Komisi XII DPR Minta ESDM Tinjau Ulang Swasta Beli BBM ke Pertamina

3 hours ago 1

Jakarta -

Kelangkaan BBM di SPBU swasta membuat Wakil Ketua Komisi XII DPR Bambang Haryadi keheranan. Bambang tak habis pikir dengan kebijakan Kementerian ESDM.

Dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (19/9/2025), Bambang mengungkit catatan kelangkaan BBM di SPBU swasta. Pada periode akhir Januari 2025, DPR melakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama pihak swasta, Pertamina, dan Dirjen Migas, yang akhirnya ESDM mengubah skema izin impor dengan catatan ada evaluasi triwulan.

"Kelangkaan SPBU swasta pernah terjadi akhir Januari 2025 dikarenakan ada perubahan skema izin impor dari 1 tahun menjadi 3 bulan. Dan ini terjadi sebelum kasus Pertamina meledak. Pascakejadian Pertamina, berdasarkan hasil RDP dengan seluruh SPBU swasta dan Pertamina awal Februari (bertepatan dengan rilis kasus Pertamina), akhirnya ESDM mengubah skema menjadi 6 bulan tapi evaluasi tiap 3 bulan," ujar Bambang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bambang mengaku bingung dengan ESDM yang menerapkan impor satu pintu. Dia menyebut Pertamina saat ini sudah menguasai 95 persen penjualan retail melalui SPBU, berbanding jauh dengan swasta.

"Yang kita bingung dengan kebijakan ESDM adalah penerapan impor satu pintu untuk menjadikan Pertamina sebagai market leader. Padahal Pertamina saat ini sudah menjadi market leader karena menguasai 95 persen penjualan retail melalui SPBU, dan hanya kurang 5 persen swasta," katanya.

Sekretaris Fraksi Gerindra DPR RI ini juga menyoroti permintaan ESDM agar swasta membeli BBM kepada Pertamina di tengah kondisi ini. Dia menyebut Pertamina juga merupakan importir BBM.

"Kewajiban swasta membeli ke Pertamina sebenarnya juga aneh, karena Pertamina juga importir. Kecuali Pertamina memproduksi BBM berlebih dari kebutuhan yang ada. Ini ibarat sama-sama jualan nasi goreng. Penjual nasi goreng kecil (5%) diwajibkan beli beras ke penjual nasi goreng besar (95%). Padahal penjual nasi goreng besar juga sama-sama beli dari pasar, tidak memproduksi beras sendiri. Ini harus ditinjau ulang," ujar Bambang.

Bambang menyebut terkadang negara menjadi sibuk sendiri karena kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kementerian tidak memuat mitigasi dampak secara menyeluruh. Hasilnya, kebijakan seperti ini menjadi kontraproduktif.

"Kasihan Presiden, kadang harus jadi pemadam kebakaran akibat hal-hal kecil yang sebenarnya tidak mengganggu keuangan negara," kata Bambang.

Bambang mengungkit jumlah SPBU swasta yang hanya 5 persen dan menjual barang nonsubsidi. Dia menyoroti saat ini memang terjadi peralihan market BBM ke SPBU swasta akibat kasus beberapa waktu lalu.

"Kalau alasannya kuota swasta naik, ini adalah akibat penurunan pembelian masyarakat ke Pertamina akibat kasus. Ada peralihan market, bukan penambahan kebutuhan," ujar Bambang.

Bambang mempunyai saran jika Pertamina memang harus dibantu. Langkah yang diambil, katanya, bukan memaksakan beli BBM di Pertamina.

"Jika kita mau bantu Pertamina, langkah yang seharusnya diambil adalah memberikan dispensasi kebijakan khusus ke Pertamina sehingga produknya lebih murah atau ubah strategi pemasaran, misalnya dengan promosi untuk menaikkan public trust," ujar dia.

Bambang tak sepakat dengan kebijakan yang seakan memaksa swasta membeli BBM ke Pertamina. Ini, katanya, hanya akan membuat Pertamina terkesan merebut pasar dan publik semakin turun kepercayaannya terhadap perusahaan pelat merah tersebut.

"Memaksakan beli ke Pertamina di tengah upaya mengembalikan kepercayaan publik kepada Pertamina, dan dengan mewajibkan SPBU swasta beli ke Pertamina sebenarnya malah semakin menurunkan kepercayaan publik ke Pertamina. Karena kesannya Pertamina menggunakan kebijakan pemerintah untuk merebut pasar. Dan swasta akan semakin jadi idola, karena terkesan dizalimi," ujar Bambang.

"Kita juga harus ingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan," imbuh dia.

(gbr/tor)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |