Kejaksaan Negeri (Kejari) Samosir mengungkap Kepala Dinas Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Desa (PMD) Samosir, FAK, diduga mengubah sepihak cara penyaluran bantuan korban bencana Rp 1,5 miliar. Bantuan seharusnya berupa uang tunai Rp 5 juta, namun diubah menjadi barang senilai Rp 3 juta.
Kajari Kabupaten Samosir, Satria Irawan, menjelaskan Kementerian Sosial awalnya memberikan bantuan sebesar Rp 5 juta per keluarga terdampak bencana. Dia mengatakan ada total bantuan itu berjumlah Rp 1.515.000.000 untuk 303 keluarga korban bencana banjir bandang di Samosir pada tahun 2024.
"Bahwa pada tahun 2024, 303 kepala keluarga yang terkena dampak banjir di tiga desa di Kecamatan Harian, Samosir, menerima bantuan uang sebesar Rp 5.000.000 per KK dari Kementerian Sosial Republik Indonesia," kata Satria, Senin (29/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, katanya, FAK menyurati pimpinan cabang salah satu bank penyalur bantuan di Pangururan. Dia diduga meminta pihak bank menarik uang bantuan yang telah disalurkan kepada masyarakat untuk dipindahkan ke rekening BUMDes-MA Marsada Tahi.
"Masyarakatnya tidak tahu uang sudah masuk atau belum ke rekning masyarakat dari Kementerian Sosial karena tersangka langsung menyurati bank supaya uangnya di transfer ke rekening BUMDes," ujar Satria.
BUMDes-MA Marsada Tahi diduga merupakan pihak yang dipilih FAK untuk menyalurkan barang kepada korban banjir. Perubahan cara penyaluran bantuan yang seharusnya uang tunai menjadi bentuk barang diduga dilakukan tanpa seizin Kemensos.
Satria mengatakan FAK diduga meminta BUMDes-MA Marsada Tahi menaikkan harga barang 15% dari harga penjualan barang sebenarnya. Hasil mark up 15% itu diduga diminta FAK untuk keuntungan pribadinya.
"Barang yang dibelikan atau disalurkan ke masyarakat harganya sekitar Rp 3 juta sampai Rp 3,5 juta setiap KK-nya," ungkap Satria.
Perbuatan FAK diduga menyebabkan kerugian Rp 516 juta. Jaksa kini masih mendalami ke mana aliran uang itu. FAK telah ditahan di Lapas Kelas III Pangururan.
Pengacara Bantah Kasus Dugaan Korupsi
Pengacara FAK, Dwi Natal Ngai Sinaga, menyatakan peningkatan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan pada 1 Juli 2025 dilakukan ketika hasil audit kerugian keuangan negara belum tersedia. Dia mengatakan harusnya penetapan tersangka dilakukan setelah ada perhitungan kerugian negara.
"Peningkatan status perkara tersebut dilakukan ketika belum ada hasil audit kerugian keuangan negara. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan dari aspek hukum acara pidana," kata Dwi Natal Ngai Sinaga dilansir Antara.
Pengacara juga membantah dugaan penerimaan fee sebesar 15% oleh kliennya. Menurut mereka, tuduhan tersebut tidak disertai bukti.
"Jika benar ada fee, tentu terdapat pihak yang memberi dan menerima. Namun menjadi pertanyaan mengapa hanya klien kami yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara pihak lain tidak," kata pengacara FAK lainnya, Rudi Zainal Sihombing.
Saksikan Live DetikSore:
(ond/haf)


















































