Jakarta,CNBC Indonesia - Apa jadinya jika perdagangan pangan dunia tiba-tiba berhenti total? Dalam simulasi krisis global yang memutus rantai impor dan ekspor pangan antarnegara, hanya satu negara di dunia yang diperkirakan mampu bertahan secara mandiri:Guyana.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Food dan dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Göttingen(Jerman) dan Universitas Edinburgh (Skotlandia) menganalisis tingkat swasembada pangan dari 186 negara.
Hasilnya menunjukkan bahwa hanya Guyana, negara kecil di Amerika Selatan dengan populasi sekitar800.000 jiwa, yang bisa mencukupi kebutuhan domestiknya dalam tujuh kategori utama pangan.
Ke- tujuh kategori utama pangan tersebut mencakup(1) daging, (2) susu, (3) ikan, (4) buah-buahan, (5) sayuran, (6) pangan bertepung (beras, jagung, kentang), dan (7) kacang-kacangan, biji-bijian.
Foto: (AFP/PATRICK FORT)
Pemandangan udara Georgetown, Guyana. (AFP/PATRICK FORT)
Dari seluruh negara yang dianalisis,hanya Guyana yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan tersebut dari produksi domestik tanpa bergantung pada impor. Di posisi selanjutnya ada China dan Vietnam, yang dapat memenuhi kebutuhan dalam enam dari tujuh kategori tersebut.
Sebagian besar negara dunia hanya mampu memenuhi kebutuhan dua hingga lima kategori pangan. Sebanyak1 dari 7 negara mampu swasembada dalam lima kategori atau lebih, mayoritas berasal dari Eropa dan Amerika Selatan.
Foto: Nature Food
| Percentage of self-sufficiency for specific food groups
Sebaliknya, banyak negara kecil atau rentan seperti Afghanistan, Uni Emirat Arab Irak,Makau, Qatar, dan Yaman bahkan tidak mampu swasembada dalam satu pun kategori yang dianalisis.
Ketergantungan terhadap satu atau dua mitra dagang utama membuat banyak negara rentan terhadap gangguan global, baik karena konflik, embargo, maupun perubahan iklim. Laporan ini mengingatkan bahwa negara-negara dengan tingkat swasembada rendah dan sistem logistik yang lemah bisa menghadapi krisis pangan parah jika terjadi guncangan global.
Perdagangan pangan internasional memang krusial, tapi ketergantungan tinggi pada satu negara pemasok bisa menjadi titik lemah besar," ujar Jonas Stehl, penulis utama studi dari Universitas Göttingen. Menurutnya, pembangunan rantai pasok pangan yang tangguh dan berkelanjutan kini menjadi syarat utama menjaga ketahanan pangan nasional.
Hasil studi juga menunjukkan ketimpangan besar dalam jenis pangan yang diproduksi oleh berbagai negara. Negara-negara Eropa umumnya memproduksi daging dan susu secara berlebih, namun permintaan terhadap komoditas itu sangat rendah di Afrika. Sementara itu,kurang dari separuh negara menghasilkan cukup kacang-kacangan, biji-bijian, serta sayuran untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Alexander Vonderschmidt, peneliti dari Universitas Edinburgh, menambahkan bahwa krisis iklim akan memperparah tantangan ini. "Guncangan iklim semakin membentuk sektor pertanian global. Dibutuhkan perdagangan terbuka dan inovasi agar kita bisa mempertahankan pola makan sehat dan rendah karbon," tegasnya.
Temuan ini memperkuat urgensi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan strategis secara mandiri-bukan sekadar soal ketahanan ekonomi, tetapi juga pertahanan dalam skenario krisis global yang kian mungkin terjadi.
CNBCINDONESIARESEARCH
[email protected]