Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan.
Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik. Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi.
Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman. Adapun episode ke-7 ini kami beri judul: "Ketika Weber Bangun di Tahun 2025". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.
Tiba-tiba di tahun 2025, Max Weber terbangun dari mimpi panjangnya. Dunia yang dulu ia bayangkan, dipenuhi oleh pengusaha saleh, birokrat modern, dan masyarakat yang bekerja dengan khusyuk telah lenyap.
Ia menyusuri kota Jakarta yang sibuk dan riuh. Di setiap ruang kerja, ia melihat tubuh-tubuh yang bergerak, tapi tak bersambung dengan hatinya. Bekerja bukan lagi soal makna, tapi target. Menjadi profesional bukan lagi soal pengabdian, tapi penghindaran.
Setelah seharian berkeliling di perkantoran yang tak pernah ia lihat di masa mudanya, Weber tua duduk di bangku dan bertanya dalam hati: Kapitalisme masih di sini, tetapi "Di mana panggilan itu sekarang? Ke mana perginya Beruf yang dulu menyatukan dunia sekuler dan dunia suci?"
Dulu, seorang tukang kayu bisa merasa dekat dengan Tuhan. Seorang pembuat sepatu bisa merasa sedang menunaikan Ibadah. Bukan karena pekerjaan itu sakral, tapi karena ia dilakukan dengan niat yang terarah, penuh rasa tanggung jawab, dan keterhubungan pada dunia yang lebih besar dari dirinya.
Hari ini, dia menyaksikan para pekerja itu tidak lagi mencari panggilan. Mereka mencari pelarian. Dari pekerjaan, dari tanggung jawab, dari keletihan, bahkan mungkin dari dirinya sendiri. Tapi Weber tahu, manusia tidak pernah sepenuhnya bisa melarikan diri dari panggilannya.
Tapi siapa itu Beruf, yang selalu dibisikkan Weber dalam tulisannya bersama dengan kapitalisme, yang juga disebut olehnya kini ketika ia terbangun kembali? Siapa sosok halus ini yang dulu menyertai bangkitnya dunia modern, lalu perlahan memudar seperti kabut pagi?
Beruf dalam bahasa Jerman berarti panggilan. Ia bukan sekadar "job" atau "pekerjaan." Lebih dalam lagi, Beruf adalah jalan hidup yang dipilih karena keyakinan, karena hubungan spiritual antara manusia dan tugasnya di dunia. Weber pertama kali bertemu dengan Beruf bukan di ruang akademik, tapi dalam renungan tentang para pekerja Protestan abad ke-16.
Mereka bekerja dengan tekun bukan demi kekayaan, tapi karena mereka percaya bahwa: "Kerja adalah bentuk Ibadah dan dunia adalah ladang tempat manusia membuktikan kesetiaan pada Tuhan, lewat akuntansi, pertanian, perbankan, menjadi tukang sepatu, dan menjadi pandai besi."
Dalam dunia itulah, Weber menemukan benih dari kapitalisme yang bermoral. Kapitalisme yang tidak hanya efisien, tapi juga etis. Karena ketika seseorang bekerja sebagai panggilan, ia tidak mencuri, tidak malas, dan tidak rakus. Ia hadir, ia setia dan mencintai ciptaannya.
Weber lalu teringat zaman ketika Beruf masih hidup. Saat itu, seorang ayah pulang kerja dengan tangan berminyak, lumpur dan debu, tapi hatinya terang. Ia tahu mengapa ia bangun pagi dan ia tahu untuk siapa ia mencangkul, mengelas, menulis laporan. Ia mungkin tidak kaya, tapi ia punya arah.
Anak-anak mencintai pekerjaan ayahnya bukan karena gajinya besar, tapi karena ayah mereka mencintai apa yang ia lakukan. Ayah mereka hadir, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara spiritual, dalam nilai yang ia tanamkan, dan bangga yang ia tularkan lewat kerja keras. "Aku ingin jadi seperti Ayahku" adalah cita-cita awal dari anak-anak Ketika Beruf masih ada.
Dalam dunia itu juga, Weber membayangkan Thomas Edison. Ia bekerja bukan untuk "keluar dari pekerjaan", tapi untuk masuk lebih dalam ke misteri ciptaan. Ia tidak mencari passive income, ia mencari cahaya. Ia ingin membuat malam lebih terang bagi dunia. Ia mencintai penemuan bukan sebagai cuan, tapi sebagai panggilan untuk menerangi manusia lain.
