui pembangunan AI.

Goldman Sachs mencatat, belanja terkait AI menyumbang hampir seluruh kenaikan investasi korporasi sebesar 7% secara tahunan pada musim semi lalu. Sementara itu, pasar tenaga kerja AS justru melemah , data menunjukkan penambahan pekerjaan hanya 22 ribu pada Agustus, dengan tingkat pengangguran naik ke 4,3%.

Powell menyebut kondisi ini sebagai situasi PHK rendah, tapi perekrutan juga lesu yang jika dikombinasikan dengan ledakan belanja AI memiliki risiko memperlebar ketimpangan sosial dan menyulitkan mandat The Fed dalam menjaga inflasi dan lapangan kerja.

Nada waspada juga datang dari para pelaku industri.

CEO OpenAI, Sam Altman, menilai saat ini memang ada potensi terjadi bubble.

"Ketika bubble terjadi, orang-orang biasanya terlalu bersemangat pada sedikit kebenaran. Apakah investor terlalu bersemangat pada AI? Ya. Apakah AI adalah hal terpenting dalam waktu yang sangat lama? Juga ya," ujarnya, dikutip dari CNBC International.

Altman bahkan membandingkan kondisi ini dengan dot-com bubble pada awal 2000an, ketika indeks Nasdaq kehilangan hampir 80% nilainya karena banyak perusahaan internet gagal menghasilkan pendapatan maupun laba.

Sejumlah tokoh lain seperti Joe Tsai, Ray Dalio, hingga ekonom Torsten Slok juga memperingatkan bahwa valuasi 10 saham terbesar S&P 500 saat ini bahkan lebih mahal dibandingkan era 1990-an.

Meski demikian, bukan berarti gelembung AI pasti akan pecah seperti dot-com bubble.

Berbeda dengan tahun 2000an awal, kini fondasi bisnis jauh lebih nyata. Perusahaan penyedia infrastruktur cloud atau hyperscaler telah terbukti mampu mencetak arus kas yang kuat, adopsi AI juga telah meluas ke produk mapan seperti perangkat lunak, layanan cloud, hingga periklanan digital, sementara permintaan komputasi untuk model bahasa besar terus meningkat secara struktural.

Melihat Valuasi Saham-Saham AI Berdasarkan PEG

Salah satu metrik penting dalam menilai kewajaran harga saham adalah Price to Earnings Growth (PEG) ratio. Konsep ini dipopulerkan oleh investor legendaris Peter Lynch, yang berpendapat bahwa perusahaan dengan valuasi "wajar" umumnya memiliki rasio P/E yang setara dengan tingkat pertumbuhan laba jangka panjangnya.

Secara sederhana, rasio PEG dihitung dengan membagi Price to Earnings (PER) dengan tingkat pertumbuhan laba per saham (CAGR EPS) dalam lima tahun. Hasilnya menjadi indikator apakah harga saham sejalan dengan kinerja fundamentalnya.

Jika nilai PEG berada di angka 1, maka saham dianggap berada pada valuasi wajar, karena rasio harga sebanding dengan proyeksi pertumbuhan laba.

Apabila PEG kurang dari 1, saham dinilai undervalued atau relatif murah, sebab harga pasar belum sepenuhnya mencerminkan potensi pertumbuhannya. Sebaliknya, bila PEG lebih besar dari 1, saham tersebut dianggap overvalued, di mana harga pasar sudah terlalu tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan laba yang dimiliki.

Dengan demikian, PEG membantu investor menilai apakah suatu saham hanya mahal secara PER atau justru masih masuk akal jika dibandingkan dengan prospek pertumbuhannya.

Berikut ini valuasi sejumlah perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat yang tengah fokus pada riset dan pengembangan kecerdasan buatan (AI). 

Nvidia misalnya, meski diperdagangkan pada PER 54 kali, memiliki pertumbuhan laba lima tahun (CAGR EPS) sebesar 71% sehingga rasio PEG-nya hanya 0,8.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meski harganya terkesan mahal secara PER, pertumbuhan laba yang luar biasa membuat saham Nvidia justru tergolong undervalued dibandingkan prospeknya.

Hal serupa juga terlihat pada Alphabet yang mencatat PER 27 dengan pertumbuhan laba rata-rata dalam lima tahun sebesar 29% sehingga menghasilkan PEG 0,9. Rasio tersebut memperlihatkan valuasi Alphabet masih tergolong wajar, bahkan sedikit murah, sejalan dengan fundamental bisnis cloud dan AI yang solid.

Berbeda dengan Microsoft yang diperdagangkan di PER 38 kali dengan pertumbuhan laba 22%, PEG yang terbentuk mencapai 1,8.

Angka ini menandakan valuasi Microsoft sudah premium, di mana investor harus membayar lebih mahal dibanding proyeksi pertumbuhannya.

Meta Platforms menunjukkan situasi yang relatif seimbang. Dengan PER 28 kali dan pertumbuhan EPS 25%, PEG Meta berada di 1,1. Valuasi ini mendekati "fair value," meski ada sedikit premi yang dibayar investor.

Broadcom juga menampilkan PER yang tinggi, yakni 65 kali.

Namun, pertumbuhan laba yang mencapai 61% membuat rasio PEG perusahaan berada di 1,1. Dengan demikian, valuasinya masih dapat dikatakan wajar, terutama karena prospek bisnis semikonduktor untuk AI yang sangat kuat. Sementara itu, Amazon justru terlihat paling mahal.

Dengan PER 35 kali tetapi pertumbuhan laba hanya 8%, rasio PEG perusahaan melonjak ke 4,3, jauh di atas ambang batas wajar 1,0. Hal ini menunjukkan valuasi Amazon cukup mahal jika dibandingkan dengan prospek pertumbuhannya, sehingga mencerminkan risiko tersendiri bagi investor yang membeli di level harga saat ini.

Penting untuk diingat bahwa rasio PEG sangat bergantung pada konsistensi pertumbuhan laba perusahaan. Jika laju pertumbuhan tersebut gagal dipertahankan, maka rasio PEG dapat dengan cepat berubah menjadi tidak lagi menarik.

Oleh karena itu, perlu dicermati dan dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan ini benar-benar mampu menjaga momentum kinerja fundamentalnya agar valuasi yang saat ini tampak wajar tidak berubah menjadi jebakan harga mahal dan berpotensi menjadi bubble.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |