Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pascadilantik oleh Presiden Prabowo Subianto, Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, langsung tancap gas membuat gebrakan lewat pemindahan dana pemerintah sekitar Rp 200 triliun dari rekening di Bank Indonesia ke lima bank komersial negara (Himbara).
Tujuannya untuk menambah likuiditas sektor pembiayaan atau jumlah uang yang beredar di masyarakat. Kebijakan ini memberi ruang lebih besar bagi sektor swasta untuk mengambil alih belanja yang selama ini banyak dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan ini jelas menandai babak baru kebijakan fiskal di Indonesia. Praktis sepuluh tahun di bawah komando Menteri Keuangan Sri Mulyani, kondisi fiskal Indonesia berjalan dengan pendekatan yang prudent dan disiplin. Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan keuangan negara dan memastikan bahwa fiskal tetap menjadi alat yang efektif untuk mendorong pembangunan dan menjaga stabilitas ekonomi.
Berbeda dengan Sri Mulyani, pendekatan fiskal akan lebih longgar dan mengikuti irama likuiditas di pasar. Purbaya dalam banyak pernyataanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Milton Fridman seorang ekonom terkenal Amerika Serikat.
Friedman berkeyakinan bahwa ekonomi dapat dikelola semata dengan mengontrol jumlah uang beredar. Oleh sebab itu, dengan menggelontorkan Sisa Anggaran Lebih (SAL) yang selama ini tersimpan di Bank Indonesia, Purbaya yakin daya beli akan bergerak dan ekonomi akan menggeliat.
Dari kebijakan tersebut, BRI, Bank Mandiri, dan BNI menerima kucuran dana sebesar Rp 55 triliun. Kemudian BTN menerima Rp 25 triliun dan BSI mendapatkan Rp 10 triliun, semuanya dana tersebut dalam bentuk deposito on call.
Artinya dana ini bersifat sementara dan bisa ditarik kapan saja oleh pemerintah karena sifatnya hanya penempatan. Pemerintah akan menerima bunga 80,476% dari BI Rate. Maka, bunga yang diterima pemerintah dari kelima bank sebesar 4,02% dengan tenor 6 bulan dan dapat diperpanjang. Saat ini suku bunga acuan di level 5,00%.
Efek masuknya dana pemerintah tersebut sudah mulai terasa. Diperkirakan likuiditas perbankan meningkat setelah adanya guyuran dana dari pemerintah. Hal itu tercermin dari laporan OJK, terkait kenaikan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga atau AL/DPK yang mencapai 24,20%, di mana sebelumnya tercatat 22,53%. Selain itu, rasio alat likuid terhadap Non-Core Deposit atau AL/NCD juga meningkat menjadi 107,10%, sebelumnya berada di level 99,81%.
Di sisi lain, Loan to Deposit Ratio (LDR) tercatat semakin menurun setelah pada Juli 2025 meningkat 3 bps secara tahunan menjadi 86,54%. Penurunan terjadi sejak Agustus 2025 yang berada di level 86,03%. Setelah adanya penempatan dana tersebut, LDR semakin menurun menjadi 85,34%.
Artinya perbankan masih memiliki ruang penyaluran kredit yang cukup besar ke depan. Hal itu tercermin dari pertumbuhan kredit dan DPK yang meningkat masing-masing sebesar 7,56% dan 8,51% pada Agustus 2025.
Selain memastikan kinerja keuangan sektor perbankan relatif stabil, yang tidak kalah penting adalah memastikan kucuran dana jumbo tersebut bisa sampai ke masyarakat sesuai dengan target yang sudah ditetapkan.
Dengan adanya tambahan sebesar Rp 55 triliun, kapasitas pembiayaan perbankan akan semakin kuat untuk menopang sektor-sektor ekonomi produktif yang meningkatkan daya saing ekspor dan memperluas lapangan kerja, sekaligus memperkuat ekonomi kerakyatan. Kebijakan Pemerintah tersebut, membuka peluang dan kesempatan bagi sektor ekonomi halal untuk mendapatkan potensi pembiayaan lebih besar.
Peluang Pembiayaan Industri Halal
Ditunjuknya Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai penyalur dana Pemerintah ke sektor perbankan (Bank Himbara) sebesar Rp 10 triliun, tentunya membawa angin segar bagi pembiayaan berbasis industri halal di Indonesia.
Sebagian besar pelaku industri halal di Indonesia adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), terutama di sektor makanan dan minuman; fesyen, kosmetik dan farmasi; pariwisata ramah muslim; keuangan syariah; media dan rekreasi. Perlu ada langkah strategis yang dilakukan oleh BSI untuk merancang penyerapan pembiayaan yang berbasis industri halal tersebut.
Pembiayaan berbasis syariah tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk mensukseskan program Pemerintah yang sedang berjalan saat ini yaitu Makanan Bergizi Gratis (MBG).
Dana ini bisa digunakan untuk membiayai dunia usaha yang terlibat dalam pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) melalui pembangunan infrastruktur SPPG, penyediaan bahan baku lokal dari UMKM, serta partisipasi dalam rantai pasok, dengan memastikan Makanan Bergizi Gratis sepenuhnya halal dan thoiyibah (sehat dan bergizi) untuk dikonsumsi oleh seluruh siswa.
Program unggulan Pemerintah lainnya yang berpotensi dibiayai melalaui mekanisme pembiayaan syaraiah adalah Koperasi Daerah Merah Putih (KDMP). koperasi berbasis syariah memiliki potensi besar dalam memperkuat ekonomi nasional, khususnya dalam mendukung pertumbuhan sektor ekonomi mikro di tingkat komunitas.
Koperasi Merah Putih yang berbasis syariah bisa menjadi model yang dapat diterapkan secara luas. KDMP berbasis syariah berpotensi untuk dikembangkan di daerah, Aceh, Sumbar, Riau, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan daerah lain di Indonesia.
Rencana Pemerintah untuk membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Halal di Sidoarjo, Jawa Timur, layak mendapat perhatian khusus. KEK tersebut diharapkan dapat menjadi pusat unggulan bagi industri halal di Indonesia.
Bahkan besar kemungkinan bisa menjadi bagian dari halal value chain dunia yang potensinya sangat besar sekali untuk melibatkan Indonesia di dalam rantai pasok industri halal. KEK Sidoarjo berpotensi untuk mengambil porsi barang-barang yang proses pengolahan awalnya dilakukan di China, dan kemudian dipasarkan ke kawasan Timur Tengah.
Program kucuran dana murah yang dikelola oleh BSI diharapkan juga akan mendorong sertifikasi halal bagi badan usaha khususnya UMKM. Saat ini, Pemerintah melalui Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) menargetkan sertifikasi halal pada tahun 2025 mencapai 3,5 juta sertifikat halal baru untuk pelaku usaha, termasuk sekitar 1 juta kuota sertifikat halal gratis bagi UMKM di seluruh Indonesia.
Pemerintah juga menargetkan penguatan rantai pasok halal dan mendorong ekspansi pasar global produk halal Indonesia melalui berbagai inisiatif dan perluasan ekosistem halal nasional.
Kebijakan wajib halal yang diberlakukan tahun 2024 bisa mendorong potensi Indonesia dalam pangsa pasar halal dunia. Kebijakan wajib halal merupakan upaya memberikan kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.
Sertifikat halal ini dapat meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi produk halal. Indonesia dapat memperluas pangsa pasar ekspor ke negara-negara dengan populasi Muslim yang besar di seluruh dunia. Produk-produk halal Indonesia akan memiliki akses untuk meningkatkan ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional.
BSI dan seluruh stake holder industri halal, harus merancang program khusus yang bisa mempermudah akses terhadap pembiayaan sebesar Rp 10 triliun tersebut. Program ini, diharapkan bisa menggairahkan industri halal Indonesia sehingga menjadikan industri halal menjadi sumber pertumbuhan utama.
(miq/miq)