Memaknai Klarifikasi Zulhas Soal Penyebab Banjir-Longsor di Sumatra

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah pusaran era media sosial yang serba cepat, kemampuan masyarakat untuk memeriksa dan memverifikasi informasi justru kian melemah. Opini, tuduhan, dan kecurigaan dapat menyebar lebih cepat daripada fakta yang dapat dibuktikan. Akibatnya, reputasi seseorang atau lembaga dapat rusak sebelum klarifikasi diberikan.

Situasi ini menunjukkan bahwa proses berpikir kritis dan penilaian berbasis data semakin tergeser oleh reaksi instan dan persepsi awal dengan repetisi yang cepat. Oleh karena itu, penting bagi publik untuk tetap mengedepankan ketelitian, objektivitas, dan verifikasi fakta juga data sebelum menarik kesimpulan, menghakimi suatu peristiwa, bahkan menyebarkan potongan berita.

Inilah konteks yang mengiringi pidato Zulkifli Hasan dalam Penutupan Silaknas & Milad ke-35 ICMI yang bertempat di Jimbaran, Bali, beberapa waktu lalu. Di hadapan para cendekiawan, tokoh agama, serta pemimpin nasional, Zulhas meluruskan tuduhan bahwa ketika menjabat sebagai Menteri Kehutanan dikatakan menjadi penyebab banjir besar yang terjadi di tiga provinsi Sumatra: Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Dengan nada tenang namun tegas, Zulhas membuka klarifikasinya. Ia menyadari bahwa isu yang menyangkut lingkungan dan keselamatan rakyat tidak boleh dijawab dengan emosional. Ia memilih jalur data, geografi, dan administrasi. Dan penyampaiannya menjadi penting bukan semata sebagai pembelaan diri, tetapi sebagai pengingat bahwa kebijakan publik harus dibahas dengan ketelitian, bukan dengan prasangka atau tuduhan semata.

Sebagai bagian dari masyarakat yang menjunjung prinsip harmoni, logika, dan kebenaran, saya memandang klarifikasi Zulhas sebagai momen refleksi penting. Berjibaku dalam arus media sosial yang cepat dan penuh prasangka, kita perlu menilai dengan sikap kritis berdasarkan fakta.

Tuduhan bahwa kerusakan Taman Nasional Tesso Nilo menyebabkan banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar harus terlebih dahulu diuji secara geografis. Faktanya, Tesso Nilo terletak di Provinsi Riau, bukan di tiga provinsi yang mengalami banjir, dan bahkan Riau sendiri tidak mengalami banjir pada periode tersebut. Oleh karena itu, secara ilmiah dan logis, menghubungkan kerusakan Tesso Nilo dengan banjir Sumatra adalah kesimpulan yang tidak valid.

Dari sisi administratif, Zulhas juga menjelaskan bahwa selama masa jabatannya sebagai Menteri Kehutanan, tidak ada izin baru yang dikeluarkan di Aceh, Sumut, atau Sumbar. Alasan yang diberikan jelas: sejak era Orde Baru, seluruh lahan di tiga provinsi tersebut telah dialokasikan, sehingga tidak mungkin ada izin baru diterbitkan. Artinya, tuduhan bahwa kebijakannyalah yang memicu banjir tidak memiliki dasar hukum atau prosedural yang kuat.

Lebih lanjut, terkait Tesso Nilo sendiri, penjelasan faktualnya adalah bahwa taman nasional seluas lebih dari 83.000 hektare itu merupakan kawasan konservasi yang secara aturan tidak boleh dikeluarkan izin perkebunan.

Kerusakan yang terjadi bukan akibat kebijakan pemerintah pusat, tetapi akibat perambahan ilegal yang melibatkan 40.000-50.000 orang, terutama pada awal era reformasi ketika penegakan hukum melemah. Zulhas menyebut fenomena itu sebagai "surplus demokrasi", ketika kebebasan tumbuh lebih cepat daripada kapasitas pemerintah daerah dan pusat untuk menegakkannya secara hukum.

Dalam konteks penegakan hukum, ada catatan fakta menarik: ketika negara hadir secara kuat melalui operasi terpadu yang melibatkan TNI, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan KLHK, pemerintah berhasil menertibkan 4 juta hektare kebun ilegal dalam waktu relatif singkat, termasuk di sebagian kawasan Tesso Nilo dan daerah lain yang sebelumnya tak tersentuh.

Ini menunjukkan bahwa solusi utama persoalan lingkungan bukan sekadar izin, tetapi ketegasan penegakan hukum dan kapasitas negara untuk bertindak.

Perspektif saya juga melihat pentingnya meluruskan mispersepsi tentang 1,6 juta hektare lahan yang sering disebut sebagai pembukaan izin baru. Faktanya, angka tersebut adalah penataan ruang untuk kampung tua, wilayah adat, pasar, fasilitas publik, dan pemekaran daerah, bukan pelepasan izin perkebunan baru. Jadi kebijakan tersebut justru bertujuan memberi kepastian hukum bagi permukiman dan fasilitas publik yang telah eksis sebelumnya.

Kondisi ini menjadi pengingat akan ajaran luhur kita di Bali yang berpegang teguh pada prinsip keseimbangan alam dan kebenaran (Tri Hita Karana), kita perlu memandang bahwa klarifikasi ini mengingatkan publik tentang pentingnya membahas kebijakan secara teliti dan rasional.

Banjir Sumatra adalah persoalan kompleks: kerusakan DAS, perubahan tata guna lahan jangka panjang, dan lemahnya penegakan hukum masa lalu. Menyederhanakan semua penyebab kepada satu individu sama dengan mengabaikan akar masalah yang sesungguhnya. Sikap kritis perlu dibangun, tetapi kritik harus berdasarkan data, bukan prasangka. Hanya dengan cara itu kebenaran, keadilan, dan keseimbangan dapat ditegakkan dalam wacana di publik Indonesia.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |