Makin Kaya, Ogah Punya Anak: Mitos Banyak Anak, Banyak Rezeki Runtuh

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia- Ungkapan "Banyak anak banyak rejeki" nampaknya mulai kehilangan pesonanya.

Di masa lalu, kemakmuran sering diiringi dengan lonjakan angka kelahiran. Namun kini, pola itu runtuh. Negara makin kaya justru makin sepi anak. Fenomena ini bukan lagi anomali statistik, tapi bagian dari pergeseran sosial global yang dalam, sebagaimana diungkapkan ekonom peraih Nobel 2023, Claudia Goldin, dalam riset terbarunya bertajuk "The Downside of Fertility."

Goldin, Profesor Ekonomi di Harvard University, menegaskan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kelahiran telah terputus sejak akhir abad ke-20. "Salah satu kejutan demografis terbesar masa ini adalah hubungan negatif antara pendapatan per kapita dan fertilitas," ungkap Goldin seperti dikutip dari Harvard Gazette (27/10/2025).

Pada abad ke-18 dan ke-19, kenaikan angka kelahiran sering terjadi bersamaan dengan masa kemakmuran, atau di akhir krisis ekonomi.

Contoh paling ikonik adalah baby boom pasca Perang Dunia II di Amerika Serikat. Namun, sejak tahun 1970-an, angka kelahiran di AS merosot di bawah tingkat penggantian 2,1 anak per perempuan dan terus menurun hingga kini.

Fenomena serupa juga menjalar ke negara lain, bahkan hingga ke wilayah yang dulunya dikenal memiliki tingkat kelahiran tertinggi. Goldin mengungkapkan bahwa penurunan fertilitas terjadi di hampir semua tempat. Uni Emirat Arab kini memiliki angka kelahiran sekitar 1,2 anak per perempuan setara dengan Jepang, padahal satu generasi lalu masih di kisaran enam hingga tujuh. Sementara Arab Saudi kini berada di sekitar 2,3 anak per perempuan.

Akar Perubahan: Agensi Perempuan

Penyebab utama penurunan global ini pada satu hal: meningkatnya agensi atau kemandirian perempuan.
"Di mana pun perempuan memiliki otonomi, kesempatan pendidikan, dan karier, di situ pula angka kelahiran menurun," jelasnya.

Semakin banyak perempuan mampu menentukan jalan hidup sendiri baik dalam pendidikan maupun karier-semakin besar pula kecenderungan mereka untuk menunda atau bahkan menolak peran tradisional sebagai ibu rumah tangga. Namun, kemajuan ini juga melahirkan friksi baru dalam relasi gender.

"Laki-laki tidak selalu ingin melepas peran tradisional yang mereka miliki," kata Goldin. Sementara perempuan menghadapi tekanan untuk menyeimbangkan antara karier dan keluarga.

Ketimpangan inilah yang memunculkan apa yang disebut Goldin sebagai "mismatch factors" ketika perempuan berpenghasilan tinggi justru paling sering menunda atau menghindari punya anak karena beban ganda di dunia kerja dan domestik.

Penurunan fertilitas di AS sempat melambat hingga krisis keuangan global 2007, lalu menurun lebih tajam setelah itu. Di Eropa Utara, penurunan mulai terlihat cepat sejak 2010.

Menariknya, kelompok yang paling terdampak justru perempuan berpendidikan tinggi. Meski memiliki pendapatan yang lebih stabil, mereka memilih menunda atau menghindari anak karena sistem sosial dan tempat kerja yang belum mendukung keseimbangan peran. Artinya, turunnya angka kelahiran bukan soal ekonomi, tapi pilihan hidup dan struktur sosial.

Isu penurunan kelahiran ini bukan monopoli pandangan politik tertentu. "Bahkan perempuan tradisional atau evangelikal sekalipun tetap ingin dihormati di tempat kerja dan dibayar dengan adil,". Dengan kata lain, meski nilai keluarga tetap dijunjung, tuntutan terhadap kesetaraan dan

Diskusi publik di AS dan negara maju kini tengah memanas, dengan banyak pihak mencari cara menaikkan angka kelahiran. Namun selama akar masalahnya yakni ketimpangan gender dan ketidaksesuaian struktur kerja belum diatasi, kebijakan apa pun takkan efektif.

Menurut Goldin demografi bukan sekadar angka kelahiran dan kematian, tapi cermin dari pilihan sosial dan ekonomi masyarakat modern.

Jakarta Juga Menuju Kota Sepi Anak

Fenomena yang diuraikan Goldin kini juga terasa nyata di Indonesia. Angka fertilitas total (Total Fertility Rate/TFR) di Jakarta kini hanya 1,75 anak per perempuan, terendah di Indonesia dan jauh di bawah ambang ideal 2,1.

Rata-rata seorang perempuan di Jakarta melahirkan kurang dari dua anak sepanjang masa reproduksinya. Angka kelahiran kasar (Crude Birth Rate/CBR) pun rendah, hanya 13,94 kelahiran per 1.000 penduduk. Bahkan tingkat kelahiran remaja (ASFR usia 15-19 tahun) hanya 7,9 per 1.000 perempuan, jauh di bawah provinsi seperti Kalimantan Tengah (63,13) atau Papua (59).

Penyebab utamanya tak jauh berbeda dengan temuan Goldin: urbanisasi, biaya hidup tinggi, dan peningkatan pendidikan perempuan.
Perempuan di Jakarta memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, sehingga banyak yang menunda pernikahan dan kelahiran anak. Akses terhadap alat kontrasepsi dan program keluarga berencana juga luas, membuat pasangan lebih mampu mengatur jumlah anak yang diinginkan.

Kondisi ini menempatkan Jakarta dalam posisi serupa dengan kota-kota besar dunia, makmur secara ekonomi, tetapi menua secara demografis.

Jika tren ini berlanjut, Jakarta berpotensi menghadapi struktur penduduk menua (aging population) dalam beberapa dekade mendatang.

Meski menimbulkan kekhawatiran, tren ini juga bisa menjadi peluang. Populasi yang tumbuh lambat dapat membuka ruang bagi pembangunan yang lebih berkelanjutan: kualitas hidup lebih baik, infrastruktur lebih efisien, dan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Kebijakan populasi tidak akan efektif tanpa memahami akar sosialnya. Indonesia perlu memastikan bahwa perempuan dapat berkarier sekaligus berkeluarga tanpa harus memilih salah satu. Sebab pada akhirnya, keseimbangan antara kesetaraan gender dan dukungan keluarga akan menentukan arah demografi Indonesia di masa depan.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |