Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang tahun 2026, teknologi AI makin canggih, bot makin sulit dibedakan dari manusia, dan tantangan keamanan siber meningkat. Dengan ratusan juta pengguna internet, layanan fintech yang berkembang, dan regulasi digital yang terus diperbarui, ruang digital Indonesia butuh sebuah fondasi baru untuk memastikan bahwa aktivitas online benar-benar dilakukan oleh manusia, yaitu konsep proof of human atau bukti kemanusiaan.
Tiga tahun lalu, konsep seperti proof of human belum dianggap mendesak bagi Indonesia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran masyarakat meningkat pesat. SAFEnet (2024) mencatat meningkatnya kecemasan publik terhadap disinformasi berbasis AI dan manipulasi ruang digital. Kemudian AwanPintar (2024) menemukan peningkatan signifikan penipuan digital berbasis AI dan otomatisasi.
Survei Ipsos AI Monitor Indonesia 2024 menunjukkan bahwa 71% responden setuju bahwa produk dan layanan AI telah mengubah kehidupan mereka dalam 3-5 tahun terakhir, dan 80% percaya perubahan akan semakin terasa dalam 3-5 tahun ke depan.
Perubahan signifikan dalam sentimen publik ini terjadi bersamaan dengan kemajuan pesat dalam kecerdasan buatan. Tahun 2026 diprediksi akan menjadi titik balik bagi AI, dengan para ahli menyatakan bahwa artificial general intelligence (AGI) atau titik ketika AI mampu menunjukkan penalaran, pembelajaran, dan kemampuan beradaptasi setara manusia, kemungkinan hanya berjarak dua tahun, bukan sepuluh tahun.
Proof of Human, Penyeimbang Krusial bagi AI
Kemajuan AI membuat perbedaan manusia dan bot semakin kabur. Di Indonesia, fenomena ini terlihat di media sosial dan percakapan publik yang dipenuhi akun otomatis, chatbot canggih, dan konten deepfake yang makin sulit dibedakan dari manusia nyata.
Skenario seperti ini pertama kali dibayangkan oleh matematikawan Alan Turing pada tahun 1950 melalui konsep "Turing Test", sebuah metode untuk menilai apakah mesin mampu menunjukkan perilaku cerdas yang sulit dibedakan dari manusia. Pada 2024, model GPT-4 dilaporkan berhasil melewati uji tersebut untuk pertama kalinya.
Masyarakat membutuhkan mekanisme untuk memastikan bahwa sebuah akun atau konten benar-benar berasal dari manusia. Di Indonesia, kebutuhan ini penting karena meningkatnya bot, akun palsu, dan penyalahgunaan identitas digital dalam transaksi ataupun percakapan publik.
World ID diverifikasi Orb untuk memastikan "manusia unik" secara anonim. Pendekatan ini relevan bagi Indonesia karena sesuai dengan prinsip perlindungan data pribadi dalam UU PDP, yaitu privasi, keamanan, dan kendali data oleh pemiliknya.
Survei global menunjukkan dukungan luas terhadap teknologi yang membantu membedakan manusia dari bot di internet.
-
Di Korea Selatan, 91% dari 1.100 orang yang disurvei mengatakan mereka setuju bahwa teknologi proof of human itu diperlukan.
-
Di Peru, 84% dari 800 orang yang disurvei mengatakan bahwa mekanisme yang membedakan mesin dari manusia adalah sesuatu yang "esensial" untuk masa depan.
-
Di Spanyol, 82% dari 21.000 pemegang World ID yang disurvei setuju bahwa teknologi seperti World ID penting untuk membedakan antara manusia dan bot secara online.
Hal ini mencerminkan tren yang juga berkembang di Indonesia, di mana meningkatnya bot, akun palsu, dan penipuan digital mendorong masyarakat untuk menginginkan transparansi lebih besar terkait siapa yang benar-benar manusia di ruang digital.
Dukungan ini kemungkinan menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap pesatnya adopsi World Network pada tahun 2024. Hingga bulan Desember, jaringan tersebut telah melampaui 20 juta peserta total (termasuk lebih dari 9,5 juta manusia terverifikasi) di seluruh benua kecuali Antartika, dan menambah sebanyak 800.000 pengguna World App baru serta 355.000 pemegang World ID terverifikasi baru setiap minggunya.
Jika dihitung, itu berarti sekitar satu orang baru bergabung dengan World Network setiap 0,75 detik, termasuk lebih dari 17 juta pengguna terverifikasi secara global.
Tiga tantangan utama yang bisa diselesaikan oleh proof of human di 2025
Teknologi proof of human seperti World ID akan membantu mengatasi tiga tantangan besar ini dan kemungkinan masih banyak tantangan lain mulai tahun 2026.
1. Meningkatkan kepercayaan di dunia online saat bot semakin banyak
Bot canggih yang digerakkan AI sebenarnya tidak selalu buruk. Tapi bot sudah, dan akan semakin sering, dipakai untuk menyebarkan informasi palsu, melakukan phishing, membuat deepfake, dan berbagai penyalahgunaan lainnya. Tantangan-tantangan ini dipastikan akan terus membesar.
Dengan mengetahui mana yang benar-benar manusia, atau dengan membatasi akun dan aktivitas hanya untuk pengguna yang telah terverifikasi sebagai manusia, kita bisa membangun komunitas digital yang jauh lebih terpercaya. Bahkan, ini membuka peluang untuk menghadirkan layanan seperti pemungutan suara online (online voting) yang jauh lebih sulit disabotase.
2. Membantu mencegah penipuan online dan kejahatan siber
Kejahatan siber yang memanfaatkan AI makin sering terjadi, makin rumit, dan makin masif dampaknya. Semua tanda menunjukkan tren ini akan terus meningkat, karena AI semakin mudah meniru perilaku manusia.
Teknologi proof of human seperti World ID sudah menyediakan lapisan "kemanusiaan" yang membantu memastikan interaksi digital benar-benar dilakukan oleh manusia. Tidak berhenti sampai di situ, World ID juga bisa digabungkan dengan teknologi lain seperti Face Auth untuk menciptakan alat yang lebih kuat, misalnya Deep Face, yang membantu melawan deepfake dan berbagai bentuk penipuan lainnya.
3. Menjadi fondasi identitas digital yang aman, terlindungi, dan terdesentralisasi
Di berbagai wilayah, dari Eropa sampai Asia, banyak pemerintah mulai menerapkan aturan KYC (know your customer) yang lebih ketat dan berbagai bentuk verifikasi identitas digital lainnya. Ini sebagian besar dipicu oleh kekhawatiran terhadap disinformasi dan ancaman keamanan.
World ID menyediakan lapisan "kemanusiaan" yang anonim dan terdesentralisasi, yang bisa menjadi dasar pembuatan identitas digital yang aman. Selain itu, dengan adanya fitur Credentials pada World ID, pengguna kini bisa menambahkan informasi tambahan, seperti paspor pemerintah yang mendukung NFC, untuk membuktikan hal-hal tertentu tentang diri mereka (misalnya kewarganegaraan, usia, dan lainnya) tanpa harus membuka seluruh data pribadi mereka, berkat protokol privasi World ID.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]


















































