Fenomena Pengangguran di China Pura-Pura Kerja, Alasannya Bikin Haru

3 hours ago 3
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah fenomena tak lazim tapi semakin banyak diperbincangkan muncul di kalangan kaum muda pengangguran di China, mereka berpura-pura kerja. Mereka mempertahankan rutinitas seperti bekerja, diantaranya mengenakan pakaian rapi, pergi ke kafe atau perpustakaan dengan laptop, padahal tak memiliki pekerjaan tetap.

Salah satunya dialami Xiao Ding, perempuan berusia 30 tahun yang mantan tenaga pemasaran perusahaan teknologi, harus berhenti bekerja pada 2023 dan sudah menganggur selama hampir dua tahun. Demikian mengutip laporan CNA, Sabtu (20/9/2025).

Disebutkan, Xiao Ding sudah melamar ribuan posisi dan hanya mendapat sedikit panggilan wawancara yang semuanya kandas, menurutnya rutinitas pura-pura kerja bukan sekadar membodohi diri sendiri. Ada dua alasan utama, agar tetap punya aktivitas harian dan memaksa diri agar "terlihat bekerja".

Ada juga Yuan, berusia 19 tahun, yang hampir setiap hari tiba pukul 9 pagi untuk mengurus usahanya, yakni menjual anak kucing dan anak anjing lewat aplikasi media sosial seperti Douyin. "Rutinitas di sini jelas lebih baik dibandingkan di rumah," ujarnya kepada CNA. "Kalau di rumah saya akan jadi malas."

Adapun tingkat pengangguran pemuda di kawasan perkotaan China berusia 16-24 tahun (tidak termasuk pelajar) melonjak hingga 17,8 persen per Juli 2025. Sementara itu, jumlah lulusan universitas meningkat drastis tiap tahun, tapi kesempatan kerja tetap terbatas.

Kantor Tiruan dan Ruang "Pretend to Work"

Seiring tren ini berkembang, muncullah usaha yang menyediakan ruang kerja tiruan, contohnya Pretend To Work Unlimited Company di Hangzhou.

Dengan tarif mulai dari 30 yuan (sekitar Rp67.000), orang bisa menyewa meja, absen pukul 9 pagi, bahkan memakai kartu identitas perusahaan. Ruang ini dilengkapi fasilitas seperti ruang rapat, printer, internet serta segala kelengkapan kantor profesional.

Di kantor tiruan tersebut, ada aturan yang harus dipatuhi, yaitu tidak tidur, tidak main gim, tidak membuat keributan. Tujuannya agar suasana tetap profesional.

Bagi banyak pengguna, keberadaan ruang semacam ini bukan hanya soal "terlihat produktif", tapi juga sebagai cara untuk menjaga ritme hidup dan kepercayaan diri di saat sulit.

Makna Sosial dan Psikologis

Di balik fenomena ini, para ahli melihat, berpura-pura kerja menjadi strategi adaptasi terhadap tekanan ekonomi dan budaya yang menekankan kerja keras dan produktivitas.

Identitas seseorang di China sangat berkaitan dengan kemampuan bekerja dan memiliki status sosial yang jelas. Ketika kesempatan kerja susah diperoleh, banyak yang berupaya mempertahankan identitas itu lewat cara-cara simbolis.

Rutinitas pura-pura kerja juga dianggap membantu menjaga kesehatan mental, mengurangi rasa kehilangan arah, dan memberi struktur harian. Rasa "tidak sendirian" ditonjolkan sebagai manfaat sosial dari ruang-ruang tiruan ini.

Keseimbangan Antara Harapan dan Kenyataan

Fenomena ini menampilkan ketegangan antara harapan sosial, termasuk dari keluarga, dan kenyataan di pasar kerja. Banyak orang tua di China yang menilai pekerjaan tetap, terutama di perusahaan milik negara sebagai ukuran kesuksesan. Sebaliknya, profesi baru seperti pekerja lepas, influencer, atau usaha rintisan kadang tidak dianggap serius.

Bisa dibilang pura-pura kerja bukan sekadar tren viral atau lelucon generasi muda. Ia mencerminkan dampak nyata dari tekanan sosial, ketidakpastian ekonomi, dan panggilan psikologis untuk tetap merasa "berguna" di masyarakat.

Meski tidak menyelesaikan problem pekerjaan itu sendiri, fenomena ini menunjukkan, kaum muda berusaha menemukan cara alternatif untuk menjaga martabat, harapan, dan rutinitas di tengah kondisi yang penuh tantangan.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Partai Komunis China Terancam Fenomena Anak Ekor Busuk-Orang Tikus

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |