APBN RI Bisa Tekor Banyak Jika Minyak Naik di Atas US$82 per Barel

1 week ago 6

Jakarta, CNBC Indonesia - Memanasnya medan peperangan di Timur Tengah yang diperparah dengan keputusan Amerika Serikat (AS) untuk ikut menyerang Iran. Keputusan ini memicu gejolak di pasar global dan berisiko mendongkrak harga komoditas termasuk minyak.

Harga minyak diperkirakan akan naik sebesar US$3 hingga US$5 per barel, setelah serangan udara AS yang menargetkan fasilitas nuklir Iran. Kenaikan harga komoditas, terutama minyak ini dapat memberikan tekanan kepada Indonesia.

Adapun, saat ini, Brent ditutup pada harga US$ 77,01 per barel pada hari Jumat, dan West Texas Intermediate (WTI) milik AS pada US$ 73,84.

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede mengemukakan kenaikan harga minyak ini menambah tekanan defisit neraca perdagangan Indonesia karena meningkatnya biaya impor energi. Kombinasi harga minyak yang tinggi dan pelemahan rupiah menambah beban fiskal berupa peningkatan subsidi energi yang signifikan.

"Berdasarkan sensitivitas fiskal, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 di atas asumsi APBN (USD 82 per barel) menyebabkan tambahan beban neto sekitar Rp7 triliun, sehingga defisit anggaran berpotensi melebar lebih dekat ke batas 3% PDB. Kondisi ini memperberat tekanan terhadap rupiah melalui peningkatan risiko fiskal dan prospek pelebaran defisit transaksi berjalan (CAD)," kata Josua dalam catatannya kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (23/6/2025).

Menurut analisis terbaru, kata Josua, peningkatan harga minyak global akibat konflik ini telah mencapai lebih dari 7%, dengan Brent mencapai sekitar US$ 74 per barel, dan berpotensi melonjak hingga di atas US$ 100 per barel jika konflik semakin meluas, terutama apabila jalur pasokan melalui Selat Hormuz terganggu.

Adapun sejak konflik Israel dan Iran dimulai pada 13 Juni, dengan Israel menyerang fasilitas nuklir Iran dan rudal Iran menghantam gedung-gedung di Tel Aviv-harga Brent telah naik 11%, sedangkan WTI meningkat sekitar 10%.

Sejauh ini kondisi pasokan yang stabil dan ketersediaan kapasitas produksi cadangan di antara anggota OPEC telah membatasi kenaikan harga minyak. Menurut analis di UBS Giovanni Staunovo risiko biasanya akan memudar jika tidak terjadi gangguan pasokan.

"Arah pergerakan harga minyak selanjutnya akan bergantung pada apakah terjadi gangguan pasokan, yang kemungkinan besar akan menyebabkan harga naik, atau jika konflik mereda, yang akan menyebabkan premi risiko berkurang," ujarnya.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Sri Mulyani Bawa Kabar Baik, Setoran Pajak Berbalik Positif di Maret

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |