Jakarta, CNBC Indonesia - Rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) selama periode Mei 2024 hingga Mei 2025, terbukti menjadi salah satu pemicu utama volatilitas harga Bitcoin.
Data menunjukkan bahwa setiap pengumuman CPI, baik sesuai ekspektasi maupun tidak, pasar kripto akan bereaksi cukup signifikan, khususnya Bitcoin.
Saat angka inflasi mulai melandai sejak pertengahan 2024, investor mulai berspekulasi pada kemungkinan pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (The Fed/Federal Reserve).
Hal ini menyebabkan aset-aset berisiko seperti Bitcoin mengalami lonjakan tajam, terutama pada bulan Mei dan Juni 2024 ketika inflasi turun berturut-turut dari 3,4% ke 3,3%, sementara Bitcoin melonjak lebih dari 8% dalam dua bulan tersebut, mencapai harga US$68.079.
Namun, euforia itu tak bertahan lama.
Rilis inflasi Juli dan Agustus 2024 mengindikasikan inflasi yang lebih lunak dari ekspektasi, tetapi bukan sinyal kuat bagi pasar. Bitcoin anjlok ke US$57.558, mencerminkan kekhawatiran investor bahwa pelonggaran inflasi belum cukup untuk memicu pelonggaran moneter dalam waktu dekat.
Menariknya, ketika data inflasi sesuai dengan ekspektasi, harga Bitcoin cenderung bergerak positif secara moderat. Misalnya, pada 13 November 2024 dan 11 Desember 2024, inflasi sesuai dengan perkiraan dan Bitcoin melonjak signifikan bahkan mencapai kenaikan lebih dari 4% dalam satu hari. Hal ini bisa mencerminkan bahwa kepastian data ekonomi memberikan kenyamanan bagi investor untuk masuk ke aset berisiko, termasuk kripto.
Namun, kenaikan inflasi pada Februari 2025 ke level 3,0% kembali mengguncang pasar. Meskipun harga Bitcoin hanya terkoreksi ringan (-1,9% dalam dua bulan), sinyal bahwa inflasi belum sepenuhnya terkendali menciptakan ketidakpastian.
Koreksi terbesar terjadi pada April 2025, ketika inflasi turun ke 2,4% namun di bulan April lalu banyak yang terjadi, seperti perang tarif yang memporak-poranda pasar. Alih-alih naik, Bitcoin justru merosot hampir 4% ke US$79.876. Analis menilai ini sebagai "sell the news" moment, di mana ekspektasi pasar sudah terlalu tinggi terhadap kebijakan dovish The Fed.
Menutup Mei 2025, pasar akhirnya menemukan momentum baru. Dengan inflasi jatuh ke 2,3%, Bitcoin bangkit ke level US$104.611, menandai kembalinya ke tren bullish dan kepercayaan investor terhadap arah kebijakan moneter AS.
Analisis selama 12 bulan terakhir menunjukkan bahwa perbedaan antara angka inflasi aktual dan ekspektasi pasar memiliki dampak signifikan terhadap pergerakan harga BTC.
Ketika inflasi sesuai ekspektasi, pasar cenderung lebih tenang dan BTC bergerak naik secara perlahan. Namun saat terjadi kejutan baik positif maupun negatif reaksi pasar menjadi lebih tajam dan tidak selalu dapat diprediksi secara sederhana.
Data inflasi tak hanya menjadi indikator ekonomi, tapi kini telah menjadi "pemicu api" volatilitas di pasar kripto. Dalam periode 12 bulan terakhir, jelas terlihat bahwa pasar Bitcoin sangat responsif bukan hanya pada angka aktual inflasi, tapi juga pada perbedaan antara realisasi dan ekspektasi.
CNBC INDONESIA RESEARCH