Menyeimbangkan Komitmen Pengadaan Alutsista dengan Kapasitas Fiskal

1 day ago 7

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pembangunan kekuatan pertahanan kurun masa 2025-2029 saat ini telah dimulai dengan sejumlah rencana belanja ambisius. Akan tetapi di sisi lain pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan aktivasi puluhan kontrak era MEF 2020-2024 di mana isu ketersediaan dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) menjadi tantangan.

Sampai kini para pemangku kepentingan di bidang pertahanan, khususnya sektor partikelir, tengah menantikan penerbitan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Dengan terbentuknya Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002, peran DPN cukup penting sebelum Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mengeluarkan Blue Book.

Walaupun DRPLN-JM 2025-2029 belum dipublikasikan, akan tetapi ambisi belanja peralatan perang oleh pemerintah sangat jelas. Hal demikian nampak dari sejumlah kesepakatan yang ditandatangani Indonesia dengan beberapa negara, begitu pula dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto guna mendatangkan sejumlah sistem senjata dari beberapa negara dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Apabila dihitung secara detail nilai kesepakatan tersebut, boleh jadi akan melampaui besaran alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang dapat ditanggung oleh pemerintah hingga dekade ini selesai. Padahal Blue Book 2025-2029 diprediksi akan mengakomodasi pula beberapa program akuisisi yang tidak dapat dieksekusi pada MEF 2020-2024 karena pemotongan alokasi PLN, misalnya pengadaan pesawat AEW&C, pesawat tanker/angkut dan F-15EX.

Setidaknya terdapat beberapa komitmen tertulis yang disepakati oleh Indonesia dengan sejumlah negara untuk akuisisi sistem senjata untuk periode 2025-2029. Selain dengan Prancis, termasuk dengan Airbus Defence and Space, Indonesia memiliki komitmen dengan Amerika Serikat, Turki dan China.

Dalam waktu dekat, daftar komitmen mungkin akan bertambah andaikata Indonesia sepakat dengan Italia terkait pembelian kapal induk bekas. Mempertimbangkan bahwa komitmen tersebut ialah komitmen tertulis, Indonesia harus memutar otak terkait dengan penyiapan anggaran pengadaan terkait pemenuhan komitmen yang telah disetujui bersama.

Ambisi belanja peralatan pertahanan secara masif sudah muncul sejak Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan pada kurun 2019-2024. Hal demikian pada satu sisi memang sebuah kebutuhan mengingat Indonesia memerlukan percepatan modernisasi kekuatan pertahanan. Selain itu, beberapa senjata yang diakuisisi oleh Kementerian Pertahanan pada masa itu memang dikenal mempunyai kualitas yang tidak perlu diragukan.

Akan tetapi kondisi fiskal pemerintah saat itu memaksa Kementerian Pertahanan harus mengerem ambisi belanja. Sebab alokasi PLN Kementerian Pertahanan dipotong dari US$34,4 miliar menjadi US$25 miliar pada November 2023.

Tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dari aspek ekonomi sangat dipengaruhi oleh dinamika politik dan ekonomi internasional. Perang dagang yang dicanangkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, situasi geopolitik global yang terus bergejolak dan resiko inflasi tinggi di negara-negara maju merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan ekonomi Indonesia saat ini.

Sementara kebijakan pemerintah yang melaksanakan pemotongan anggaran kini dampaknya telah dirasakan oleh sektor riil di tengah menurunnya daya beli masyarakat dan semakin bertambahnya angka pemutusan hubungan kerja. Semua hal tersebut berdampak langsung terhadap penerimaan pemerintah sehingga pada akhirnya memengaruhi juga kapasitas fiskal pemerintah.

Penerimaan pemerintah yang menurun membuat kondisi fiskal pemerintah sejak triwulan pertama 2025 tidak menggembirakan. Padahal di masa yang sama, pemerintah memiliki ambisi belanja besar pada sejumlah program yang menyebabkan terjadinya pemotongan anggaran kementerian/lembaga pada Januari 2025.

Dalam aspek pertahanan, Kementerian Pertahanan diprediksi memerlukan anggaran sekitar Rp 12 triliun untuk membentuk 300 Batalyon Teritorial Pembangunan di saat banyak batalyon infanteri yang belum memenuhi Tabel Organisasi dan Peralatan/Daftar Susunan Personel dan Peralatan. Sebagai perbandingan, jumlah satuan tempur infanteri TNI Angkatan Darat saat ini kurang dari 70 batalyon, sementara Korps Marinir hanya mempunyai 11 batalyon infanteri.

Terkait dengan komitmen tertulis pemerintah dengan sejumlah negara untuk pengadaan sistem senjata pada periode 2025-2029, terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan.

Pertama, perencanaan komitmen. Sebelum pemerintah hendak membuat komitmen tertulis dengan negara lain untuk pembelian sistem sistem senjata, proses birokrasi lintas kementerian/lembaga hendaknya diterapkan agar komitmen demikian tidak melampaui kapasitas fiskal pemerintah hingga beberapa tahun mendatang.

Pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaan komitmen minimal adalah Kementerian Pertahanan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri.

Selain keselarasan komitmen dengan kapasitas fiskal pemerintah, dibutuhkan pula keselarasan komitmen dengan Blue Book untuk Kementerian Pertahanan. Tidak elok bila DRPLN-JM mengalami beberapa kali revisi demi menyesuaikan dengan komitmen pembelian sistem senjata yang sudah disetujui dengan pihak asing.

Apalagi revisi DRPLN-JM seharusnya berbanding lurus dengan kapasitas fiskal pemerintah. Kecuali bila pemerintah dalam belanja peralatan pertahanan ke depan tidak lagi mewajibkan ketersediaan dana RMP, akan tetapi terdapat pula resiko bila kebijakan demikian ditempuh seperti biaya utang yang lebih mahal.

Kedua, kehati-hatian dalam pembuatan komitmen. Pemerintah hendaknya menerapkan kehatian-hatian dalam membuat komitmen tertulis akuisisi sistem senjata dengan negara lain dengan mempertimbangkan kapasitas fiskal ke depan yang masih akan terbatas maupun aspek ekonomi dan perdagangan secara luas.

Penting untuk diingat bahwa negara mitra pasti akan menagih secara gigih komitmen itu menggunakan posisi tawar yang mereka miliki. Saat ini sejumlah negara yang mendapatkan komitmen tertulis pembelian peralatan pertahanan oleh Indonesia mempunyai posisi tawar yang kuat di bidang ekonomi dan perdagangan terhadap Indonesia, kecuali Turki.

Bagi negara-negara utama produsen sistem senjata, merupakan kewajiban pemerintah untuk membantu industri dirgantara dan pertahanan mereka di pasar internasional. Bukan suatu hal yang asing jika presiden atau perdana menteri suatu negara menjadikan agenda ekspor senjata sebagai salah satu topik pembicaraan apabila bertemu dengan presiden atau perdana menteri negara lain.

Di masa lalu pun Presiden Soeharto seringkali memasukkan topik pembicaraan penjualan CN235 buatan IPTN apabila bertemu dengan pemimpin negara lain, khususnya pemimpin negara-negara berkembang. Terkait dengan beragam godaan agar Indonesia menandatangani komitmen akuisisi sistem senjata dengan negara lain, apakah pemerintah dapat lebih menahan diri berdasarkan pertimbangan kapasitas fiskal?


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |