Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Bencana banjir bandang yang melanda Sumatra telah merenggut ribuan nyawa dan meluluhlantakkan ratusan ribu hunian. Angka kerusakan yang disampaikan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, di hadapan Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Kabinet Paripurna 15 Desember 2025 sangatlah mencengangkan: total 139.485 unit rumah terdampak di tiga provinsi (Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat), mulai dari rusak ringan, sedang, berat, hingga hanyut.
Angka ini bukan sekadar catatan kerugian, melainkan jeritan kolektif rakyat yang kehilangan segalanya dan kini menanti kepastian tanggung jawab dari negara. Respons cepat pemerintah dengan menargetkan pembangunan 2.000 hingga 2.600 hunian tetap (huntap) non-APBN mulai pekan ini adalah langkah darurat yang vital.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan pengerahan sumber daya negara secara besar-besaran, sebuah komitmen yang patut diapresiasi. Namun, skala kehancuran yang masif dan kompleksitas penanganannya menuntut lebih dari sekadar reaksi cepat. Hal ini memerlukan mekanisme penanganan yang terstruktur, tegas, dan berlandaskan paradigma tata kelola kolaboratif (collaborative governance) untuk memastikan pemulihan yang tuntas dan bermartabat.
Kolaborasi sebagai Solusi Atas Kerumitan
Tantangan yang diungkapkan Menteri PKP Maruarar Sirait yang berkaitan dengan penentuan koordinator pembangunan dan perlunya rapat lintas kementerian (Hukum, PU, Perhubungan, BNPB) untuk memecahkan masalah status hukum tanah merupakan menggambarkan betapa kerumitan masalah publik ini tidak mungkin diselesaikan oleh satu entitas saja.
Kerumitan ini, sebagaimana ditekankan Ansell dan Gash (2008), hanya dapat diatasi melalui konsensus yang dicapai oleh para pemangku kepentingan dalam forum deliberatif (musyawarah mufakat). Keputusan untuk membangun di 30 lokasi survei sebagai hunian sementara dan janji pembangunan hunian tetap harus melalui proses ini.
Pemerintahan harus semaksimal mungkin menerapkan prinsip new public governance, di mana fokusnya adalah pada mengorganisasi diri pada jaringan inter-organisasional, sesuai pandangan Osborne (2006). Hal ini sejalan dengan kerangka governance menurut World Bank (dalam Sujarwoto, 2013) yang mensyaratkan interaksi harmonis antara tiga domain:
Pertama, institusi pemerintahan (state) harus berperan tegas menciptakan kepastian hukum, terutama status tanah hunian yang baru dan menjamin lingkungan politik dan hukum yang kondusif. Permintaan Maruarar Sirait untuk melibatkan Menteri Hukum adalah langkah awal yang tepat, memastikan setiap unit hunian yang dibangun tidak menjadi bom waktu sengketa agraria di masa depan.
Kedua, sektor swasta (private sector) harus dilibatkan secara profesional dan transparan dalam skema pendanaan non-APBN untuk mempercepat konstruksi. Keterlibatan sektor ini harus diarahkan tidak hanya untuk menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi juga menjamin kualitas dan kecepatan pembangunan, memegang teguh prinsip profesionalitas dan akuntabilitas sebagai pilar new public governance.
Ketiga, masyarakat sipil (civil society) dan perwakilan korban harus ditempatkan sebagai mitra setara dalam proses deliberasi. Keterlibatan langsung ini, bukan sekadar formalitas atau konsultasi (Ansell & Gash, 2008) krusial agar hasil pembangunan baik itu hunian sementara maupun hunian tetap dapat benar-benar tepat sasaran dan memenuhi kebutuhan riil warga di lapangan, sesuai dengan orientasi administrasi publik yang menekankan peranan rakyat (Thoha, 2007).
Memastikan Implementasi Tepat Sasaran
Frederickson (1984) mengungkapkan bahwa sistem pemberian pelayanan kepada publik (delivery service system) adalah pusat perhatian yang nilainya harus dimaksimalkan. Dalam konteks ini, delivery service terbaik adalah rumah yang layak dan cepat terbangun. Oleh karena itu, pembangunan kembali Sumatra tidak bisa hanya diukur dari jumlah tiang pancang yang berdiri. Ia harus memenuhi enam dimensi kerjasama yang diusulkan O'Flynn dan Wanna (2008):
Pemerintah harus memastikan adanya cooperation yang intens antarlembaga yang terlibat (PKP, PU, BNPB, TNI, Polri), meningkatkan konsistensi dan meluruskan aktivitas mereka. Proses ini akan melibatkan negosiasi yang siap berkompromi, terutama dalam penentuan lokasi relokasi.
Satuan Tugas khusus yang akan dibentuk oleh Presiden harus mampu memfasilitasi joint anticipation melalui serangkaian aturan yang ketat untuk mencegah kekeliruan, terutama mengingat penggunaan dana non-APBN.
Penggunaan power and coercion negara harus difokuskan untuk mendorong hasil, semisal memfasilitasi perizinan atau menjamin keamanan dan kelancaran logistik. Dan yang terpenting, upaya ini harus berlandaskan future commitment (komitmen masa depan) yang kuat, tidak hanya untuk membangun, tetapi juga untuk penguatan mitigasi bencana.
Ujian Berat Janji 3 Juta Rumah
Penanganan bencana Sumatra ini bukan hanya soal rehabilitasi dan rekonstruksi. Ini adalah ujian yang sangat nyata bagi janji politik besar Pemerintahan Prabowo Subianto untuk menyediakan 3 Juta Rumah bagi rakyat.
Jika pemerintah tidak mampu menangani masalah hunian bagi 139.485 keluarga yang terdampak bencana yang merupakan kasus darurat dengan fokus dan sumber daya yang terpusat, bagaimana publik dapat percaya bahwa target 3 juta rumah dalam kondisi normal akan tercapai?
Janji 3 Juta Rumah Pemerintahan Prabowo Subianto harus dimulai dari sini: dari lumpur dan puing-puing di Sumatera. Pembangunan 2.600 hunian tetap tersebut harus menjadi model proyek percontohan yang menunjukkan ketegasan, kecepatan, dan yang paling utama, governance yang bersih, akuntabel, dan kolaboratif.
Situasi ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk mendefinisikan ulang delivery service system di mata publik, menunjukkan bahwa target hunian bukanlah sekadar angka statistik, tetapi wujud nyata dari kewajiban dan tanggung jawab negara yang mampu mengembalikan hak dasar warga negara.
Pemerintah wajib bertindak tegas, menjadikan pembangunan hunian bagi korban bencana sebagai prioritas utama dan tolok ukur implementasi janji 3 juta rumah. Kecepatan dan ketepatan kolaborasi dalam penyediaan hunian di Sumatra akan menjadi bukti awal yang akan diperhatikan oleh seluruh rakyat Indonesia dan akan menjadi peta jalan penentu apakah janji besar tersebut akan menjadi kenyataan atau sekadar retorika politik.
Satu rumah yang dibangun di Sumatra saat ini harus merefleksikan komitmen 3 juta rumah yang akan datang, sebuah janji yang kini menjadi perhatian publik dan harus diwujudkan dengan kolaborasi total.
(miq/miq)

















































