Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kerja sama industri dirgantara Indonesia dan Korea Selatan dimulai pada akhir era Orde Baru saat Republic of Korea Air Force (ROKAF) memesan delapan CN235-220M kepada PT IPTN. Sebelumnya, ROKAF telah menjadi operator pesawat angkut medium itu dengan mengimpor 12 CN235M-100 buatan CASA.
Pada akhir dekade pertama abad ke-12, Korea Coast Guard memberikan pesanan empat CN235-220 kepada PT Dirgantara Indonesia yang merupakan nama baru PT IPTN. Pengadaan pesawat angkut CN235 oleh Korea Selatan tidak lepas dari karakter industri dirgantara negara itu yang berfokus pada pengembangan pesawat tempur dan latih tempur, sementara industri dirgantara Indonesia sejak awal dirancang untuk mengembangkan pesawat angkut sipil dan militer.
Indonesia merupakan first export customer pesawat latih turboprop buatan Korea Aerospace Industries (KAI) KT-1B pada 2003 dengan memesan 20 unit, kemudian disusul pengadaan tiga buah lagi pada dasawarsa kedua abad ke-21.
Saat ini terdapat kontrak tambahan akuisisi KT-1B oleh Indonesia yang belum berstatus efektif, di mana kontrak tersebut menunjukkan kepercayaan Indonesia terhadap pesawat latih bermesin tunggal itu.
Selain menjadi first export customer KT-1B, Indonesia tercatat pula sebagai konsumen asing pertama T-50 produksi KAI yang didesain sebagai pesawat latih jet sebelum calon penerbang menerbangkan jet tempur seperti F-16. Pada 2011 Indonesia membeli 16 T-50i sebagai pengganti BAE Systems Hawk Mk.53, kemudian meneken kontrak tambahan enam pesawat jet yang sama pada 2021.
Di samping perniagaan pesawat terbang, sejak akhir dekade pertama abad ke-21 Indonesia dan Korea Selatan sepakat untuk bergabung dalam program pengembangan jet tempur generasi 4.5 yang dikenal sebagai KFX/IFX. Program Engineering, Manufacture and Development (EMD) fase pertama pesawat tempur bermesin ganda tersebut berlangsung selama 2016-2026, di mana saat ini telah tersedia enam purwarupa KF-21 untuk kepentingan uji terbang.
Kerja sama Indonesia dan Korea Selatan dalam EMD KF-21 penuh dengan pasang surut, di antaranya tentang isu akses teknologi, pembayaran cost share dan penahanan lima insinyur Indonesia selama 1,4 tahun atas tuduhan spionase teknologi.
Pada akhirnya isu tentang cost share Indonesia dalam program jet tempur KF-21 berhasil ditemukan jalan tengah dengan kesepakatan kedua belah pihak untuk mengurangi kewajiban finansial Indonesia. Bertempat di Kementerian Pertahanan pada 27 November 2025, KAI dan Indonesia sudah menandatangani amandemen Cost Share Agreement Indonesia dari 20 persen (KRW1,7 triliun) menjadi tujuh persen (KRW600 milyar).
Walaupun kewajiban pembiayaan oleh Indonesia berkurang cukup drastis, masih terbuka peluang bagi Indonesia untuk menerima purwarupa KF-21 berkursi tunggal pada 2026 untuk menjalani sejumlah uji terbang di sini.
Apakah Korea Selatan dapat melakukan transfer prototipe KF-21 kelima ke Indonesia pada tahun depan sangat tergantung pada seberapa mampu Jakarta meyakinkan Seoul terkait komitmen dan kemampuan mengamankan teknologi yang dikandung dalam penempur generasi 4.5 tersebut.
Isu terkait KF-21 yang membayangi hubungan antara Indonesia dan Korea Selatan tidak terbatas pada rencana pengalihan satu purwarupa KF-21, tetapi pula komitmen Jakarta untuk melakukan akuisisi penempur yang pengembangannya dibiayai pula oleh Indonesia. Atas permintaan resmi Indonesia, Korea Selatan tengah menyediakan fasilitas kredit ekspor agar Indonesia bersedia membeli jet tempur yang didesain untuk menjadi penempur generasi kelima tersebut.