Atau Jacob Schifft, dan bankir-bankir besar masa itu. Mereka membiayai pembangunan rel kereta api, kota, dan industri, bukan karena mereka ingin duduk diam dan kaya, tapi karena mereka percaya uang bisa menjadi jembatan dari ide ke kenyataan. Uang, dalam tangan mereka, adalah alat transformasi, Bukan sekadar alat pembesaran portofolio.
Tapi ketika Weber bangun di 2025, ia melihat perubahan itu terlalu jauh. Ayah-ayah kini pulang larut, membawa beban yang tidak mereka mengerti. Mereka tidak tahu mengapa mereka bekerja, selain untuk mencicil rumah, membayar uang sekolah yang entah kenapa sangat mahal, dan berharap bisa pensiun lebih cepat. Mereka tidak lagi hadir. Kini mereka hanya hilir-mudik antara kewajiban dan kelelahan.
Dan anak-anak melihatnya. Mereka tidak lagi ingin menjadi seperti ayah mereka. Maka mereka mulai bermimpi tentang kebebasan: bukan untuk mencipta, tapi untuk tidak perlu bekerja sama sekali. Mereka tidak mencari panggilan, mereka mencari exit strategy.
Lalu kemudian Weber termenung, dulu dia berpikir bahwa kapitalisme bisa hadir bersama beruf, ternyata sekarang dia bisa berjalan sendiri. Ia merenung, mungkin yang harus kita bangkitkan kembali adalah kerinduan akan Beruf.
Karena dunia yang kehilangan panggilan, akan kehilangan arah. Dan manusia yang kehilangan Beruf, tak akan pernah merasa cukup, meski portofolio dan kekayaannya naik terus. HRD perusahaan hari ini tidak mencari panggilan, mereka mencari fit. Sistem pendidikan tidak memupuk Beruf, tapi employability. Pemerintah pun juga jarang memikirkan Beruf. Sekali lagi Weber terdiam, tapi begitulah zamannya, sahutnya dalam hati.
Ia tahu Beruf masih hidup di beberapa jiwa, tapi terlupakan oleh sistem. Terlupakan oleh pendidikan, terlupakan oleh ekonomi. Dan barangkali, sedang digantikan oleh sesuatu yang lebih cepat, lebih menguntungkan, tapi lebih sunyi.
Tanpa Beruf, Weber lalu menyadari sesuatu yang lebih pahit: Kapitalisme hari ini bukan lagi didorong oleh panggilan, melainkan dijalankan oleh sistem yang tidak percaya pada panggilan. Di ruang rapat, Beruf dianggap "tidak scalable."
Di platform digital, pekerjaan yang dikerjakan dengan hati dianggap "tidak efisien." Dan di hadapan logika venture capital, kerja yang terlalu setia pada proses malah dicap "tidak agile." Dan dengan perlahan, sistem pun menghapus bukan hanya panggilan, tapi juga rasa bangga ketika bekerja.
Lalu Weber berjalan di antara generasi muda yang bekerja tanpa suara, di coworking space yang terang, tapi hampa. Mereka tampak sibuk, mengetik cepat, mendesain personal branding, mencari kata kunci yang disukai mesin.
Mereka hidup dari notifikasi, dan mati perlahan setiap kali algoritma berubah. Mereka bekerja bukan untuk hadir, tapi untuk tampil. Bukan untuk mencipta, tapi untuk bertahan dalam feed. Weber bertanya lagi dalam hati: Siapa yang mereka layani?
Tapi di tengah kebisingan itu, Weber percaya: masih ada kompas yang bisa kita pegang. Ia tak berpendar seperti layar ponsel, tak memaksa seperti notifikasi, tapi tetap ada diam-diam bergetar di dalam dada, itulah Beruf.
Beruf tidak membentak, tidak memaksa. Ia tidak seperti target tahunan atau algoritma trending. Ia hanya berbisik pelan saat kita hampir menyerah: "Ingat, kamu tidak bekerja demi dunia melihat. Kamu bekerja karena dunia layak diberi."
Kompas itu Masih Menyala: Di Tempat yang tak ada dalam Berita
Weber sempat putus asa, dunia seolah terlalu jauh dari Beruf. Tapi kemudian, di sela keheningan Jakarta yang berisik, ia melihat cahaya-cahaya kecil, titik-titik hangat yang tak besar, tapi menyala. Dan di sana, Beruf belum mati. Ia justru sedang dilindungi.
Di sudut kecil Alam Sutera, tersembunyi sebuah kedai kopi yang tak masuk peta kuliner influencer. Kursinya hanya beberapa, interiornya sederhana, tapi setiap pagi, aroma harapan menyambut seperti kabar baik.
Di sana, barista dan pelanggan bukan sekadar bertukar transaksi. Mereka mengenal nama satu sama lain. Barista tahu siapa yang sedang sedih, siapa yang baru menikah, siapa yang sedang lelah bekerja. Ia tahu mana pelanggan yang suka aftertaste rempah, dan mana yang selalu tanya tentang roast terakhir dari Flores. Kopi bukan dijual di sana, kopi dihidangkan, diceritakan, dihormati.
Weber kemudian berjalan ke Bendungan Hilir. Di sana, sebuah rumah makan Padang berdiri seperti saksi zaman. Sudah empat puluh tahun, daging rendangnya dimasak dengan api kecil. Tiap gulai tidak hanya diracik, tapi dirawat. Setiap pekerja dari dapur hingga pelayan bukanlah karyawan biasa, mereka adalah bagian dari satu keluarga yang menjadikan makanan sebagai ibadah.
Di balik dapur, seorang ibu tua masih mengaduk kuah dengan tangan sendiri. Tangannya sudah keriput, tapi geraknya masih lembut. Ia tak pernah tergoda untuk "scaling" warungnya jadi franchise nasional, karena ia tahu: "Rasa tidak bisa ditumbuhkan dari spreadsheet. Ia tumbuh dari kesetiaan."
Di Pasar Rumput, ada yang mirip. Sebuah kedai nasi yang hanya punya dua menu, tapi selalu penuh oleh pelanggan tetap yang datang bahkan dari seberang kota. Mereka datang bukan karena harga, tapi karena kenangan dan cinta yang tidak berubah dalam setiap suapannya.
Beruf hadir di sana, dalam bumbu yang tidak pernah dikorbankan demi efisiensi, dari beras yang masih dibawa dari kampung halaman, dan dalam tangan yang tetap bangun pukul tiga subuh setiap hari, demi menyiapkan makan untuk orang lain dengan sepenuh hati.
Dan di pinggiran BSD, Weber menemukan sebuah kantor kecil. Tidak ada plakat mencolok, tidak ada VC funding besar. Tapi anak-anak muda di sana bekerja dengan semangat seperti para pengrajin di abad pertengahan.
Mereka menulis kode bukan untuk menjualnya cepat,tapi untuk menyelesaikan masalah nyata yang kadang terlalu kecil untuk dikerjakan oleh perusahaan besar. Mereka membantu koperasi digitalisasi sistem keuangannya. Mereka merapikan data rumah sakit daerah. Mereka membuat dashboard buat petani yang tidak bisa membaca grafik.
"Kenapa nggak exit aja, cari pembeli?" tanya seorang tamu dari luar negeri. Sang founder menjawab, "Karena tujuan kami bukan keluar. Kami ingin masuk lebih dalam. Kami ingin membangun sesuatu yang tinggal, bukan hanya lewat."
Di sini akhirnya Weber tersenyum untuk pertama kalinya di tahun 2025. Di tempat itu, ia mengetik dalam diam dan berdoa:
Karena itu, aku memanggil Beruf kembali. Panggilan hidup yang tak perlu viral, Pekerjaan yang tak perlu dihias, tapi dilakukan dengan cinta yang dalam dan setia. Bawalah kembali rasa bangga bukan karena gajinya besar, tapi karena aku tahu untuk siapa aku bangun pagi. Ajarkan aku bekerja bukan untuk lari, tapi untuk hadir. Bukan untuk cepat pensiun, tapi untuk mencipta sesuatu yang layak diwariskan.
Di sini Weber tahu, bahwa Beruf belum mati. Ia tidak muncul di konferensi besar, tidak trending di media sosial, tapi Beruf ada di dapur kecil, di meja kasir yang jujur, di barista yang masih mendengar dan meja BoD yang mencintai bisnis dan pekerjaannya. Ia bernafas di antara tangan yang mencintai hasil kerjanya, di wajah pelanggan yang tidak sekadar kenyang, tapi merasa dihargai.
Dia mungkin pelan-pelan bangkit di sekolah alternatif, komunitas kerja baru, lingkar sahabat yang saling menguatkan panggilan, masjid dan gereja, atau bahkan, dalam ruang-ruang kerja yang diam-diam masih memelihara makna.
"Beruf tidak butuh revolusi besar. Ia hanya butuh disambut oleh dua atau tiga jiwa yang masih ingin bekerja dengan cinta, lalu saling menguatkan. Dari situ, dunia bisa dibangun ulang, bukan dari strategi, tapi dari kesetiaan."
"Dan ketika manusia mulai bersaing dengan mesin dan AI untuk jadi produktif, Beruf bisa menjadi satu-satunya yang tak bisa ditiru, karena hanya jiwa yang bisa mencintai ciptaan yang belum ada di pasar."
(miq/miq)