Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam beberapa tahun terakhir, ledakan minat terhadap artificial intelligence (AI) menciptakan gelombang optimisme besar di berbagai sektor. Fenomena ini mengingatkan pada "dotcom boom" tahun 1994, ketika internet pertama kali menjadi candu bagi publik dan investor. Namun di balik euforia tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah dunia sedang mengulangi siklus yang sama ledakan inovasi yang diikuti kejatuhan akibat ekspektasi berlebihan?
AI kini tidak hanya menjadi alat bisnis atau hiburan, tetapi juga instrumen kekuatan dalam politik global., Teknologi ini telah memainkan peran penting dalam konflik antara Israel dan Iran. AI digunakan untuk menganalisis data intelijen, mengendalikan sistem senjata otomatis, hingga mempercepat pengambilan keputusan di medan perang. Hal ini menunjukkan bahwa AI telah berkembang melampaui batas imajinasi, bahkan masuk ke ranah yang sangat sensitif: keamanan dan pertahanan negara.
Namun seperti halnya euforia internet pada 1990-an, minat besar terhadap AI juga memunculkan risiko baru. Banyak perusahaan dan investor berlomba mengadopsi teknologi ini tanpa memahami sepenuhnya kemampuan dan keterbatasannya. Situasi ini mirip dengan masa ketika banyak startup internet tumbuh cepat hanya karena "demam digital", tanpa fondasi bisnis yang kuat. Hasilnya bisa jadi serupa ketika ekspektasi pasar terlalu tinggi dan hasilnya tidak sebanding, gelembung bisa pecah.
Selain faktor ekonomi, ada juga sisi sosial dan psikologis dari "kecanduan AI". Publik mulai mengandalkan AI untuk berpikir, bekerja, dan mengambil keputusan, hingga kehilangan kemampuan kritis terhadap teknologi itu sendiri. Ketergantungan ini bisa menimbulkan masalah etika, privasi, bahkan stabilitas sosial, terutama jika AI digunakan untuk propaganda atau manipulasi informasi dalam skala besar.
Masalah etika pun menjadi semakin kompleks. Ketika AI digunakan untuk mengumpulkan data, membuat prediksi perilaku, atau memengaruhi opini publik, batas antara kemajuan dan manipulasi menjadi kabur. Ketergantungan publik terhadap sistem algoritmik membuat mereka rentan terhadap distorsi informasi dan bias buatan mesin.
Namun di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap potensi besar yang dimiliki AI. Teknologi ini telah membantu banyak sektor mulai dari kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga energi menjadi lebih efisien dan adaptif. Dengan pengawasan dan regulasi yang tepat, AI dapat menjadi katalis bagi kemajuan manusia tanpa harus mengulangi kesalahan masa lalu.
Pelajaran berharga dari kejatuhan dotcom adalah pentingnya keseimbangan antara inovasi dan kewaspadaan. Dunia perlu memahami bahwa setiap kemajuan teknologi memiliki siklusnya sendiri: dari fase euforia, ekspektasi berlebihan, hingga titik realisasi dan stabilisasi. Jika kita tidak belajar dari sejarah, maka kita berisiko mengulang pola yang sama ledakan cepat diikuti oleh kehancuran mendadak.
Pada akhirnya, dunia berada di persimpangan yang sama seperti tahun 1994 antara kemajuan luar biasa dan potensi kejatuhan besar. AI bisa menjadi tonggak sejarah baru bagi peradaban manusia, atau justru mengulang siklus euforia yang berakhir pada krisis. Pilihannya ada pada bagaimana kita mengelola ekspektasi dan membangun fondasi yang sehat bagi masa depan teknologi ini.
Pentingnya para investor untuk berkaca pada dotcom boom untuk tidak sekedar berinvestasi pada tren tetapi kepada rasionalitas karena pada intinya semua akan kembali kepada profitability hal ini juga berlaku kepada para founder agar produk yang mereka tawarkan memiliki dampak nyata bukan sekadar "riding the wave".
Regulator juga harus membuat aturan ketat terkait AI. Ini karena inovasi AI tidak terbatas hanya pada hal yang bersifat hiburan namun terkait pertahanan dan keamanan (cyber war)
(miq/miq)


















































