Forel dan Terubuk: Era Baru Kemandirian Minyak dan Gas Indonesia

1 day ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Peresmian operasional dua lapangan minyak baru, Forel dan Terubuk, di Wilayah Kerja (WK) Natuna Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, menandai halaman baru dalam upaya Indonesia mencapai kedaulatan energi dan memperkuat fundamental ekonomi. Langkah strategis yang diresmikan oleh Presiden Prabowo Subianto ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah momen bersejarah yang menjanjikan manfaat signifikan bagi neraca perdagangan, stabilitas nilai tukar Rupiah, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Kehadiran Lapangan Forel yang telah memproduksi 10.000 barel minyak per hari (BOPD) dengan potensi hingga 13.500 BOPD, serta Lapangan Terubuk yang memulai produksi dengan 4.000 BOPD dan ditargetkan mencapai 6.500 BOPD serta 60 MMSCFD gas, memberikan kontribusi tambahan yang sangat berarti bagi produksi minyak dan gas nasional. Total tambahan kapasitas dari kedua lapangan ini mencapai 30.000 barel setara minyak per hari (BOEPD) dengan nilai investasi mencapai US$ 600 juta.

Masih Banyak Potensi Migas di WK Natuna Selatan
Optimisme Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mengenai peningkatan lifting minyak nasional bukan tanpa dasar. Wilayah kerja migas yang berlokasi di Kepulauan Natuna berjumlah 16 WK, terdiri dari enam WK produksi dan 10 WK eksplorasi, menunjukkan bahwa masih terdapat ruang eksplorasi yang sangat luas di perairan strategis ini.

Keberadaan blok-blok migas yang mangkrak di sekitar WK South Natuna menjadi ironi tersendiri mengingat besarnya potensi yang terpendam. Sebagaimana disampaikan Menteri Bahlil, di sekitar blok Forel dan Terubuk masih terdapat sejumlah pemegang izin yang sudah lama memegang izin tetapi tidak beroperasi, dengan potensi peningkatan produksi sekitar 5.000 BOPD-7.000 BOPD.

Pemerintah RI melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 110.K/MG.01/MEM.M/2024 tentang Pedoman Pengembalian Bagian Wilayah Kerja Potensial yang Tidak Diusahakan dapat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap blok-blok yang tidak optimal. Kriteria yang ditetapkan mencakup lapangan non-produksi selama dua tahun
berturut-turut, POD selain yang pertama yang tidak dikerjakan selama dua tahun, serta struktur discovery yang tidak ditindaklanjuti dalam tiga tahun berturut-turut.

Implementasi regulasi ini tidak hanya berlaku di Natuna, tetapi secara nasional telah mengidentifikasi permasalahan yang cukup serius. Terdapat 10 wilayah kerja yang sudah memiliki POD (Plan of Development) namun mangkrak dengan kapasitas produksi mencapai 31.300 BOPD. Blok-blok mangkrak ini memiliki potensi investasi sebesar US$1,8 miliar dengan estimasi kapasitas produksi 51,35 juta barel minyak dan 600 miliar kaki kubik (BCF) gas, serta dapat menyerap 20.000 tenaga kerja.

Natuna sejatinya menyimpan potensi migas yang luar biasa besar. Cadangan gas terbesar di Indonesia berada di Natuna, dengan Blok East Natuna memiliki cadangan mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF), menjadikannya cadangan gas terbesar di Asia Pasifik.

Meskipun menghadapi tantangan teknis karena kandungan CO2 yang mencapai 71%-72%, potensi yang dapat dieksploitasi masih mencapai 46 TCF atau tiga kali lipat dari cadangan Lapangan Tangguh dan Blok Masela. Total cadangan terbukti migas di Kepulauan Natuna saat ini adalah gas sebesar 4 TSCF dan minyak serta kondensat 201,401 MMSTB, dengan total produksi untuk gas 4.890,3 MMSCFD serta minyak dan kondensat 25.113 BOPD. Angka-angka ini menunjukkan bahwa optimalisasi pengelolaan blok-blok yang ada dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap target nasional.

