Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah konflik regional dan ketegangan geopolitik global menunjukkan potensi eskalasi menuju konflik berskala besar. Perang di beberapa negara masih berlangsung dengan intensitas tinggi.
Rusia terus melakukan serangan terhadap wilayah Ukraina, sementara Ukraina berusaha mempertahankan wilayahnya dengan dukungan militer dari negara-negara Barat.
Kemudian, ketegangan juga sempat meningkat di perbatasan antara Pakistan dan Taliban Afghanistan. Pada Desember 2024, militer Pakistan melancarkan serangan terhadap pos-pos Taliban, yang memicu respons dari Taliban dan meningkatkan risiko konflik berskala lebih besar.
Terbaru pada Mei 2025, terjadi bentrokan singkat antara tentara Thailand dan Kamboja di perbatasan yang disengketakan, menambah ketegangan di kawasan Asia Tenggara.
Bahkan terdapat ramalan, seorang peramal asal Bulgaria memprediksi bahwa Perang Dunia III akan dimulai pada musim semi 2025, dipicu oleh jatuhnya Suriah. Ia menyatakan bahwa perang besar antara Barat dan Timur akan segera terjadi setelah Suriah jatuh
Peramal Prancis juga meramalkan perang besar di Eropa pada tahun 2025, dengan menyebutkan "perang yang kejam" dan "wabah kuno" yang akan melanda benua tersebut.
Jenderal Angkatan Udara Amerika Serikat juga sempat memperingatkan bahwa perang dengan China bisa terjadi pada 2025, mengingat ketegangan di Selat Taiwan dan Laut China Selatan.
Meskipun belum ada perang dunia ketiga yang terjadi, situasi global menunjukkan potensi eskalasi menuju konflik berskala besar. Perkembangan di Ukraina, ketegangan di Asia, dan prediksi dari berbagai pihak menambah kompleksitas situasi geopolitik saat ini.
Dari terjadinya perang, terdapat beberapa negara memainkan peran penting dalam membentuk keamanan global, memasok segala hal mulai dari jet tempur dan rudal hingga sistem siber canggih.
Pada tahun 2025, valuasi kontraktor pertahanan utama telah melonjak ke level rekor karena konflik bersenjata yang sedang berlangsung dan meningkatnya ketegangan dalam NATO.
Untuk mengidentifikasi para pemimpin industri, CNBC Indonesia menjabarkan perusahaan pertahanan terbesar dalam satu bagan, berdasarkan kapitalisasi pasar 20 Mei 2025.
Perusahaan-perusahaan Amerika menyumbang lebih dari setengah dari total kapitalisasi pasar yang ditunjukkan dalam grafik ini (US$743 miliar vs US$1,3 triliun), hasil sampingan dari memiliki anggaran militer terbesar di dunia.
Perusahaan paling berharga dalam daftar ini adalah RTX, yang dibentuk pada tahun 2020 melalui penggabungan Raytheon Company dan United Technologies Corporation.
RTX terkenal dengan sistem rudal canggih, mesin pesawat, dan komponen kedirgantaraan. Baru-baru ini, perusahaan ini mendapatkan kontrak senilai US$1,2 miliar untuk memasok sistem pertahanan udara dan rudal Patriot ke Jerman.
Perusahaan pertahanan terbesar berikutnya adalah Honeywell, yang merupakan perusahaan manufaktur yang terdiversifikasi. Pada tahun 2026, Honeywell akan terbagi menjadi tiga bisnis terpisah yang mencakup otomatisasi, kedirgantaraan, dan material canggih.
Pada bulan Oktober 2024, Honeywell mendapatkan kontrak senilai US$103 juta dari Angkatan Darat AS untuk mengembangkan sistem radar generasi berikutnya.
Melengkapi tiga teratas adalah Safran dari Prancis, perusahaan pertahanan paling berharga di luar Amerika Serikat.
Safran mengkhususkan diri dalam mesin dan komponen pesawat, serta sistem navigasi canggih. Pada bulan April 2025, Safran mengumumkan pembukaan kantor pusat AS barunya di Virginia, yang membangun pusat strategis untuk meningkatkan dukungan bagi inisiatif pertahanan dan luar angkasa Amerika.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)