Ketersediaan fasilitas kredit ekspor akan membuat Pinjaman Luar Negeri yang ditanggung oleh Indonesia jauh lebih murah dari aspek suku bunga dan tingkat resiko kecil daripada memakai skema Kreditur Swasta Asing. Pertanyaannya kini adalah apakah Indonesia akan menerima tawaran fasilitas kredit ekspor yang disediakan bagi pengadaan KF-21 atau tidak.
Dalam industri pertahanan, perkara pencurian teknologi ialah ancaman yang terus menerus membayangi setiap negara yang mengembangkan teknologi. Persoalan keamanan teknologi kembali mengemuka dalam kerjasama industri dirgantara Indonesia dan Korea Selatan belum lama ini, khususnya dalam perniagaan pesawat terbang.
Hingga September 2025 Indonesia dan Korea Selatan telah sepakat bahwa dua unit pertama T-50i akan diterbangkan ke Indonesia pada bulan November 2025. Jet latih yang dikembangkan oleh KAI dengan bantuan Lockheed Martin tersebut akan terbang feri dari Sacheon menuju Jakarta dengan transit di Kaohsiung, Manila dan Balikpapan guna pengisian ulang bahan bakar dan istirahat para penerbang.
Namun pada akhir Oktober 2025 Indonesia tiba-tiba meminta kepada Korea Selatan untuk mengalihkan rute transit di Kaohsiung ke daratan Cina. Padahal praktek transit pesawat terbang buatan KAI pesanan Indonesia di Taiwan telah berlangsung sejak era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri hingga Presiden Joko Widodo tanpa menimbulkan masalah diplomatik apapun.
Pilihan transit di Kaohsiung ialah pilihan paling aman bagi Korea Selatan sebab transit di Jepang tidak ideal akibat pasang surut hubungan kedua negara. Korea Selatan menolak permintaan Indonesia agar T-50i transit di daratan Cina dengan pertimbangan keamanan teknologi dan memilih mengirimkan pesawat latih jet itu lewat kargo udara pada Januari 2026.
Sesungguhnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Indonesia dalam ranah diplomatik bila T-50i melakukan transit di Taiwan. Sebab secara teknis T-50i masih terdaftar sebagai milik Korea Selatan, begitu pula urusan pengajuan flight clearance dan security clearance sepenuhnya dipegang oleh Korea Selatan.
Korea Selatan mempunyai hubungan yang unik dengan Republik Cina (Taiwan) karena meskipun menganut One China Policy, namun hanya acknowledge dan bukan recognize posisi Republik Rakyat China bahwa Taiwan adalah bagian dari China.
Pemerintah Indonesia saat ini nampaknya sangat takut dengan Republik Rakyat China terkait dengan larangan transit T-50i di Taiwan, padahal praktek 23 tahun terakhir menunjukkan bahwa persinggahan KT-1B dan T-50i di Kaohsiung tidak mempengaruhi One China Policy yang diadopsi oleh Indonesia.
Dengan asumsi bahwa Indonesia dan Korea Selatan akan dapat mencapai kesepakatan mengenai transfer satu prototipe KF-21 ke Indonesia pada 2026, kasus yang sama persis dengan transit T-50i akan kembali muncul. Korea Selatan dipastikan tidak akan melakukan persinggahan KF-21 di Cina atau Jepang karena pertimbangan keamanan teknologi, sehingga opsi transit di Kaohsiung adalah pilihan tunggal.
Kalau Indonesia kembali keberatan dengan rencana Korea Selatan karena takut dengan China, maka pilihan yang tersedia ialah pengiriman lewat laut karena sayap KF-21 tidak dapat dilepas seperti T-50i.
Pengiriman melalui laut memunculkan juga sejumlah risiko yang lebih besar daripada diterbangkan dari Sacheon ke Bandung via Kaohsiung, Manila dan Balikpapan. Terlepas dari isu One China Policy, Taiwan sebagai entitas politik yang independen adalah sebuah fakta empiris yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.
(miq/miq)


















































