Jakarta, CNBC Indonesia - Dari sekian banyak tokoh bernama Purbaya, ada satu sosok yang tercatat dalam sejarah Indonesia karena kisah heroiknya menentang dominasi perusahaan asing. Dia adalah Purbaya dari Kesultanan Mataram pada awal abad ke-18 yang berani menolak tunduk pada kebijakan ekonomi perusahaan asing asal Belanda, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Menurut Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999), Purbaya merupakan putra dari Pakubuwana I (1704-1719) dan adik dari Amangkurat IV (1719-1726). Berbeda dengan kakaknya yang pro-VOC, Purbaya justru menentang keras campur tangan perusahaan asing itu dalam urusan istana Mataram.
Penolakannya kemudian berubah menjadi perlawanan terbuka. Mengutip sejarawan Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru (1987), pada November 1719, Purbaya bersama saudaranya, Pangeran Blitar, serta beberapa bangsawan lain memimpin pemberontakan melawan Amangkurat IV. Namun, pemberontakan itu tidak bertahan lama. Pada bulan yang sama, VOC mengambil inisiatif menyerang dan berhasil mengusir para pangeran dari markas mereka di Mataram.
Akhirnya, pada Mei dan Juni 1723, para pemberontak yang tersisa menyerah, termasuk Purbaya. Dia kemudian ditahan di Batavia. Dari sini, kebenciannya terhadap VOC makin tumbuh.
Saat itu, VOC sebenarnya sendiri tengah menghadapi masa sulit. Banyak pos perdagangan mereka di Nusantara merugi, sementara pengeluaran meningkat akibat berbagai pemberontakan. Di sisi lain, keuangan istana Mataram juga carut-marut. Terlebih, usai VOC membebani biaya perang kepada Mataram dan membuat utang makin menumpuk hingga sulit dibayar.
Kondisi ini berlanjut setelah Amangkurat IV wafat pada 1726 karena diracun dan digantikan oleh anaknya, Pakubuwana II, yang masih berusia 15 tahun. Di awal pemerintahannya, Pakubuwana II yang pikirannya banyak dipengaruhi oleh ibunya langsung menyatakan niat melunasi utang terhadap VOC. Ini dianggap anomali sebab kas istana tengah kosong.
Foto: VOC
VOC
"Raja berjanji membayar 10.000 real setiap tahun selama 22 tahun untuk menutup bunga dan utang, 15.600 real setiap tahun untuk membiayai garnisun VOC di Kartasura dan 1.000 koyan (1.700 metrik ton) beras selama 50 tahun," ungkap Ricklefs.
Kebijakan itu membuat Purbaya semakin membenci VOC. Ketegangan meningkat lagi pada 1735, ketika VOC secara sepihak mengumumkan revaluasi mata uang utamanya sebesar 25%. Ini dibuat sebagai pembalasan atas kebijakan Mataram yang sebelumnya menurunkan nilai mata uang VOC dan menyebabkan kerugian besar.
Namun, rakyat dan kerajaan Jawa menolak mengakui kebijakan itu. VOC tetap harus mengeluarkan uang lebih untuk mencapai nilai yang setara dengan mata uang yang dipakai oleh warga Jawa. Akibatnya, para pegawai VOC justru kehilangan daya beli dan kebijakan ekonomi VOC di Jawa berantakan.
Pada titik ini, VOC menuding Purbaya sebagai biang kerok berdasarkan laporan para bangsawan anti-Purbaya. VOC mengklaim, Purbaya menghasut rakyat agar menolak kebijakannya.
Meski demikian, posisi Purbaya di istana tak melemah dan justru menguat. Pada 1737, dia diangkat sebagai patih alias tangan kanan raja. Namun, pengaruhnya mulai memudar ketika saudara perempuannya, istri Pakubuwana II, meninggal dunia pada 1738 setelah melahirkan. Tanpa bekingan internal dan tekanan politik makin kuat, Purbaya akhirnya diserahkan kepada VOC.
Pada titik inilah, VOC meraih kemenangan atas Purbaya. Agar benar-benar tidak kembali melawan dan memberikan pengaruh buruk ke masyarakat, Purbaya kemudian dibuang ke Sri Lanka. Pada titik inilah, kiprah Pangeran Purbaya pun berakhir.
(mfa/wur) Next Article Raja Ampat Simpan Banyak Harta Karun, Jadi Rebutan Banyak Orang

















































