Bandwagoning Bukan Solusi Indonesia Terhadap China

6 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Strategi bandwagoning oleh Indonesia terhadap China bukan langkah yang tepat untuk diterapkan, mengingat akan ada beragam implikasi negatif yang dihasilkan.

Akhir Mei lalu, Perdana Menteri China Li Qiang berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan Presiden Indonesia Prabowo Subianto untuk menyepakati beberapa perjanjian seperti penggunaan mata uang lokal dan proyek kerja sama two countries twin park. Pertemuan itu tidak hanya menunjukkan kedekatan kedua negara, namun juga keberlanjutan untuk mencapai kerja sama strategis lainnya seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).

Artikel opini diterbitkan oleh CNBC Indonesia pada 26 Juni 2025 berargumen bahwa dalam menyikapi kebangkitan China, Indonesia seharusnya tidak melakukan balancing selayaknya negara berkembang, melainkan dengan bandwagoning.

Keuntungan Semu
Bandwagoning dalam konteks politik luar negeri sering didefinisikan sebagai "menjadi aliansi atau koalisi". Denny Roy, peneliti keamanan kawasan Asia-Pasifik, menjelaskan interpretasi dari konsep itu adalah being on the winning side. Artinya, terdapat strategi dari negara yang lemah untuk mendapatkan profit dari negara kuat daripada menjadi penyeimbang.

Pada masa perang, cara ini mungkin telah lumrah dilakukan. Di satu sisi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi pascaperang dan mendapatkan aliansi yang lebih kuat untuk memenangkan perang.

Namun, Indonesia seharusnya tidak menempatkan diri pada koalisi dengan China. Selain tidak sesuai dengan prinsip bebas aktif, sebagai middle power, Indonesia akan cenderung memiliki "kelekatan" dengan China di sektor ekonomi. Ini akan menutup kesempatan Indonesia dalam mendiversifikasi mitra dagang.

Sejak era Presiden Joko Widodo (Jokowi), ketergantungan Indonesia secara ekonomi dengan China cukup besar. Pemerintah Indonesia dan Kepabeanan Cina mencatat bahwa terjadi peningkatan dagang dari $73 miliar ke $150 miliar di tahun 2019-2024.

Angka tersebut berbanding jauh jika dibandingkan dengan mitra tradisional lainnya seperti Jepang, Singapura, ataupun AS. Cina juga menempatkan diri sebagai investor teratas dengan realisasi sebesar $8,1 miliar di tahun 2024.

Melalui investasi, Indonesia sebenarnya memiliki profit, di mana China membantu Indonesia untuk membangun infrastruktur strategis. Namun, hal ini justru menjadi pisau bermata dua.

Dari sisi utang, meskipun China bukan merupakan pemberi utang terbesar bagi Indonesia, dari kurun 10 tahun terakhir (2014-2024), utang China ke Indonesia hampir meningkat 200%, dan dimungkinkan akan terus bertambah.

Konsep bandwagoning dengan China juga akan berdampak negatif terhadap kelengahan investasi China. Di tahun 2021, pemerintah China dan Indonesia sepakat untuk membangun pembangkitan listrik tenaga batu bara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan terutama kualitas air, dan ditambah dengan banyak nelayan kehilangan mata pencaharian karena berkurangnya kuantitas ikan.

Hal yang sama juga terjadi di Maluku Utara, Pulau Obi, yang sudah dimulai sejak tahun 2022. Di tahun 2023, laporan Celios menunjukkan kualitas pekerja yang direkrut cenderung rendah, akibatnya sering terjadi kecelakaan.

Kecenderungan Keberpihakan: Memicu Respons Trump
Relasi antara AS dan China memburuk sejak Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif dagang sebesar 125% terhadap produk China. Terjadi ketimpangan angka yang cukup besar, di mana negara lainnya hanya ditetapkan 10%. Pandangan Trump terhadap China berhasil menarik perhatian global, ia seolah memberi pesan bahwa China adalah musuh.

Target Trump selanjutnya adalah BRICS+ - kerja sama ekonomi yang dipelopori oleh Cina dan Rusia sejak tahun 2009. Melalui pesannya, Trump akan menerapkan tarif 100% jika negara anggota BRICS+ berencana untuk menghilangkan penggunaan dolar.

Posisi Indonesia terancam
Di awal tahun, Presiden Prabowo mengeluarkan keputusan besar: Indonesia bergabung dengan BRICS bersama dengan negara Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin. Langkah Prabowo tersebut memicu beragam tanggapan, tentu dari sisi ekonomi dan politik luar negeri.

Terkait ancaman peningkatan tarif 100% dari Trump, Indonesia sudah dipastikan akan terdampak. Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Parahyangan, Idil Syawfi, mengatakan bahwa tarif Trump akan mengganggu kinerja sebagian besar ekspor Indonesia ke AS.

Di lain hal, dengan bergabungnya Indonesia di BRICS, AS akan condong memandang Indonesia sebagai kelompok revisionis, seperti layaknya Cina. Posisi Indonesia di antara China dan AS juga diperburuk dengan ketidakhadiran Prabowo di pertemuan G7 di Kanada, dan lebih memilih ke Rusia. Ini kemudian menunjukkan bahwa Indonesia akan semakin "jauh" memperhatikan pihak Barat.

Makin "Katarak" Kasus Laut Natuna Utara
Kasus sengketa Natuna Utara menjadi sensitif sejak kapal-kapal China beraktivitas di sekitar wilayah tersebut. Meskipun Indonesia bukan negara yang ikut bersengketa, China telah mengklaim bahwa keseluruhan Laut China Selatan, termasuk Natuna Utara di dalamnya, adalah bagian dari nine dash line - klaim sepihak China.

Usaha Indonesia untuk menghalau China sudah dilakukan melalui pengiriman nota diplomatik dan kehadiran Presiden Jokowi secara simbolik ke wilayah tersebut. Namun, tidak ada progres yang signifikan untuk penyelesaian kasus. Ini juga ditambah dengan aktivitas, di mana di tahun 2021, China mengirimkan surat kepada Indonesia untuk menghentikan latihan Garuda Shield dan pengeboran di wilayah Natuna.

Di era Prabowo, isu Laut Natuna Utara kembali mencuat. Di akhir 2024, Prabowo dan Xi menyampaikan sembilan poin penting tentang Natuna Utara yang salah satunya Indonesia dan China akan menjalin joint development. Sikap ini menjadi pertanyaan besar posisi Indonesia terhadap China, sebab dalam hal ini, Indonesia tidak pernah mengakui klaim sepihak China dan selalu berdasarkan UNCLOS 1982.

Dengan Indonesia bandwagoning dengan Cina di sisi ekonomi, peran Indonesia untuk membela Natuna Utara tidak akan pernah serius. Tentu, Indonesia akan takut jika investor China menarik diri.

Selagi lagi, menerapkan strategi bandwagoning terhadap China bukan keputusan yang matang. Strategi tersebut hanya akan berdampak negatif terhadap Indonesia di sektor ekonomi.

Tentu, melalui sektor vital itu Indonesia semakin segan untuk menegur aktivitas China terutama di Laut Natuna Utara. Untuk itu, meskipun strategi balancing memiliki segudang aspek negatif, ia akan tetap mampu menjaga prinsip politik luar negeri Indonesia, dan tetap kritis terhadap aktivitas Cina.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |