Dunia Dibuat Panas Dingin: Ini 9 Aksi Gila Trump di 2025

2 hours ago 4

Big Stories 2025

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia

25 December 2025 07:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang 2025, perekonomian global diguncang oleh serangkaian kebijakan kontroversial Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Mulai dari penerapan tarif resiprokal yang memicu perang dagang lintas negara, eskalasi ekstrem konflik tarif dengan China, hingga kisruh terbuka dengan Ketua bank sentral AS, Jerome Powell.

Langkah-langkah agresif Trump tersebut tidak hanya mengguncang pasar keuangan dan rantai pasok global, tetapi juga menciptakan ketidakpastian berkepanjangan bagi perdagangan internasional, arus investasi, dan kebijakan moneter dunia di sepanajng tahun ini.

Berikut ini adalah beberapa hal yang dilakukan Trump di sepanjang 2025 ini.

1. Pengumuman Tarif Resiprokal

Salah satu keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang paling mencuri perhatian sepanjang 2025 adalah penerapan tarif resiprokal terhadap negara-negara mitra dagang AS. Kebijakan ini pertama kali diperkenalkan sebagai"Liberation Day", yang diumumkan secara resmi pada 2 April 2025 dan langsung membuat kehebohan di global.

Dalam kebijakan tersebut, Trump menetapkan tarif impor dasar sebesar 10% atas seluruh barang yang masuk ke Amerika Serikat dan berlaku untuk semua negara.

Namun, bagi sejumlah mitra dagang tertentu, Washington memberlakukan tarif khusus di atas tarif dasar, dengan besaran yang disesuaikan dengan kondisi neraca perdagangan masing-masing negara.

Indonesia menjadi salah satu negara yang masuk dalam kategori tarif di atas tarif dasar. Pada tahap awal, produk asal Indonesia dikenakan tarif sebesar 32%, memicu kekhawatiran terhadap daya saing ekspor nasional ke pasar AS.

Hanya berselang beberapa hari setelah pengumuman tarif, Trump mengambil langkah mengejutkan dengan menunda penerapan tarif resiprokal spesifik negara selama 90 hari untuk sebagian besar mitra dagang.

Meski demikian, tarif dasar 10% tetap diberlakukan. Penundaan ini membuka ruang bagi negara-negara terdampak untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah Amerika Serikat, dengan harapan tarif yang dikenakan dapat diturunkan.

Tenggat waktu negosiasi tarif yang dicanangkan Trump tersebut resmi berakhir pada 1 Agustus 2025. Menjelang batas akhir tersebut, Gedung Putih pada akhir Juli 2025 mengumumkan struktur tarif terbaru.

Dalam kebijakan ini, tarif universal sebesar 10% tetap diberlakukan bagi negara-negara yang secara neraca perdagangan dinilai lebih banyak menyerap ekspor Amerika Serikat dibandingkan mengirimkan barang ke Negeri Paman Sam.

Sementara itu, hasil negosiasi menunjukkan arah yang beragam. Sejumlah negara berhasil memperoleh penurunan tarif dibandingkan tarif awal saat Liberation Day. Namun, tidak sedikit pula negara yang justru menghadapi kenaikan tarif, seiring hasil perundingan yang dinilai kurang menguntungkan bagi Amerika Serikat.

Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang berhasil menekan beban tarif, dengan penurunan tarif dari 32% menjadi 19%. Dengan menghasilkan beberapa perjanjian antar dua negara. 

2. Perang Tarif dengan China

Pusat perhatian dunia pada April 2025 tertuju pada memanasnya kembali hubungan dagang antara Amerika Serikat dan China. Ketegangan ini memicu kekhawatiran serius terhadap stabilitas perdagangan global, mengingat kedua negara merupakan dua ekonomi terbesar dunia yang menjadi jangkar utama perekonomian global.

Eskalasi dimulai pada 3 April 2025, ketika Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan tarif awal sebesar 34% terhadap produk asal China. Beijing pun langsung merespon dengan tarif balasan sebesar 34% terhadap barang-barang Amerika Serikat.

Ketegangan meningkat hanya dalam hitungan hari. Pada 9 April 2025, Washington menaikkan tarif terhadap China menjadi 104%, sebagai respons atas langkah balasan Beijing.

Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), di Busan, Korea Selatan, 30 Oktober 2025. REUTERS/Evelyn HocksteinFoto: Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), di Busan, Korea Selatan, 30 Oktober 2025. REUTERS/Evelyn Hockstein
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), di Busan, Korea Selatan, 30 Oktober 2025. REUTERS/Evelyn Hockstein

Kenaikan ini langsung memicu eskalasi berikutnya. Sehari berselang, 10 April 2025, China kembali menaikkan tarif balasannya menjadi 84%, yang segera direspons Amerika Serikat dengan kenaikan tarif lanjutan hingga 125%.

Eskalasi berlanjut tanpa jeda. Pada 11 April 2025, China kembali menaikkan tarif balasan terhadap produk AS menjadi 125% yang mendorong Washington untuk kembali menaikkan tarif ke level yang lebih ekstrem, yakni 145%.

Perseteruan ini mencapai titik puncaknya pada 16 April 2025, ketika Amerika Serikat kembali menaikkan tarif terhadap China hingga 245%.

Rangkaian aksi saling balas tersebut langsung mengguncang pasar global. Investor global masuk ke mode risk-off, volatilitas melonjak tajam, dan kekhawatiran akan terganggunya rantai pasok serta perlambatan ekonomi dunia kembali mencuat.

Tekanan pasar yang semakin besar akhirnya memaksa kedua negara menahan eskalasi. Memasuki pertengahan Mei 2025, Washington dan Beijing mencapai kesepakatan sementara untuk menurunkan tarif resiprokal ke kisaran 10%, yang kemudian diperpanjang beberapa kali hingga akhir tahun, termasuk setelah pertemuan Trump dengan Presiden China Xi Jinping.

3. Cuitan Trump yang Mengguncang Pasar Saham

Di tengah gejolak kebijakan tarif resiprokal pada April 2025, Donald Trump sempat menyedot perhatian pasar keuangan global lewat unggahan singkat di media sosialnya, Truth Social. Trump menulis kalimat "THIS IS A GREAT TIME TO BUY!!!".

Unggahan tersebut muncul hanya beberapa jam sebelum pemerintahan Trump mengumumkan penundaan penerapan tarif resiprokal selama 90 hari untuk sebagian besar negara mitra dagangnya. Tak lama setelah pengumuman tersebut, pasar saham Amerika (Wall Street) pun langsung mengalami reli tajam. Hingga membalikkan penurunannya sejak Trump mengumumkan Tarif di awal April. 

Momen ini memicu sorotan luas karena pernyataan Trump dinilai memberikan sinyal pasar yang sangat sensitif, sekaligus menimbulkan perdebatan soal etika, potensi konflik kepentingan, dan kuatnya pengaruh pernyataan Presiden AS terhadap pergerakan pasar keuangan dalam waktu singkat.

TrumpFoto: Truth Social
Trump

4. Kisruh dengan Jerome Powell

Ketegangan lain yang turut mewarnai perjalanan kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sepanjang 2025 adalah kisruhnya hubungan dengan Ketua bank sentral AS (The Federal Reserve//The Fed) Jerome Powell.

Trump secara terbuka menunjukkan ketidakpuasan karena menilai The Fed terlalu lamban dalam mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunga, di tengah tekanan ekonomi global dan kebutuhan menjaga momentum pertumbuhan.

Sikap kehati-hatian Powell dan bank sentral AS tersebut dipandang Trump tidak sejalan dengan urgensi kondisi ekonomi. Ketegangan ini kerap tercermin di ruang publik, di mana Trump beberapa kali menyentil Powell melalui unggahan di media sosial, terutama terkait kebijakan suku bunga yang dinilai terlalu berhati-hati dan lamban merespons dinamika ekonomi.

Salah satu momen yang paling menonjol terjadi pada Juli 2025, ketika Trump dan Powell sama-sama menghadiri kunjungan ke proyek renovasi gedung Federal Reserve senilai US$2,5 miliar.

Dalam pertemuan tersebut, keduanya sempat berbicara kepada wartawan dan menunjukkan perbedaan pandangan terkait jadwal serta biaya proyek renovasi, memperlihatkan ketegangan yang sudah lama terbangun di antara keduanya.

Perselisihan antara Trump dan Powell sendiri bukanlah hal baru. Meski Powell ditunjuk langsung oleh Trump, hubungan keduanya justru berkembang menjadi salah satu episode paling dramatis dalam sejarah relasi antara Presiden AS dan Ketua The Fed.

Ketegangan tersebut kembali mengemuka pada 2025, bukan hanya dalam bentuk kritik terbuka, tetapi juga wacana politik yang lebih jauh.

Di sejumlah kesempatan sepanjang 2025, Trump bahkan mewacanakan kemungkinan mengganti Jerome Powell sebelum masa jabatannya berakhir. Meski belum terealisasi, wacana tersebut memicu perhatian pasar karena dinilai berpotensi menekan independensi bank sentral AS.

5. Dukungan Terhadap Israel

Donald Trump di sepanjang 2025 ini juga cukup terlihat semakin gencar dalam mendukung Israel dalam konflik di Timur Tengah. Trump memberikan dukungan kepada Israel untuk menyelesaikan konflik ini sambil menekan para pemimpin negara-negara Timur Tengah agar tidak berlarut-larut.

Berkat tekanan diplomatik Trump terhadap Qatar dan Mesri, Trump pun berhasil memediasi pembebasan sandera Israel dan Palestina yang di tahan.

Adapun, dukungan Trump semakin terlihat jelas pada pertengahan 2025 tepatnya di Juni, ketika ketegangan Israel dengan Iran memuncak dalam perang 12 hari. Pada periode ini, Trump memberikan dukungan melalui keterlibatan militer AS secara langsung.

Militer AS ikut membantu Israel dalam serangan menggunakan bom penghancur bunker untuk menghantam fasilitas nuklir bawah tanah milik Iran di kota Fordow dan Natanz.

Kejadian ini pun sempat mendorong gejolak geopolitik di Timur Tengah semakin panas, hingga mendorong kenaikan harga minyak global. Namun, setelah hampir dua pekan pertempuran sengit ini berlangsung, Trump mengumumkan genccatan senjata pada 24 Juni 2025.

Langkah ini pun menyudahi panasnya situasi di Timur Tengah, dan bisa meredam gejolak harga minyak dunia.

6. Trump Dorong Perdamaian Rusia-Ukraina

Trump juga cukup lantang dalam mendorong perdamaian antara Rusia dan Ukraina.

Pada akhir Juli 2025, pemerintahan Trump secara terbuka menetapkan tenggat waktu 8 Agustus 2025 bagi tercapainya kesepakatan damai untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung sejak Februari 2022.

Pesan tersebut disampaikan di forum PBB dengan penegasan bahwa Amerika Serikat siap mengambil langkah tambahan apabila tidak ada kemajuan berarti menuju gencatan senjata dan perdamaian yang langgeng.

Namun, dorongan diplomatik tersebut menghadapi hambatan. Rencana pertemuan puncak Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Oktober 2025 terpaksa ditunda setelah Moskow menolak gencatan senjata segera dan tetap bersikukuh pada syarat-syarat wilayahnya.

Meski sejumlah perundingan telah digelar di Istanbul dan hanya menghasilkan pertukaran tahanan serta jenazah namun belum ada terobosan yang signifikan untuk menghentikan perang.

7. Kebijakan Energi, Back to Batu Bara

Presiden Amerika Serikat Donald Trump langsung menggeber kebijakan energi sejak hari pertama masa jabatannya. Bersamaan dengan pelantikan, Trump mengumumkan Darurat Energi Nasional, yang kemudian diikuti serangkaian executive order yang secara tegas berpihak pada minyak, gas, dan batu bara.

Langkah ini menandai pembalikan arah tajam dari kebijakan iklim pemerintahan sebelumnya. Trump membatalkan sejumlah inisiatif era Obama, termasuk komitmen terhadap Paris Agreement yang bertujuan menekan emisi karbon global. Pemerintahannya juga memangkas pembatasan eksplorasi minyak dan gas alam, serta membuka ruang lebih luas bagi produksi energi fosil domestik.

Meski menuai kritik karena berseberangan dengan agenda ESG dan transisi energi, kebijakan ini dipandang sebagian pelaku pasar sebagai upaya menekan harga energi. Dengan pasokan energi yang lebih murah, tekanan inflasi diharapkan mereda-sebuah faktor yang pada akhirnya bisa memberi ruang bagi bank sentral untuk memangkas suku bunga.

Pada 8 April 2025, Trump menandatangani executive order bertajuk "Reinvigorating America's Beautiful Clean Coal Industry". Aturan ini secara eksplisit menjadikan produksi batu bara sebagai prioritas nasional.

Melalui kebijakan tersebut, pemerintah menghapus sejumlah hambatan regulasi, mendorong pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik, dan menempatkannya sebagai pilar stabilitas energi serta penciptaan lapangan kerja.