Menekan Defisit Perdagangan
Salah satu manfaat paling signifikan dari peningkatan produksi minyak domestik melalui Lapangan Forel dan Terubuk adalah potensinya dalam memperbaiki posisi neraca perdagangan Indonesia. Berdasarkan pendekatan absorpsi terhadap neraca pembayaran yang dipopulerkan oleh Sidney Alexander pada 1952, defisit neraca perdagangan (BT=Y−A) terjadi ketika total pengeluaran domestik atau absorpsi (A) melebihi total produksi nasional (Y).

Peningkatan produksi minyak domestik secara langsung meningkatkan komponen Y dalam persamaan tersebut. Berdasarkan asumsi tingkat absorpsi domestik terhadap produk migas relatif konstan atau kenaikannya lebih kecil dari peningkatan produksi, maka selisih (Y−A) akan membesar, yang berarti terjadi perbaikan pada neraca perdagangan, khususnya pengurangan defisit pada neraca perdagangan migas.

Sebagaimana data yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, sektor migas masih mencatatkan defisit sebesar US$1,33 miliar, menggarisbawahi urgensi peningkatan produksi domestik ini. Dengan demikian, substitusi impor migas melalui produksi Lapangan Forel dan Terubuk akan mengurangi komponen impor dalam neraca perdagangan, yang secara langsung berkontribusi pada penyempitan defisit migas dan penguatan surplus neraca perdagangan keseluruhan.

Manfaat Nyata bagi Masyarakat Indonesia
Selain dampak makroekonomi, operasionalisasi Lapangan Forel dan Terubuk memberikan manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Menteri Bahlil menyatakan bahwa proyek ini telah memberikan sekitar 2.300 orang lapangan pekerjaan pada masa konstruksi, memberikan kontribusi nyata terhadap angka lapangan kerja sekaligus mampu meningkatkan sumber daya terampil di bidang infrastruktur migas.

Lebih membanggakan lagi, proyek yang memiliki nilai strategis ini dikelola oleh entitas dalam negeri, PT Medco Energi Internasional Tbk, dengan melibatkan banyak sekali tenaga kerja yang merupakan anak bangsa. Bahkan, kapal FPSO (Floating Production Storage and Offloading) yang digunakan dalam proyek ini merupakan hasil karya dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) hampir menyentuh 100%, sebuah pencapaian yang merupakan bukti nyata kemajuan industri dan teknologi migas nasional.

Menteri Bahlil optimis bahwa upaya ini dengan dukungan dan amanat Presiden RI, Prabowo Subianto, dapat mendorong produksi domestik hingga mencapai target 900.000 hingga 1.000.000 barrel per hari pada 2029-2030. Keberhasilan pengoperasian Lapangan Forel dan Terubuk menjadi bukti komitmen pemerintah dan pelaku industri migas nasional dalam mengoptimalkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.

Kita menyadari bahwa migas bukan hanya soal ekstraksi, tetapi juga sebagai fondasi untuk terus mendorong inovasi teknologi, hilirisasi industri, dan percepatan transisi menuju energi berkelanjutan. Hilirisasi migas misalnya, pengembangan industri petrokimia dan bahan bakar ramah lingkungan, menjadi kunci masa depan peningkatan nilai tambah ekonomi dan daya saing nasional yang berkelanjutan.

Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya migas, baik di hulu maupun di hilir, menjadi fundamental bagi industri dan pasokan energi nasional yang reliable, accessible, and sustainable bagi seluruh lapisan masyarakat. Ketahanan dan kedaulatan energi nasional ini yang akan menentukan arah pembangunan Indonesia ke depan, capaian Visi Indonesia Emas 2045, dan Sustainable Development Goals (SDGs) Indonesia.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |