Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pada November 2025, saya berkesempatan menghadiri peluncuran buku "Indonesia Naik Kelas" karya Dr. Dany Amrul Ichdan, Wakil Direktur Utama MIND ID. Dalam acara tersebut, Dany menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia dengan metafora yang mengena: Indonesia bagaikan seseorang yang berlari kencang di atas treadmill--berkeringat deras, terengah-engah, namun tetap berada di tempat yang sama.
Dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, bonus demografi yang sedang mencapai puncaknya, dan stabilitas politik yang relatif terjaga, seharusnya Indonesia telah melangkah pasti menuju status negara maju.
Namun, pertumbuhan ekonomi sekitar 5% per tahun tidak cukup menaikkan pendapatan per kapita secara signifikan. Indonesia terjebak dalam gravitasi middle-income trap--kondisi stagnan di mana transisi dari ekonomi berbasis sumber daya alam ke ekonomi berbasis inovasi terasa sulit dicapai.
Tiga Belenggu yang Mengunci Ekonomi
Middle-income trap bukan sekadar masalah teknis ekonomi, melainkan jebakan politik sistemik. Salvatore Babones dan Hartmut Elsenhans (2017) menyebutnya sebagai political trap. Karena itu, meskipun resep ekonomi sudah ada dan telah terbukti di Korea Selatan dan Taiwan, tapi hanya sedikit negara yang mampu menerapkannya.
Tak lain, karena hambatan politik yang mengakar. Elite ekonomi cenderung nyaman dengan status quo, menolak reformasi struktural yang mengancam sumber rente mereka.
Indonesia mengalami varian khusus melalui tiga belenggu struktural yang saling mengunci.
Pertama, misalokasi modal sistematis. Modal mengalir deras ke sektor cepat untung namun rendah nilai tambah, seperti properti, ritel, ekspor komoditas mentah. Sementara itu, sektor manufaktur berteknologi tinggi, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi, justru kekurangan modal.
Di Indonesia, sektor-sektor dengan barrier to entry rendah dan regulasi longgar justru didominasi oleh konglomerat yang memanfaatkan kekuatan pasar (market power) mereka. Kebijakan yang tidak pro persaingan usaha memperparah situasi ini.
Padahal, peningkatan 10 poin dalam competition law index terbukti bisa mendongkrak pertumbuhan hingga 2,7% di negara berpenghasilan menengah--jauh lebih tinggi dari 1,2% di negara maju (Egert, 2016).
Laporan World Bank Business Ready (B-Ready) 2024 mengonfirmasi diagnosis ini. Skor market competition Indonesia hanya 52, tertinggal dari Vietnam (58) dan jauh dari Singapura (62). Begitu pun dengan skor business insolvency yang rendah (57) menunjukkan mekanisme exit yang buruk, mengunci modal pada perusahaan zombie yang tidak produktif.
Kedua, deindustrialisasi prematur. Data BPS menunjukkan kontribusi manufaktur ke PDB sekitar 19,15% (kuartal III 2025), tertinggal dari Vietnam (24%) dan Thailand (26%). Sedihnya, ekspor barang berteknologi tinggi Indonesia pun kurang dari 10% dari total ekspor manufaktur (World Bank, 2024).
B-Ready mengungkap akar masalahnya. Skor international trade Indonesia (65) tertinggal dari Vietnam (72) yang agresif mengintegrasikan diri ke global value chains. Vietnam juga unggul dalam utility services (79 vs 71 Indonesia), menunjukkan komitmen infrastruktur pendukung manufaktur yang lebih kuat.
Banyak pekerja Indonesia melompat langsung dari pertanian ke sektor jasa informal berproduktivitas rendah--gejala premature deindustrialization yang diperingatkan Dani Rodrik (2016). Kapasitas industri domestik yang lemah menyebabkan sektor manufaktur menyusut sebelum matang.
Ketiga, paradoks logistik dan produktivitas. Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa, pasar dalam negeri justru dibanjiri produk impor. Biaya logistik mencapai 14,29% dari PDB pada 2024 (Kementerian Perhubungan, 2024), membuat ongkos kirim dari Surabaya ke Papua sering kali lebih mahal daripada impor dari China.
Ini adalah contoh klasik coordination failure--semua pihak akan diuntungkan oleh logistik yang efisien, namun tidak ada mekanisme koordinasi yang memadai untuk investasi besar yang dibutuhkan.
Kondisi tersebut diperparah oleh rendahnya investasi dalam inovasi. Belanja R&D Indonesia masih berada di angka 0,28% dari PDB (World Bank, 2024), jauh di bawah Korea Selatan yang mencapai hampir 5%. Global Innovation Index menempatkan Indonesia di peringkat 55 dari 139 negara (WIPO, 2025).
Padahal inovasi sangat penting, karena pertumbuhan berkualitas dan berkelanjutan bergantung pada total factor productivity (TFP), yaitu efisiensi penggunaan modal dan tenaga kerja. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi kita lebih mengandalkan akumulasi faktor produksi (tambahan modal dan tenaga kerja), bukan pada peningkatan efisiensi dan inovasi.
Kerangka DAI: Strategi Keluar dari Jebakan
Untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut, Dany dalam bukunya Indonesia Naik Kelas mengajukan kerangka kerja DAI (Distinctive, Adaptive, Inclusive).
Pendekatan ini lebih holistik dibandingkan kerangka 3i yang diajukan World Bank (2024), yang menyarankan strategi bertahap: negara berpendapatan rendah fokus pada investment (investasi infrastruktur), negara berpendapatan menengah-bawah pada infusion (adopsi teknologi asing), dan negara berpendapatan menengah-atas pada innovation (penciptaan teknologi baru).
DAI mengakui ekonomi sebagai sistem kompleks di mana ketiga pilar harus berjalan beriringan, bukan secara sekuensial.
Distinctive, membangun keunggulan dari keunikan lokal. Indonesia tidak perlu meniru jalan sukses negara lain secara membabi buta. Prinsip relatedness dalam teori kompleksitas ekonomi menyarankan pengembangan kapabilitas yang dekat dengan aset yang sudah ada. Fokus pada segmen bernilai tinggi (seperti transisi dari nikel mentah ke baterai hingga kendaraan listrik) memungkinkan lompatan dalam product space (Hausmann & Klinger, 2007).
Strategi ini sejalan dengan teori global calue chains (GVC). Alih-alih hanya menjadi pemasok bahan mentah, Indonesia harus melakukan upgrading dalam rantai nilai global--bergerak dari posisi hilir ke hulu yang lebih bernilai tambah.
Namun, strategi hilirisasi hanya berhasil jika disertai kebijakan persaingan tegas. Tanpa itu, risiko hilirisasi hanya menguntungkan segelintir pemain besar, menciptakan monopoli baru yang menghambat inovasi.
Adaptive, merangkul ketidakpastian sebagai kesempatan. Ekonomi masa depan adalah ekonomi yang mampu bersahabat dengan ketidakpastian. Sifat adaptif berarti kemampuan mengubah ancaman menjadi peluang, sesuai dengan konsep creative destruction Joseph Schumpeter (1942), di mana inovasi menggantikan struktur ekonomi lama dengan yang baru.
Perlu disampaikan, bahwa pasar yang kompetitif lebih cepat beradaptasi terhadap disrupsi teknologi karena pemain yang tidak efisien akan tersingkir, sementara yang inovatif akan berkembang. Karena itu, kebijakan persaingan harus diposisikan sebagai alat untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan adaptasi terhadap perubahan teknologi.
Inclusive, memperluas jaringan pengetahuan. Pertumbuhan tinggi tidak memiliki makna jika meninggalkan mayoritas rakyat di belakang. Dengan rasio gini 0,375 (Maret 2025), ketimpangan masih menjadi bom waktu yang mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang. Dalam perspektif complexity economics, agar pertumbuhan ekonomi inklusif berarti harus memperluas akses jaringan dan pengetahuan ke seluruh aktor ekonomi, utamanya UMKM.
UMKM tidak boleh hanya menjadi penonton, melainkan harus diintegrasikan ke dalam rantai pasok industri besar. Industrialisasi tanpa UMKM ibarat pohon tanpa akar--keragaman jaringan justru meningkatkan kompleksitas dan ketangguhan keseluruhan sistem ekonomi.
Studi empiris menunjukkan bahwa kebijakan persaingan yang efektif berkorelasi positif dengan pangsa pendapatan tenaga kerja yang lebih tinggi (Egert, 2016). Ketika pasar dikuasai segelintir perusahaan besar dengan kekuatan pasar tinggi, mereka cenderung menekan upah dan meningkatkan markup. Sebaliknya, pasar yang kompetitif memberikan bargaining power lebih baik kepada pekerja dan memaksa perusahaan untuk meningkatkan produktivitas.
Momentum Transformasi: Sekarang atau Tidak Sama Sekali
Indonesia kini berada di persimpangan sejarah. Bonus demografi akan mencapai puncaknya pada 2030--setelah itu, jendela kesempatan emas tertutup permanen. Teori sistem kompleks mengajarkan tentang tipping point, yaitu intervensi tepat pada momentum kritis menghasilkan dampak eksponensial, namun kelambanan akan mengunci kita dalam path dependency yang sulit dipatahkan.
Pertanyaan mendasar bukan lagi apa yang harus dilakukan, karena resep teknisnya sudah jelas dari pengalaman Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura. Pertanyaan sebenarnya adalah tergantung keberanian melawan inersia politik dan bagaimana membangun koalisi reformasi yang kuat.
Langkah tersebut akan terlihat bila tiga hal krusial ini dilakukan, Pertama, memecah konsentrasi kekuatan pasar yang mencekik inovasi. Kedua, mengalihkan triliunan rupiah subsidi dari konsumsi ke produktivitas. Dan yang ketiga, membangun meritokrasi birokrasi dan hilangkan privilege elit.
Jika langkah-langkah tersebut tidak dilakukan dalam lima tahun ke depan, middle-income trap akan bermetamorfosis menjadi middle-income destiny--bukan lagi jebakan sementara, melainkan takdir permanen yang diwariskan kepada generasi berikutnya.
(miq/miq)


















