Tak berhenti di situ, Departemen Dalam Negeri AS membuka puluhan juta acre lahan federal untuk pengembangan tambang batu bara. Aturan royalti diturunkan dan proses perizinan dipercepat, memberikan insentif besar bagi perusahaan tambang untuk meningkatkan produksi.

Pemerintah Trump juga menggelontorkan US$625 juta untuk menopang industri batu bara. Dana ini diarahkan ke modernisasi pembangkit listrik berbasis batu bara serta proyek energi di wilayah pedesaan, dengan tujuan memperpanjang umur operasional PLTU yang sebelumnya terancam pensiun dini.

8. Keluar dari WHO

Amerika Serikat (AS) telah memutuskan untuk keluar dari keanggotaan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui perintah eksekutif yang ditandatangani Donald Trump, beberapa jam setelah dia dilantik kembali menjadi Presiden di 20 Januari 2025.
Ada sejumlah alasan yang dikemukakan oleh Trump, mulai dari masalah penanganan pandemi hingga keadilan.

Terkait masalah keadilan, Trump menyinggung kontribusi negaranya untuk anggaran WHO yang sangat dominan. Dia membandingkannya dengan China yang kontribusinya dianggap sangat kecil.

Ia mencatat bahwa AS membayar WHO US$500 juta per tahun dibandingkan dengan sumbangan China sebesar US$39 juta.

Dia pun mempertanyakan haruskah AS yang memiliki populasi sekitar 342 juta orang membayar lebih banyak daripada China dengan populasi 1,4 miliar.

"Bagi saya, itu tampak agak tidak adil," katanya.

Selain itu, trump juga menyinggung penanganan pandemi Covid-19 yang dianggap buruk dan kegagalan organisasi tersebut dalam melakukan reformasi yang mendesak.

Kritik terhadap WHO telah lama disuarakan Trump, terutama sejak 2020, ketika dia menuduh organisasi tersebut gagal dalam menangani pandemi dan mengancam akan menghentikan pendanaan AS.

Adapun penarikan diri dari WHO akan menghambat akses Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS terhadap data kesehatan global yang vital.

Ketika China mengidentifikasi urutan genetik virus corona baru pada 2020, informasi tersebut dibagikan melalui WHO kepada negara-negara lain. Tanpa akses ini, kemampuan AS dalam merespons ancaman kesehatan global di masa depan dapat terhambat.


9 Anti-Imigran?

Donald Trump menjadikan imigrasi sebagai poros utama kebijakan domestik di 2025. Arah kebijakannya tegas: pengetatan ekstrem, penegakan agresif, serta pembatasan imigrasi-baik ilegal maupun legal. Langkah ini menandai pergeseran besar yang langsung memicu kontroversi di dalam negeri dan perhatian pasar global.

Penutupan Perbatasan & Deportasi Massal
Pemerintahan Trump menggeber operasi deportasi skala besar, memperluas pusat detensi imigran, serta memaksimalkan peran aparat federal dan negara bagian untuk penegakan hukum imigrasi. Imigran tanpa dokumen menjadi sasaran utama, termasuk mereka yang telah lama tinggal dan bekerja di AS. Kebijakan ini dipuji pendukung sebagai penegakan kedaulatan, namun dikritik keras karena dampak sosial dan kemanusiaannya.


Akses suaka diperketat, kuota pengungsi dipangkas, dan penolakan klaim dipercepat. Pemerintah berdalih langkah ini diperlukan untuk efisiensi dan keamanan. Para pengkritik menilai kebijakan tersebut memangkas jalur perlindungan kemanusiaan yang selama ini menjadi ciri kebijakan imigrasi AS.

Trump kembali mendorong upaya mengakhiri kewarganegaraan otomatis (birthright citizenship) bagi anak imigran ilegal. Namun, langkah ini langsung digugat dan diblokir pengadilan karena dinilai bertentangan dengan Amandemen ke-14 Konstitusi AS, menegaskan kuatnya mekanisme checks and balances.

Proyek tembok perbatasan AS-Meksiko dihidupkan kembali. Dana federal dialihkan untuk pembiayaan, sementara isu perbatasan diposisikan sebagai simbol kedaulatan nasional. Kebijakan ini kembali memantik perdebatan lama soal efektivitas dan biaya ekonomi.

Tak hanya imigrasi ilegal, visa kerja dan pelajar ikut diperketat melalui syarat administratif yang lebih ketat dan pengawasan sponsor yang diperluas. Dampaknya terasa di teknologi, riset, kesehatan, dan pendidikan tinggi-sektor yang bergantung pada talenta asing.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |