Memperkuat Ekonomi Kerakyatan di Tengah Ancaman Tarif Global ala Trump

4 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjadi penanda kembalinya semangat proteksionisme di tengah dunia yang semakin terintegrasi secara ekonomi.

Langkah tersebut mengubah lanskap perdagangan global, memicu ketidakpastian, dan memaksa negara-negara untuk meninjau ulang strategi ekonominya. Indonesia tidak terkecuali.

Namun, di balik tantangan ini, muncul peluang besar untuk memperkuat ketahanan ekonomi melalui pendekatan berbasis rakyat.

Globalisasi yang dulu dianggap sebagai jalan satu arah menuju kemakmuran, kini menunjukkan sisi rapuhnya. Krisis keuangan global, konflik geopolitik, hingga disrupsi rantai pasok akibat pandemi Covid-19 dan kebijakan sepihak negara-negara besar telah membuka mata dunia.

Ketika perekonomian global terguncang, konsumsi dan produksi domestik menjadi benteng pertahanan. Dan di sinilah peran ekonomi kerakyatan menjadi krusial.

Indonesia memiliki modal besar untuk itu. Per tahun 2025, lebih dari 66 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tersebar di seluruh penjuru negeri. Mereka menyerap 97% tenaga kerja dan berkontribusi lebih dari 60% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka itu bukan sekadar statistik; ini adalah bukti nyata bahwa ekonomi Indonesia hidup dari bawah, dari rakyat.

Perputaran ekonomi UMKM yang mencapai lebih dari Rp9.000 triliun setiap tahunnya menjadi mesin yang menjaga agar roda ekonomi terus berputar. Lebih jauh, digitalisasi yang merambah sektor ini melalui sistem pembayaran QRIS, telah menciptakan efisiensi sekaligus memperluas inklusi keuangan.

Hingga kuartal pertama 2025, nilai transaksi QRIS telah menembus Rp320 triliun. Ini bukan hanya angka, tapi refleksi dari meningkatnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional.

Kebijakan Trump dalam menaikkan tarif barang asing, termasuk produk dari Indonesia, memang memukul ekspor. Namun, kita tidak harus panik.

Justru saatnya untuk memperkuat pasar dalam negeri. Kampanye cinta produk lokal, dukungan terhadap e-commerce, serta fasilitasi pembiayaan dan pelatihan bagi UMKM harus diperluas.

Lebih dari itu, pendekatan ekonomi berbasis rakyat membawa nilai kemandirian dan kedaulatan ekonomi. Ketika negara lain menutup diri, Indonesia harus membuka kesempatan bagi warganya sendiri untuk tumbuh dan berinovasi.

Pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang ramah UMKM: regulasi yang sederhana, akses pembiayaan yang luas, serta infrastruktur digital yang memadai, dan ini mutlak.

Kita harus menyadari, ketahanan ekonomi bukan dibangun dari megastruktur dan ekspor semata, tetapi dari pasar-pasar tradisional yang tetap hidup, warung-warung yang terus buka, dan para pelaku UMKM yang beradaptasi dengan teknologi. Inilah kekuatan riil ekonomi Indonesia.

Proyeksi ekonomi nasional 2025 menunjukkan bahwa Indonesia tetap memiliki prospek pertumbuhan yang positif di tengah dinamika global yang tidak menentu. Berbagai lembaga internasional, seperti IMF dan World Bank, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5,1% hingga 5,3%.

Angka ini cukup solid mengingat tekanan dari sektor eksternal akibat tarif ekspor dan ketegangan dagang global. Faktor utama pendorong pertumbuhan ini adalah konsumsi domestik yang kuat dan kontribusi sektor UMKM yang terus meningkat.

Dengan strategi pembangunan ekonomi yang menekankan pada kemandirian dan ketahanan internal, Indonesia memiliki peluang untuk menjadikan 2025 sebagai titik balik menuju sistem ekonomi yang lebih inklusif dan berdaulat.

Jika dunia kembali pada proteksionisme, maka Indonesia harus menjawab dengan memperkuat akar ekonominya: rakyat. Ekonomi kerakyatan bukan sekadar alternatif, ia adalah jalan utama menuju kedaulatan ekonomi di tengah dunia yang makin tak pasti.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |