Dibakar Selesai: Cara Lama Mengurus Sampah Desa

3 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di Desa Boros, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, sampah tidak lagi didominasi daun kering atau sisa panen. Yang terlihat justru plastik kemasan, sisa makanan rumah tangga, pecahan kayu dan semen dari renovasi kecil, hingga satu dua botol bekas oli motor.

Jenisnya beragam, persis seperti sampah di kota. Sampah-sampah itu dikumpulkan di satu pojok. Tidak ada pemilahan. Ketika tumpukan sudah penuh dan bau mulai menyengat, sampah dibakar.

Asap mengepul, bau menyebar, lalu semuanya dianggap selesai. Sampai tumpukan berikutnya kembali terbentuk. Pola ini bukan kejadian khusus. Ia bisa ditemukan di banyak desa. Dulu, sampah desa didominasi bahan organik yang mudah terurai.

Kini, kemasan plastik dari belanja harian, bungkus makanan instan, botol minuman, dan limbah rumah tangga lain menjadi bagian rutin kehidupan desa. Perubahan ini menunjukkan satu hal penting: desa telah berubah, tetapi cara mengelola sampah belum ikut berubah.

Masih ada anggapan bahwa sampah adalah masalah kota. Desa dianggap lebih dekat dengan alam, sehingga sampah bisa "hilang dengan sendirinya". Kenyataannya tidak lagi demikian. Plastik tidak terurai. Oli bekas meresap ke tanah. Puing renovasi menumpuk tanpa fungsi.

Di sisi lain, desa juga tidak memiliki sistem pengelolaan seperti kota. Tidak ada tempat pengolahan. Tidak ada pemisahan jenis sampah. Tidak ada jalur pembuangan yang jelas.

Yang ada hanyalah kebiasaan lama: kumpulkan, tunggu penuh, lalu bakar. Masalahnya bukan pada niat warga. Tidak ada warga yang ingin lingkungannya kotor atau anak-anaknya menghirup asap pembakaran.

Masalahnya adalah ketiadaan sistem yang masuk akal. Ketika semua jenis sampah diperlakukan sama, maka semua berakhir dengan cara yang sama. Sampah dapur yang seharusnya bisa diolah bercampur dengan plastik. Plastik yang masih bernilai bercampur dengan puing bangunan.

Oli bekas yang seharusnya ditangani khusus justru ikut dibuang sembarangan. Dalam kondisi seperti ini, warga tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Imbauan kebersihan tidak menyentuh akar persoalan. Spanduk larangan membakar sampah tidak memberi solusi. Ketika tidak ada alternatif yang disediakan, larangan hanya menjadi tulisan yang diabaikan.

Pengalaman kota Leuven di Belgia menunjukkan bahwa masalah sampah tidak diselesaikan dengan teknologi rumit. Warga diminta memisahkan sampah sejak dari rumah. Sampah yang tidak bisa diolah dimasukkan ke kantong khusus yang harus dibeli dengan harga mahal.

Sebaliknya, sampah yang dipilah ke dalam kantong lain justru lebih murah dan mudah diurus. Tidak ada ceramah panjang. Warga dibiarkan memilih, tetapi setiap pilihan memiliki akibat yang jelas. Hasilnya, sampah sisa berkurang dan kebiasaan baru terbentuk tanpa paksaan.

Perbedaannya sederhana: di sana, sampah diperlakukan sebagai pilihan yang punya akibat; di sini, sampah masih dianggap urusan yang bisa dihilangkan dengan api. Padahal desa memiliki keunggulan yang tidak dimiliki kota. Warganya saling mengenal. Lingkungannya lebih kecil. Perubahan kebiasaan bisa menyebar lebih cepat. Namun keunggulan ini tidak akan bekerja tanpa aturan yang jelas dan adil.

Sampah yang berbeda jenisnya perlu diperlakukan berbeda. Sampah dapur tidak seharusnya dibakar. Sampah kemasan tidak seharusnya ditimbun. Sisa renovasi tidak seharusnya bercampur dengan sampah harian. Oli bekas tidak seharusnya meresap ke tanah. Ketika semua disatukan, maka semua menjadi masalah.

Pengelolaan sampah desa tidak harus rumit atau mahal. Yang dibutuhkan pertama-tama adalah pengakuan bahwa desa sudah berubah. Sampah desa hari ini adalah sampah campuran, bukan lagi sampah alami semata. Menghadapinya dengan cara lama hanya akan memperbesar dampak buruk.

Jika sampah dapur dipisahkan sejak awal, ia tidak perlu dibakar. Jika plastik dan kemasan dikumpulkan, ia tidak perlu mencemari lingkungan. Jika sisa renovasi ditangani terpisah, ia tidak akan menumpuk di sudut desa. Jika oli bekas dikumpulkan, tanah dan air tidak ikut tercemar.

Semua ini bukan soal teknologi tinggi, melainkan soal kebiasaan yang diatur dengan jelas. Tanpa aturan, orang akan memilih cara paling mudah. Dan cara paling mudah saat ini adalah membakar.

Pengelolaan juga tidak bisa dibebankan pada satu orang. Ini urusan bersama. Jika satu rumah membuang sembarangan, dampaknya dirasakan seluruh lingkungan. Karena itu, pengelolaan perlu dilakukan secara kolektif, per RT atau per dusun.

Tekanan sosial di desa sebenarnya sangat kuat. Jika aturannya jelas dan adil, warga akan saling mengingatkan. Bukan karena takut pada hukuman, tetapi karena tidak ingin merugikan tetangga sendiri.

Ketika pengelolaan sampah diberi peran yang jelas dan dihitung sebagai kegiatan produktif, keadaannya berubah. Ada yang mengumpulkan. Ada yang mengolah. Ada yang menyalurkan. Sampah tidak lagi menjadi urusan kotor, tetapi bagian dari kehidupan desa yang diatur dengan sadar.

Hasilnya bisa langsung dirasakan. Sampah yang dibakar berkurang. Lingkungan lebih bersih. Sungai tidak lagi menjadi tempat pembuangan. Udara lebih sehat. Desa menjadi lebih nyaman.

Yang sering ditakuti adalah perubahan. Ada anggapan warga tidak siap. Namun yang sering tidak siap justru sistemnya. Orang akan berubah jika melihat manfaatnya langsung. Jika cara baru lebih masuk akal daripada cara lama, kebiasaan akan bergeser.

Desa Boros hanyalah satu contoh. Ia mencerminkan banyak desa lain yang sedang berubah, tetapi belum disiapkan untuk perubahan itu. Selama sampah desa terus diperlakukan seolah-olah masih seperti dulu, persoalan lingkungan akan terus berulang.

Sampah desa hari ini adalah tanda. Tanda bahwa pola hidup telah berubah, tetapi cara mengelola belum menyesuaikan. Jika tanda ini diabaikan, dampaknya akan masuk ke tanah, air, dan kesehatan warga sendiri.

Masalah ini tidak akan selesai dengan menyalahkan siapa pun. Ia hanya bisa selesai ketika sampah diperlakukan jujur: bukan sesuatu yang dihilangkan dengan api, tetapi sesuatu yang ditangani dengan pilihan.

Sebelum ratusan triliun dihabiskan untuk proyek pengolahan sampah berskala besar, tidakkah lebih bijak memastikan desa mampu mengelola sampahnya sendiri dengan benar?

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |