Proyek Pengganti LPG RI Dipercepat, Pemerintah Berburu Teknologi

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong percepatan proyek hilirisasi energi yang salah satunya berfokus pada produksi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG). Saat ini, pemenuhan kebutuhan LPG dalam negeri masih didorong oleh impor.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan arahan percepatan tersebut disampaikan langsung oleh Presiden dalam Rapat Terbatas di Istana Merdeka, Kamis (6/11/2025).

"Percepatan hilirisasi baik di sektor perikanan, kemudian di sektor pertanian, dan di sektor energi dan mineral batu bara. Tadi kami sudah membicarakan setelah pulang dari Cilegon, arahan Bapak Presiden dari 18 proyek yang sudah selesai pra-FS (feasibility study), dan sudah dibicarakan dengan Danantara, tadi Pak Rosan juga, kita akan selesaikan di tahun ini untuk semuanya," kata Bahlil, dikutip Jumat (7/11/2025).

Salah satu fokus utama percepatan adalah pengembangan DME yang diharapkan dapat menggantikan ketergantungan terhadap impor LPG. Pemerintah menargetkan sebanyak 18 proyek hilirisasi berbagai sektor yang bernilai lebih dari Rp 600 triliun dapat beroperasi pada 2026.

"Dengan kita melakukan percepatan 18 proyek yang nilai investasinya lebih dari Rp600 triliun, maka ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, dan produk-produknya itu menjadikan sebagai substitusi impor," imbuhnya.

Dalam catatannya, kebutuhan LPG nasional bertambah sekitar 1,2 juta ton per tahun dan akan meningkat hampir sepuluh kali lipat pada 2026. Karena itu, Presiden Prabowo menegaskan perlunya membangun industri energi dalam negeri sesegera mungkin.

"Kita tahu bahwa tadi kita baru habis resmikan Cilegon, itu kita membutuhkan LPG kurang lebih sekitar 1,2 juta ton per tahun. Maka konsumsi kita nanti ke depan, di 2026, itu sudah mencapai hampir 10 juta ton LPG. Tidak bisa kita lama, kita harus segera membangun industri-industri dalam negeri," jelasnya.

Teknologi

CEO Badan Pengelola Investasi Danantara Rosan Roeslani mengatakan proses evaluasi di Danantara akan melihat keseluruhan proyek yang feasible untuk dikerjakan. Beberapa hal yang yang dilihat terkait dengan kemampuan teknologi, melihat proyek ini sempat gagal dibangun.

"Kita juga memastikan dulu untuk teknologinya, teknologi yang kita utamakan adalah yang up to date juga dan paling efisien lah, karena kan DME ini dulu pernah dicoba jalankan, ya kan? sempat groundbreaking malah, tapi kemudian berhenti," kata Rosan, usai rapat di Istana Negara terkait hilirisasi, Kamis (6/11/2025).

"Nah hal itu yang kami kalau di Danantara tidak ada, tidak mau ada hal itu terjadi," tambahnya.

Sehingga menurut Rosan, evaluasi secara menyeluruh ini penting untuk mencapai target yang dicanangkan. Hingga pada akhirnya nanti diputuskan untuk melakukan peletakan batu pertama.

Lebih lanjut, Rosan juga mengatakan tak mempermasalahkan pendanaan, karena Danantara bisa melakukan investasi langsung. Namun terkait berapa nominal investasi yang diperlukan, masih belum bisa dibeberkan.

"Saya nggak ingat angkanya, soalnya ada banyak angka-angkanya," kata Rosan.

Asal tahu saja, pemerintah sudah melakukan peletakan batu pertama proyek hilirisasi batu bara menjadi DME pada 24 Januari tahun 2022 di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, oleh Presiden RI Ke-7 Joko Widodo.

Namun investor saat itu, perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, Air Product and Chemicals Inc. hengkang dari proyek batu bara menjadi DME atau metanol di Indonesia. Saat itu Air Product bermitra dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina Persero, hingga Bakrie Group melalui PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah menjajakan dengan mitra baru dari China, meski belum juga menemukan titik terang.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Pemerintah Siapkan Proyek Pengganti LPG

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |