Jakarta, CNBC Indonesia - Mendambakan pengakuan dari orang lain atau mencari validasi orang lain memang hal yang manusiawi. Namun, ketika dorongan itu berlebihan hingga membuat seseorang sulit merasa cukup tanpa pujian, kondisi ini bisa berdampak buruk pada kesehatan mental.
Menurut Shahida Arabi, MA, penulis buku "The Highly Sensitive Person's Guide to Toxic People" dan peneliti di Harvard University, kebutuhan validasi adalah bagian alami dari hubungan sosial manusia. Walau demikian, ketika seseorang terlalu bergantung pada pengakuan dari luar, hal itu bisa mengikis rasa percaya diri dan berdampak pada kesehatan mental.
Shahida bilang, kebutuhan validasi berasal dari dua sumber, yaitu internal dan eksternal. Validasi internal berarti seseorang mampu menghargai pencapaian, perasaan, dan kekuatannya sendiri.
"Sedangkan validasi eksternal datang dari orang lain, seperti teman, pasangan, atau rekan kerja, yang memberikan pengakuan atau pujian," ujarnya dikutip dari Psych Central di Jakarta, Kamis (6/11/2025)
Masalahnya muncul saat seseorang terlalu menggantungkan rasa berharga diri pada validasi eksternal. Kondisi ini dapat berkembang dari pengalaman masa kecil, semisal kurang mendapat perhatian atau justru menerima pujian berlebihan.
Studi tahun 2016 menunjukkan, anak yang mendapat validasi emosional sehat dari orang tua lebih mampu mengenali dan mengelola emosinya. Sebaliknya, anak yang tumbuh tanpa dukungan emosional berisiko sulit mempercayai orang lain, cemas berlebihan, takut ditolak, atau menunjukkan perilaku tidak stabil.
Sementara penelitian lain pada 2015 menemukan, anak yang terlalu sering dipuji justru bisa mengembangkan sifat narsistik, seperti merasa paling benar atau selalu ingin diakui. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini bisa terbawa hingga dewasa dan mempengaruhi hubungan sosial maupun karier.
Kebutuhan validasi yang berlebihan bisa dikenali lewat beberapa tanda seperti:
- Selalu merasa bersalah saat menolak permintaan orang lain.
- Berprestasi hanya untuk mendapatkan pujian.
- Sulit mengambil keputusan tanpa pendapat orang lain.
- Takut ditinggalkan bila berbeda pendapat.
- Merasa rendah diri saat tak menjadi pusat perhatian.
- Sering membandingkan diri dan menganggap hidup orang lain lebih baik.
Jika perilaku ini terus berlanjut, seseorang bisa kehilangan identitas diri dan bergantung pada penilaian eksternal untuk merasa berarti.
Shahida Arabi menyarankan beberapa langkah praktis untuk mulai membangun validasi internal:
1. Refleksikan pengalaman masa kecil. Sadari apakah dulu kamu kurang mendapat dukungan emosional atau pujian sehat. Cobalah memberi penghargaan pada diri sendiri yang mungkin dulu tidak sempat kamu dapatkan.
2. Gunakan self-care dan afirmasi positif. Latihan seperti meditasi atau yoga bisa membantu mengendalikan emosi. Ucapkan afirmasi seperti "Saya cukup" atau "Saya percaya diri" untuk mengganti pikiran negatif.
3. Belajar mengatakan tidak. Mulailah dari hal kecil untuk membiasakan diri menolak tanpa rasa bersalah.
4. Bangun lingkaran dukungan sehat. Kelilingi diri dengan orang-orang yang menghargaimu tanpa syarat.
Jauhi orang yang suka merendahkan. Hentikan kebiasaan mencari pengakuan dari sosok yang tidak aman secara emosional atau manipulatif.
Mencari validasi dari orang lain bukanlah hal buruk, selama tetap seimbang dengan penghargaan pada diri sendiri. Kesehatan mental yang baik dimulai dari kemampuan untuk mengakui nilai dan pencapaian pribadi tanpa harus menunggu persetujuan orang lain.
Jika kamu merasa kebiasaan ini sulit diubah, berkonsultasi dengan profesional kesehatan mental bisa membantu menemukan akar masalah dan membangun rasa percaya diri yang lebih sehat.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Justin Bieber Akui Punya Anger Issues, Apa Penyebabnya?

















































