Jakarta -
Anggota DPR RI Bambang Soesatyo menilai demokrasi Indonesia merosot akibat politik transaksional dan oligarki yang menyimpang dari Pancasila. Ia mendorong reformasi pendanaan politik dan etika kepemimpinan demi mengembalikan demokrasi yang bermusyawarah dan bermoral.
Menurutnya, pasca reformasi, politik Indonesia didominasi transaksi kekuasaan, politik uang, dan bagi-bagi jabatan. Hal ini mengikis semangat ideologis demokrasi Pancasila yang seharusnya menjunjung musyawarah, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral pemimpin kepada rakyat.
"Kita telah jauh bergeser dari nilai sila Keempat Pancasila, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi yang kita jalankan sekarang sering kehilangan hikmat dan kebijaksanaan karena lebih didorong oleh kepentingan pragmatis," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (4/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini dia ungkapkan saat mengajar mata kuliah Pancasila pada Program Sarjana (S1) di Kampus Universitas Borobudur Jakarta, Senin (3/11/25).
Lebih lanjut, Bamsoet menekankan demokrasi Pancasila bukan sekadar pemilihan langsung, melainkan sistem yang mengutamakan musyawarah dan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan bangsa. Ia mendorong penerapan politik yang deliberatif, partisipatif, dan berlandaskan kebijakan publik rasional, bukan transaksi ekonomi-politik.
Fakta politik di Indonesia menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, dengan biaya kampanye yang sangat tinggi. Menurut KPK dan LIPI, pencalonan kepala daerah bisa menelan Rp 20-100 miliar, sementara kursi DPR RI memerlukan Rp 5-50 miliar.
"Biaya politik yang setinggi itu memaksa calon mencari sponsor, dan sponsor inilah yang kemudian meminta imbalan dalam bentuk proyek, proteksi, regulasi, atau jabatan. Maka lahirlah sistem yang dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan ekonomi dan berkuasa," kata Bamsoet.
Bamsoet juga menilai mahalnya biaya politik telah mengubah demokrasi menjadi ajang investasi bagi pemilik modal. Akibatnya, rakyat hanya menjadi penonton, sementara arah kebijakan ditentukan oleh mereka yang berkuasa secara finansial.
Ia menegaskan kondisi ini memperkuat oligarki dan bertentangan dengan semangat demokrasi Pancasila yang menolak dominasi ekonomi-politik serta menjunjung kedaulatan rakyat.
"Demokrasi Pancasila bukan sistem yang anti modern, melainkan sistem yang menempatkan etika dan moralitas sebagai fondasi," katanya
Lebih lanjut, ia menyebut prinsip musyawarah dapat diterapkan dalam demokrasi modern melalui partisipasi publik dalam forum kebijakan dan perumusan keputusan strategis.
Bamsoet menekankan perwujudan demokrasi Pancasila perlu dimulai dari reformasi pendanaan politik dan pembenahan partai. Negara sebaiknya ikut menanggung biaya operasional partai agar tak bergantung pada pemodal, sementara partai wajib melakukan kaderisasi terbuka dan menyusun program yang berpihak pada rakyat.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga independensi partai politik. Menurutnya, pengurus partai sebaiknya tidak merangkap jabatan eksekutif, karena saat duduk di kabinet, loyalitas harus sepenuhnya kepada Presiden. Jika tetap menjabat di partai, batas antara kepentingan partai dan pemerintah menjadi kabur.
"Pancasila mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah kebijaksanaan, bukan kekuasaan. Musyawarah adalah cara mencari kebenaran bersama, bukan alat tawar menawar kepentingan. Karenanya nilai-nilai Pancasila harus menjadi pedoman moral dalam mengarahkan praktik politik, agar kekuasaan tidak lagi menjadi 'alat dagang', melainkan untuk mewujudkan amanah rakyat," pungkas Bamsoet.
(akd/akd)

















































