Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kurang dari setahun yang lalu, tepatnya pada Januari 2025, Indonesia secara resmi bergabung sebagai anggota penuh organisasi antarpemerintah BRICS. Momen penting ini, selain menunjukkan arah orientasi dan posisi kebijakan luar negerinya di Global South, telah membantu Jakarta meningkatkan perannya di panggung internasional.
Menariknya, hingga saat ini sebagian besar wacana mengenai BRICS cenderung menekankan kehadiran China dan Rusia, dan relatif sedikit yang membahas tentang peluang kita untuk memperdalam kerja sama strategis dengan anggota BRICS lainnya, seperti Brasil dan India. Padahal jika kita lihat, lintasan kedua negara tersebut pada sektor-sektor kunci, seperti kerja sama pertahanan, mencirikan hal yang selaras dengan kepentingan Indonesia.
Faktanya, Brasil, India, dan Indonesia memiliki beberapa kesamaan strategis: negara demokrasi besar di Global South dan sama-sama sedang mengembangkan kekuatan otonomi strategis dalam rangka memastikan kedaulatan negaranya.
Sejalan dengan itu, Delhi, Brasilia, dan Jakarta memiliki keinginan kuat untuk mendiversifikasi kemitraan mereka. Alih-alih berfokus pada poros tradisional Barat-seperti AS dan Eropa-mereka justru menunjukkan minat untuk terlibat dengan kekuatan-kekuatan menengah.
Demikian pula, ketiga negara tersebut menghadapi tantangan serupa, yakni dalam upaya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan ketidaksetaraan sosial, serta menghadapi tekanan untuk memodernisasi angkatan bersenjata nasional demi mempertahankan kedaulatan mereka. Kondisi ini membedakan mereka dari negara-negara besar tradisional yang sudah memiliki kapasitas anggaran jauh lebih besar.
Di bawah pemerintahan saat ini, hubungan Indonesia dengan kedua negara tersebut telah kian meningkat. Terlihat sejak awal tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto telah melakukan kunjungan kenegaraan ke India (Januari) dan Brasil (Juli).
Belum lama ini, Presiden Brasil Lula da Silva menyelesaikan kunjungan kenegaraannya ke Indonesia, tepatnya pada bulan Oktober lalu. Dan, pada akhir November, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengunjungi India untuk menghadiri Dialog Tingkat Menteri Pertahanan Ketiga.
Secara logis, hubungan politik ini berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut melalui kerja sama di tingkat operasional maupun sektor industri. Dengan dasar tersebut, baik Brasil maupun India merupakan mitra potensial yang setara bagi Indonesia dalam kerja sama pertahanan, yang strategis serta saling menguntungkan.
Kedua negara tersebut juga menunjukkan perkembangan industri pertahanan yang semakin mumpuni. Brasil telah berhasil mengembangkan Basis Industri Pertahanan dan Teknologi (DTIB) berukuran sedang dan berteknologi canggih dengan fokus pada berbagai bidang seperti kedirgantaraan, rudal, dan konstruksi angkatan laut.
Contohnya Embraer yang selama bertahun-tahun telah menjadi aktor kunci di sektor ini, misalnya melihat kesuksesannya dalam memproduksi pesawat serang ringan Counter-Insurgency (COIN) A-29 Super Tucano, yang juga telah dioperasikan oleh TNI AU sejak 2012.
Embraer juga meluncurkan pesawat angkut dan tanker KC-390 Millenium dengan klien seperti Portugal, Republik Ceko, dan Belanda, yang sempat dilirik pula oleh Kepala Staf TNI AU (KASAU), Mohamad Tonny Harjono, selama kunjungannya ke Dubai Air Show November lalu.
Selain itu, di bidang angkatan laut, program PROSUB telah mendukung pengembangan kompleks industri kapal selam terintegrasi yang sepenuhnya efektif. Hal ini terlihat dari pengiriman empat kapal selam Scorpene-termasuk peluncuran Almirante Karam pada 26 November-serta dimulainya pembangunan kapal selam bertenaga nuklir Alvaro Alberto.
Terlebih, Brasilia telah memproduksi amunisinya selama bertahun-tahun dengan perusahaan seperti Mac Jee, yang memungkinkan negara tersebut untuk mengekspor produksinya ke luar negeri dan membentuk industri yang lebih mandiri.
Di sisi lain, strategi industri pertahanan India memiliki kesamaan dengan Brazil, khususnya dalam hal logika pengembangan industri untuk membangun otonomi pertahanannya. Selama bertahun-tahun, Delhi telah mampu mengembangkan peralatan pertahanan utama seperti rudal Brahmos-yang dikembangkan bersama Rusia-yang saat ini mulai dipasok ke Filipina, serta yang pengadaannya dikabarkan sedang berlangsung di Indonesia.
Dengan kapabilitas industri India yang saat ini telah mampu mengembangkan keahlian dalam pemeliharaan dan pengoperasian sistem senjata seperti Sukhoi 30, serta mengingat pesawat tempur Rafale dan kapal selam Scorpene yang akan segera dioperasikan oleh TNI, maka sinergi antara Indonesia dan DTIB India tampak tidak sulit untuk tercipta.
Peluang untuk menjalin kerja sama lebih kuat dengan Brasil dan India ini tidak boleh diremehkan. India adalah negara tetangga Indonesia dan kita berbagi perbatasan maritim, sehingga potensi meningkatkan kerja sama militer sangat besar.
Sementara, terlepas dari jarak geografis, Brasil harus dianggap sebagai mitra yang berharga dan alami bagi Indonesia. TNI AL dan rekannya dari Brasil telah beroperasi bersama selama bertahun-tahun di bawah bendera Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL).
Oleh sebab itu, Indonesia perlu menyadari bahwa kerja sama pertahanan tidak terbatas hanya pada mitra-mitra tradisional. Upaya untuk memperdalam kerja sama militer dengan negara-negara global yang sedang berkembang harus dipahami sebagai perpanjangan alami dari diplomasi pertahanan Jakarta yang kian meluas.
Kita perlu melihat bahwa Brasil dan India menghadirkan dua jalur yang, meskipun berbeda, sama-sama menjanjikan bagi Indonesia. Kedekatan India dan perbatasan maritim bersama menjadikannya platform alami untuk menjalin kerja sama operasional dan kemitraan industri pertahanan yang lebih dalam. Terlebih, peran Delhi yang semakin meningkat di Indo-Pasifik juga membuatnya mitra yang berguna bagi agenda regional kita.
Sementara itu, Brasil menghadirkan nilai yang berbeda namun saling melengkapi dengan menawarkan lintasan strategis yang penting untuk kita pertimbangkan. Mengingat Brasil memainkan peran kunci dalam stabilitas regional Amerika Selatan, ia menunjukkan bagaimana penguatan aset angkatan laut dapat memastikan transisi dari green-water navy menuju blue-water navy secara sepenuhnya.
Ditambah dengan kemampuan Brasil mengintegrasikan teknologi eksternal ke dalam program nasional yang koheren-mulai dari kedirgantaraan hingga senjata berpemandu dan konstruksi kapal canggih-hal ini menunjukkan bagaimana industri pertahanan yang sedang berkembang dapat membangun kapabilitas canggih dari waktu ke waktu.
Secara keseluruhan, kedua negara menawarkan Indonesia peluang berarti untuk memperluas keterlibatan pertahanan dan memperkuat dimensi praktis diplomasi militernya. Di tahun-tahun mendatang, Jakarta dapat membina interaksi militer-ke-militer yang lebih sistematis. Di sisi industri, kerangka kerja yang lebih terencana untuk dialog dan kerja sama teknologi pasti akan membantu mengubah hubungan ini menjadi aset strategis jangka panjang.
(miq/miq)


















































