Efek Perang Dagang Trump Muncul, RI Mulai Banjir Barang Impor China

1 day ago 4

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan pengenaan tarif resiprokal yang tinggi oleh Presiden AS Donald Trump ke negara-negara mitra dagangnya utamanya pada 2 April 2025, telah memberikan efek terhadap perekonomian Indonesia, salah satunya banjirnya barang impor dari China.

Defisit neraca perdagangan antara Indonesia dengan China bahkan memburuk hingga April 2025, Ditandai dengan melebarnya defisit neraca ekspor-impor periode Januari-April 2025 yang minus US$ 6,28 miliar, jauh lebih dalam dibandingkan dengan periode Januari-April 2024 yang sebesar US$ 3,02 miliar.

Kondisi itu dipicu oleh cepatnya pertumbuhan impor RI terhadap barang-barang dari China yang menjadi senilai US$ 25,77 miliar atau naik 22,44%, sedangkan ekspor US$ 18,87 miliar dengan kenaikan hanya sebesar 7% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Khusus untuk April 2025, nilai impor barang-barang dari China senilai US$ 7,07 miliar dengan kenaikan sebesar 12,18% dibanding Maret 2025. Sementara itu, untuk ekspor per April 2025 hanya sebesar US$ 4,83 miliar, malah turun 7,03% dibanding Maret 2025.

Ekonom yang juga merupakan Guru Besar bidang Ekonomi Pembangunan Universitas Andalas, Syafruddin Karimi mengatakan, fenomena melejitnya impor dari China merupakan imbas tidak langsung dari kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap produk-produk Tiongkok.

"Dalam konteks perang dagang yang terus bereskalasi, eksportir Tiongkok mulai mengalihkan sebagian besar produk ekspornya ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk menghindari tarif tinggi dari Amerika Serikat," kata Syafruddin kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (4/6/2025).

Selain itu, Syafruddin menegaskan, efek ini juga terlihat dari makin menyempitnya surplus neraca perdagangan Indonesia secara keseluruhan, yang bahkan menjadi terendah dalam 5 tahun terakhir. Per April 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia hanya surplus US$ 150 juta.

Besaran surplus itu merosot dari catatan per Maret 2025 yang masih mampu mencapai US$ 4,33 miliar. Total penurunan neraca ekspor impor itu mencapai 96,53%.

"Di saat ekspor Indonesia ke Tiongkok tidak tumbuh secepat impor-terutama akibat penurunan harga komoditas utama seperti batu bara dan CPO-surplus perdagangan pun mulai menyempit. Menurut data BPS terakhir, tren surplus perdagangan Indonesia menurun dari bulan ke bulan, bahkan mendekati titik kritis," ucap Syafruddin.

Ekonom yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menyatakan hal serupa. Ia mengatakan, sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih sari 280 juta jiwa dan status negara yang terus berkembang, tentu Indonesia menjadi negara pasar yang menarik bagi negara lain, khususnya China sebagai negara dengan kapasitas ekonomi terbesar kedua setelah AS.

Ketika AS memproteksi diri dengan mengenakan tarif dagang sampai 245% terhadap China. Tentu para eksportir negara-negara itu akan mengalirkan barang-barangnya ke negara dengan potensi pasar yang besar.

"Sudah ada dampak kenaikan tarif Trump, jadi kan China pasti kan mencari pasar baru, sehingga kenaikan impor ini bisa disebabkan itu," ungkpanya.

Kendati begitu, ia mengingatkan, ada efek lain yang menyebabkan total neraca ekspor impor Indonesia terus tergerus empat bulan pertama tahun ini. Salah satunya kurs rupiah yang memamg saat itu tengah tertekan hebat hingga hampir tembus Rp 17.000, menyebabkan produk impor harganya akan lebih tinggi ketimbang ekspor karena efek selisih kurs.

"Jangan lupa kurs kita melemah, mungkin nilai impor naik bisa karena kurs juga karena rupiah melemah di April, jadi banyak faktor yang sebabkan kenaikan impor di April," papar Telisa.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal menambahkan, efek terus meningkatnya volume banjir impor barang-barang dari China sebetulnya juga bisa disebabkan rendahnya hambatan perdagangan Indonesia terhadap barang dari negara-negara itu.

Akibatnya, barang dari China mudah mengalir ke Indonesia, ketika pasar utamanya di AS ditutup jalurnya dengan pengenaan tarif tinggi.

"Dan yang paling dekat dan mudah selama ini asia tenggara termasuk Indonesia karena faktor kedekatan secara trade, pasarnya juga besar, dan hambatannya lebih rendah dibanding banyak negara lain," kata Faisal.

Di luar masalah eksternal, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, sebetulnya kenaikan lonjakan impor dari China maupun secara keseluruhan pada April 2025 juga dipicu ulah para importir.

"Mereka melakukan pemesanan impor lebih besar karena antisipasi perubahan kebijakan Permendag 8/2024 yang sempat diutarakan Prabowo di sarasehan ekonomi beberapa waktu lalu. Sebelum aturan impor lebih ketat, importir jadi pre emptives lakukan impor secara masif," tegas Bhima.

Namun, ia mengakui tekanan impor akhir-akhir ini tentu imbas frontloading impor barang dari China atau impor melebihi kebutuhan sebagai antisipasi dampak tarif terhadap biaya produksi manufaktur dan pengecer di indonesia.

"Lalu, strategi perusahaan China melakukan penetrasi pasar ke Indonesia untuk mempercepat serapan barang yang oversupply di gudang. Maklum pasar Indonesia kan menarik sekali dengan 278 juta penduduk dan usia produktif tertinggi di kawasan. Profil barang China juga diminati hampir sebagian besar kelas konsumen Indonesia," tuturnya.


(arj/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Dagang Makin Panas, China Kasih "Warning" Untuk AS

Next Article Ekonom Global Yakin Efek Perang Dagang AS-China 'Sedang-Sedang Saja!'

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |