Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena menumpuknya stok mobil bekas nol kilometer (0 km) tengah melanda pasar otomotif China. Mobil-mobil tanpa jarak tempuh ini terdaftar sebagai produk terjual, diduga akibat praktik penggelembungan data penjualan.
Seperti diberitakan Reuters (Selasa, 10/6/2025), praktik ini demi menghabiskan inventaris dan mengejar pencapaian tahunan. Yang kemudian mengganggu tatanan pasar normal, akibat persaingan yang berlebihan.
Akibatnya, pemerintah China dikabarkan tengah menggodok aturan yang akan mencegah praktik serupa terulang lagi. Dengan memperketat pengawasan mobil bekas.
Lantas, bagaimana di Indonesia? Apakah akal-akalan serupa bisa terjadi?
Menurut Pengamat otomotif Yannes Pasaribu, hal itu bisa saja terjadi di Indonesia. Meski risikonya tidak akan sebesar yang terjadi di China.
"Fenomena penumpukan kendaraan bekas 0 km di China berakar pada kombinasi antara strategi perang harga yang destruktif dan praktik penjualan lintas entitas afiliasi dalam lingkup puluhan produsen otomotif di sana," kata Yannes kepada CNBC Indonesia, Kamis (12/6/2025).
"Di tengah kondisi kelebihan kapasitas produksi, dengan utilisasi pabrik hanya mencapai sekitaran 49,5%, hampir seluruh pabrikan justru mendorong para dealer menyerap stok dalam jumlah besar demi memenuhi prestasi target penjualan internal. Alih-alih merespons permintaan pasar yang sesungguhnya," tukasnya.
Kondisi ini diperburuk kondisi pasar global yang melemah dan membuat ekspor kendaraan dari China melambat.
"Akar permasalahan utamanya terletak pada overproduksi pabrik-pabrik mobil yang sudah sangat efisien. Ditambah, di daratan China, merek-merek berlomba memanfaatkan skema insentif yang mendorong pencapaian kuantitatif, sehinggga berkembang menjadi distribusi yang tidak terkendali," bebernya.
"Potensi terjadinya praktik penjualan mobil bekas 0 km di Indonesia, khususnya oleh merek-merek mobil China yang sedang gencar berekspansi, tetap ada. Meski risikonya belum sebesar di China," ucapnya.
Kenapa hal itu bisa terjadi?
"Karena inovasi desain dan teknologi EV (electric vehicles/ kendaraan listrik) yang siklusnya sangat cepat antara model lama dan model baru," ucapnya.
Terutama, terangnya, pada teknologi baterai saat ini yang harganya semakin murah, kemampuan fast charging semakin cepat, dan range jangakauan semakin tinggi. Serta tingkat safetynya yang semakin baik.
"Ini membuat EV seri keluaran sebeluimnya yang bahkan belum berumur 5 tahun sudah langsung jadi barang kuno secara teknologi. Padahal produk yang disiapkan untuk dijual sudah menumpuk stoknya dan daya serap pasar melemah, hanya terfokus pada segmen upper class Indonesia yang sangat mementingkan kebaruan dan inovasi," kata Yannes.
Namun, imbuh dia, dampaknya tidak memicu penumpukan mobil bekas 0 km. Tapi, hanya penumpukan stok.
"Jadi, jika APM di Indonesia menghadapi tekanan untuk mengejar target penjualan di tengah lesunya permintaan, mereka bisa aja terdorong menyalurkan stok secara internal ke dealer afiliasi," sebutnya.
"Lalu menjual kembali unit-unit tersebut sebagai mobil baru "old stock" dengan banjir diskon yang pastinya akan sangat menarik minat pasar lokal kita yang product knowledgenya tentang EV masih terbatas," bongkar Yannes.
Hanya saja, Yannes mengingatkan, Indonesia harus mewaspadai efek domino fenomena yang ada di China. Di mana, sambungnya, di China juga sedang terjadi banjir stok dan banting harga mobil listrik, termasuk hybrid.
"Banjir mobil China EV/hybrid dengan harga diskon berpotensi mengikis dominasi ICE konvensional di Indonesia. Terutama di segmen harga menengah dan kelompok usia millenial dan gen Z awal yang daya belinya belum kuat (range daya beli Rp200-500 juta), tapi sudah lebih melek teknologi serta mulai melirik teknologi ramah lingkungan dengan biaya kepemilikan lebih rendah," pungkas Yannes.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Dagang Trump Siap Makan Korban Baru, Harga Mobil Bakal Meroket