Ratusan Tahun Dicari, Orang Eropa Temukan Surga Bumi di Lokasi Ini

3 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Imajinasi orang Eropa tentang surga tidak selalu berkaitan dengan kehidupan setelah mati. Sejak ratusan tahun lalu, mereka juga membayangkan surga di muka bumi-tempat indah untuk melepas penat, memanjakan mata, dan menata ulang kehidupan. Dalam khayalan itu, surga berisi gunung, pantai, hutan lebat, lautan, serta kesenian yang hidup berdampingan dalam satu ruang.

Namun, imajinasi tersebut lama sulit terwujud. Orang Eropa terkurung di Benua Biru jauh dari wilayah tropis yang selama ini hanya hadir dalam cerita dan lukisan. Situasi baru berubah ketika era penjelajahan samudra dimulai. Perlahan, mereka menemukan jawaban atas mimpi lama tentang surga dunia setelah ratusan tahun. Salah satu tempat yang paling mendekati bayangan itu berada di Indonesia, yakni Pulau Bali, yang kemudian dijuluki The Last Paradise atau surga terakhir.

Pada awalnya, Bali merupakan wilayah yang relatif tertutup dan terpencil dari Eropa. Kontak pertama dengan orang Eropa tercatat pada abad ke-16 melalui penjelajah Belanda, Cornelis de Houtman, yang singgah pada 25 Januari 1597. Catatan perjalanannya menjadi pintu masuk Bali ke dalam imajinasi Eropa, meski kedatangan orang Barat setelahnya lebih banyak bermotif kolonialisme.

Memasuki awal abad ke-20, arah hubungan tersebut berubah. Seiring berkembangnya pariwisata di Hindia Belanda, Bali mulai diposisikan sebagai tujuan wisata. Sejarawan Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas (2008) mencatat, pemerintah kolonial sengaja membentuk Bali sebagai "museum hidup". Keindahan alam, kesenian, keramahan penduduk, sistem kasta, hingga praktik keagamaan dianggap sebagai keunikan yang tak ditemukan di tempat lain dan selaras dengan imajinasi Eropa tentang surga dunia.

"Dengan demikian, orang-orang Barat dapat menyimpan kenangan akan Bali sebagai surga romantis dan menyusun kisah rekaan tentang inti "karakter Bali", sistem demokrasi desa kuno, dan integrasi seni serta agama yang membahagiakan dan harmonis dalam kehidupan sehari-hari," ungkap Gouda.

Kebijakan ini mendorong proses Balinisasi dan membuka arus wisatawan, sehingga Bali tak lagi dianggap terpencil. Para seniman memainkan peran penting dengan melukiskan keindahan Bali dan mempublikasikannya di berbagai media. Sejarawan Achmad Sunjayadi dalam Pariwisata di Hindia Belanda (2019) mengungkap, pada dekade 1920-an, biro perjalanan wisata mulai membuka paket tur ke Bali. Kendala transportasi dan penginapan diatasi lewat pembukaan jalur pelayaran langsung serta pendirian hotel pertama di Bali, Hotel Bali.

Sejak saat itu, jumlah wisatawan melonjak pesat. Pada 1930, tercatat 50-100 wisatawan asing datang setiap bulan. Angka ini meningkat hingga 4.500-5.000 orang per tahun pada 1936, mayoritas berasal dari luar negeri. Banyak wisatawan memberikan kesan positif, meski kehadiran turis juga memicu kritik. Sejumlah pihak menilai Bali telah "dijual" demi keuntungan kolonial, termasuk melalui komodifikasi kebudayaan.

Meski menuai polemik, citra Bali sebagai The Last Paradise terus bertahan. Setelah Indonesia merdeka, daya tarik tersebut justru semakin menguat. Hingga kini, setiap musim liburan, Pulau Dewata hampir selalu dipadati wisatawan yang ingin menyaksikan, atau mengejar, imajinasi lama orang Eropa tentang surga di bumi.

(mfa/mfa)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |