Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja penerimaan pajak di Indonesia menjadi salah satu yang terburuk menurut Bank Dunia atau World Bank. Baik dari sisi kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN maupun pajak penghasilan atau PPh.
Penilaian Bank Dunia soal kinerja pajak Indonesia itu termuat dalam laporan berjudul "Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia". Laporan yang dirilis pada tahun ini tersebut menggunakan basis analisis data periode 2016-2021 dan ditulis oleh Rong Qian dan Grzegorz Poniatowski.
"Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan), yang merupakan sumber utama penerimaan pajak, kinerjanya masih di bawah potensinya," dikutip dari laporan Bank Dunia itu, Rabu (26/3/2025).
Pada 2021, Bank Dunia mencatat PPh Badan dan PPN menyumbang sekitar 66% dari total penerimaan pajak, setara dengan sekitar 6% dari PDB. Namun, penerimaan yang dihasilkan dari PPN dan PPh Badan masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara struktural dan regional yang setara.
"Hal ini dapat dikaitkan dengan kombinasi berbagai faktor, termasuk kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit," kata Bank Dunia.
Selain itu, Bank Dunia juga menganggap dari sisi kesenjangan kebijakan, khususnya PPN atau yang dikenal dengan istilah VAT policy gap, Indonesia terbilang rendah dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya.
Policy gap di jenis pajak PPN ini adalah jumlah PPN yang tidak dapat dikumpulkan pemerintah karena kebijakannya, berbeda dengan compliance gap yang lebih menggambarkan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan PPN.
Menurut Bank Dunia, policy gap PPN Indonesia relatif rendah terutama karena pengeluaran yang relatif rendah untuk kesehatan, pendidikan, dan jasa keuangan yang biasanya tidak dikenakan pajak di sebagian besar sistem PPN.
Misalnya, di Eropa, kesenjangan kebijakan rata-rata sekitar 46% dari Notion Income Ratio atau NIR. kesehatan, pendidikan, dan jasa keuangan berkontribusi sekitar 21 poin persentase terhadap kesenjangan tersebut. Sebaliknya, kategori-kategori ini hanya menyumbang 7 poin persentase di Indonesia.
Ukuran kesenjangan kebijakan di Indonesia juga dipengaruhi oleh jenis keringanan yang diterapkan, yaitu pengecualian tanpa hak untuk memotong pajak masukan, tidak kena pajak, atau perpajakan tarif tetap tanpa hak untuk memotong pajak masukan.
Negara-negara berpenghasilan menengah yang sangat bergantung pada tarif yang dikurangi, seperti Turki (dengan kesenjangan kebijakan PPN di atas 40%) dan Afrika Selatan (dengan kesenjangan kebijakan PPN sekitar 30%), cenderung memiliki kesenjangan yang lebih tinggi.
Tarif yang dikurangi yang berlaku untuk barang yang dijual untuk penggunaan akhir mengurangi kewajiban pada seluruh rantai (sebanding dengan perbedaan antara tarif yang dikurangi dan tarif standar menurut undang-undang).
Bank Dunia mengingatkan, pembebasan tanpa hak untuk mengurangi sering kali memiliki dampak yang lebih moderat pada kewajiban. Hal ini karena pembebasan tersebut menciptakan PPN tersembunyi, yang mengurangi dampak fiskal dari pembebasan sekaligus menciptakan efek berjenjang yang tidak diinginkan.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kemenkeu Kejar 2.000 Wajib Pajak Nakal
Next Article Kondisi Pasar Tanah Abang di Tengah Rencana PPN Naik Tahun Depan