Peta Baru Sumber Kejahatan Siber Dunia, Ini Daftar Negaranya

8 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah meningkatnya serangan siber di berbagai negara, sebuah studi baru untuk pertama kalinya memetakan di mana pusat kejahatan siber dunia benar-benar berada.

Peneliti dari Oxford dan UNSW menerbitkan "Indeks Kejahatan Siber" global yang menunjukkan bahwa ancaman terbesar tidak tersebar merata, melainkan terkonsentrasi pada sejumlah kecil negara dengan kemampuan teknis kriminal yang sangat maju.

Indeks Kejahatan Siber pertama di dunia kini memeringkat negara berdasarkan seberapa besar ancaman kejahatan siber yang berasal dari negara tersebut.

Indeks yang terbit di jurnal PLOS ONE, menunjukkan bahwa ancaman terbesar sebenarnya hanya berasal dari sedikit negara. Rusia berada di posisi pertama, lalu Ukraina, China, Amerika Serikat (AS), Nigeria, dan Rumania. Inggris berada di urutan kedelapan. Sementara itu, negara Israel juga masuk dalam urutan ke-16.

Dr. Miranda Bruce (Universitas Oxford dan UNSW Canberra) menjelaskan bahwa indeks ini membantu sektor publik dan swasta untuk memfokuskan sumber daya pada negara-negara yang benar-benar menjadi pusat aktivitas kejahatan siber, sehingga waktu dan dana tidak terbuang untuk wilayah yang risikonya kecil.

"Penelitian yang menjadi dasar indeks ini membantu membuka anonimitas pelaku," ujar Dr. Bruce. "Harapannya, ini bisa memperkuat upaya memerangi ancaman kejahatan siber global."

Menurutnya, kini peneliti punya pemetaan yang lebih jelas mengenai di mana kejahatan siber diproduksi, dan negara mana yang cenderung menguasai jenis kejahatan tertentu. Jika pengumpulan data terus dilakukan, maka titik-titik risiko baru bisa terdeteksi lebih cepat, bahkan sebelum masalah besar muncul.

Data penyusun indeks ini berasal dari survei terhadap 92 pakar kejahatan siber dari seluruh dunia. Mereka diminta menilai lima kategori utama kejahatan siber, menominasikan negara yang paling signifikan di tiap kategori, lalu menilai tiap negara berdasarkan dampak, profesionalisme, dan kemampuan teknis para pelakunya.

Associate Professor Jonathan Lusthaus (Universitas Oxford) menjelaskan bahwa kejahatan siber sulit terlihat karena pelaku sengaja menyembunyikan lokasi fisik mereka dengan identitas palsu dan teknik penyamaran. Data teknis pun sering menyesatkan karena serangan dipantulkan melalui infrastruktur internet global. Karena itu, survei kepada pakar investigasi dianggap metode paling realistis untuk memetakan asal pelaku.

Sementara itu, Profesor Federico Varese (Sciences Po, Prancis) menambahkan bahwa indeks ini adalah langkah pertama untuk memahami bagaimana kondisi lokal suatu negara memengaruhi produksi kejahatan siber. Ia ingin studi ini diperluas untuk melihat apakah faktor seperti pendidikan, penetrasi internet, PDB, atau tingkat korupsi berkaitan dengan kejahatan siber. Menurutnya, hasil awal ini menunjukkan bahwa kejahatan siber tidak sepenuhnya global, tetapi tertanam dalam konteks lokal, mirip dengan bentuk kejahatan terorganisir lainnya.


CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(saw/saw)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |