OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 4,7% di 2025

1 day ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Organisation Economic Cooperation and Development (OECD) merilis laporan Economic Outlook terbaru untuk global dan sejumlah negara-negara maju dan berkembang di dunia.

Dalam laporannya, OECD mengingatkan prospek ekonomi global semakin melemah, dengan hambatan perdagangan yang substansial, kondisi keuangan yang lebih ketat, menurunnya kepercayaan, dan meningkatnya ketidakpastian kebijakan.

Organisasi negara-negara maju ini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global melambat dari 3,3% pada 2024 menjadi 2,9% pada 2025 dan tetap di 2,9% pada 2026. Perlambatan ini diperkirakan akan paling terasa di Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, dan China, dengan penyesuaian penurunan yang lebih kecil di negara-negara lain.

Adapun untuk Indonesia, OECD juga memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi hanya 4,7% pada tahun ini dan 4,8% pada 2026. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan Maret 2025 yakni 4,9% pada 2025 dan 5,0% pada 2026.

Menurut OECD, melemahnya sentimen dunia usaha dan konsumen baru-baru ini akibat ketidakpastian kebijakan fiskal dan tingginya biaya pinjaman akan menekan konsumsi swasta dan investasi pada paruh pertama tahun 2025.

"Inflasi yang rendah dan kondisi keuangan yang membaik akan memacu konsumsi dan investasi swasta. Namun, ketidakpastian tentang kebijakan fiskal domestik akan meredam kenaikan ini, sementara pertumbuhan ekspor diperkirakan melambat di tengah ketegangan perdagangan global," papar OECD, dikutip Rabu (4/6/2025).

OECD pun memperkirakan inflasi akan meningkat menjadi 2,3% pada tahun 2025 dan 3% pada tahun 2026, karena depresiasi mata uang baru-baru ini secara bertahap memengaruhi harga domestik.

Sementara itu, defisit transaksi berjalan diperkirakan akan melebar sedikit, tetapi penurunan lebih lanjut dalam harga komoditas dapat memperburuk hal ini dengan menekan pendapatan ekspor. Kebijakan moneter diperkirakan akan terus mereda selama tahun 2025 dan 2026, karena tekanan inflasi tetap terkendali di tengah pertumbuhan yang lemah.

Permintaan, Output dan Harga. (Dok. OECD)Foto: Permintaan, Output dan Harga. (Dok. OECD)
Permintaan, Output dan Harga. (Dok. OECD)

OECD memandang kebijakan fiskal diproyeksikan akan netral secara umum pada tahun 2025, karena peningkatan pengeluaran untuk program makanan gratis dan investasi publik tambahan melalui Danantara. Ini tentunya akan dibiayai oleh pemotongan pengeluaran di pos pengeluaran lain.

OECD menyarankan Indonesia terus mengurangi hambatan regulasi terhadap investasi asing dan meningkatkan efisiensi pengeluaran publik melalui peningkatan penargetan manfaat sosial bagi rumah tangga yang rentan merupakan prioritas kebijakan jangka menengah utama. Selain itu, Indonesia diharapkan dapat mengurangi informalitas akan membantu meningkatkan perlindungan sosial dan meningkatkan pendapatan pajak.

OECD secara khusus menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam laporan terbaru kali ini. OECD menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat sebesar 4,9% (4,87%) pada kuartal I-2025 dipicu oleh investasi yang lemah.

Namun, konsumsi rumah tangga dinilai tetap stabil, dan kontribusi positif dari ekspor neto masih menjadi andalan. Sementara tingkat pengangguran menurun menjadi 4,8% pada kuartal pertama tahun 2025, salah satu nilai terendah dalam dua dekade.

"Ekonomi tampaknya melambat, karena sentimen konsumen dan bisnis memburuk dan harga komoditas ekspor utama menurun," ungkap OECD.

Lebih lanjut, OECD menilai inflasi yang rendah mendukung pendapatan rumah tangga riil, tetapi biaya pinjaman yang tinggi terus membebani investasi. Inflasi telah turun dari sekitar 6% pada paruh kedua tahun 2022 menjadi 2% pada bulan April 2025, karena pengetatan kebijakan moneter, normalisasi harga pangan dan komoditas, serta diskon harga listrik sementara pada bulan Januari dan Februari 2025.

"Penghapusan diskon harga dan depresiasi mata uang - sekitar 4% relatif terhadap dolar AS sejak awal tahun - akan memberikan tekanan ke atas pada harga dalam waktu dekat, tetapi inflasi inti tetap mendekati titik tengah kisaran target bank sentral sebesar 1,5-3,5% dan ekspektasi inflasi stabil," tulis OECD dalam laporannya.

Terkait dengan efek kebijakan Trump, OECD menilai paparan RI terhadap tarif impor AS yang lebih tinggi relatif terbatas, dengan ekspor barang ke Amerika Serikat berjumlah kurang dari 2% dari PDB.

OECD melihat risiko eksternal untuk Indonesia cenderung menurun. Namun, OECD mewanti-wanti arus keluar modal yang terus-menerus didorong oleh ketidakpastian kebijakan global dan domestik dapat memberikan tekanan baru pada mata uang, yang berpotensi menyebabkan pelebaran sementara defisit transaksi berjalan dan memicu inflasi melalui biaya impor yang lebih tinggi.

"Selain itu, perlambatan yang lebih besar dari yang diharapkan di Tiongkok - pasar ekspor terbesar Indonesia - akan semakin membebani kinerja ekspor, terutama di sektor komoditas," tulis OECD.

Di sisi positifnya, Danantara, lembaga soverign wealth fund diharapkan dapat secara cepat mengkatalisasi investasi swasta dengan memadatkan modal dan mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur dan industri berdampak tinggi.


(haa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Penyebab Konsumsi Rumah Tangga RI Tumbuh Melambat

Next Article RI Gabung OECD, Yusril Siap Hukum Pejabat Asing Terlibat Suap

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |