Jakarta -
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkap faktor yang membuat sejumlah anak terlibat kerusuhan pada Agustus lalu. Menteri PPPA Arifah Fauzi menyebut salah satunya karena faktor media sosial.
"Analisa internal yang kami lakukan, kenapa kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi, ada lima faktor di analisa kami. Yang pertama adalah faktor ekonomi, yang kedua adalah faktor pola asuh, yang ketiga faktor media sosial," kata Menteri PPPA Arifah Fauzi kepada wartawan seusai FGD bersama Bareskrim Polri di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (4/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menawarkan solusi permasalahan itu dengan permainan tradisional yang berbasis kearifan lokal. Kementerian PPPA sudah berkoordinasi dengan pimpinan daerah, agar di setiap sekolah disediakan permainan tradisional yang berbasis kearifan lokal.
"Agar anak-anak kita saat waktu istirahat tidak fokus pada gadget, tetapi bisa lebih bersosialisasi melalui permainan tradisional yang berbasis kearifan lokal," jelasnya.
"Penanganan anak yang terlibat dalam situasi kerusuhan, konflik atau situasi berbahaya lainnya, bukan hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, tetapi merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi hak asasi manusia," sambung dia.
Selanjutnya Arifah menerangkan, Kementerian PPA akan berkoordinasi bersama Kemendikdasmen untuk membuat kebijakan penertiban media sosial untuk anak. Pembatasan ini agar angka kerusuhan melibatkan anak atau kekerasan terhadap perempuan menurun.
Upaya itu akan mengacu ke Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 87 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Pelindungan Anak di Ranah dalam Jaringan Tahun 2025-2029. Aturan ini merupakan dasar pelaksanaan pelindungan anak di ranah dalam jaringan secara sistematis, terarah, dan terukur serta menjadi panduan bagi kementerian/Lembaga, pemerintah daerah provinsi (pemprov), dan pemerintah daerah kabupaten/kota.
"Kami sudah ada PP peta jalan perlindungan anak di dunia daring. Jadi ini sedang bersama-sama. Tapi kami ingin menuju bersama dengan Kemendikdasmen, mudah-mudahan kita bisa mengupayakan pembatasan penggunaan media sosial untuk anak-anak," sambungnya.
Sebelumnya, Bareskrim Polri mengungkap ratusan anak terlibat dalam kerusuhan di tengah demonstrasi Agustus lalu. Angka terbanyak terdapat di Polda Jawa Timur 144 anak.
Wakabareskrim Irjen Nunung Syaifuddin membeberkan yang terbanyak ada di Polda Jawa Timur, yakni 144 anak. Kemudian peringkat kedua terbanyak ada di Polda Jawa Tengah sebanyak 77 anak. Kemudian Polda Jawa Barat ada 34 anak, Polda Metro Jaya 36 anak, sisanya terdapat di Polda DIY, NTB, Lampung, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Bali, dan Sumatera Selatan.
"Yang menarik, lebih dari 90 persen dari mereka adalah pelajar, mulai dari SMP hingga SMA atau SMK, bahkan ada yang masih mengikuti program kejar paket. Sebagian besar terseret bukan karena niat kriminal, tetapi karena ikut-ikutan, termobilisasi, atau tidak memahami konsekuensi hukum dari tindakannya," kata Irjen Nunung.
Dia melanjutkan, dari 332 anak terlibat kerusuhan itu, 160 anak diantaranya telah menjalani diversi, 37 anak ditangani melalui pendekatan restorative justice, 28 anak masih berada di tahap satu, 73 anak di tahap dua. Kemudian 34 anak berkasnya telah dinyatakan P21 atau siap diserahkan ke kejaksaan.
(idn/idn)

















































