Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
12 December 2025 17:15
Jakarta, CNBC Indonesia - Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) merupakan indikator penting untuk menilai kesehatan finansial suatu negara.
Rasio ini membandingkan total utang pemerintah dengan ukuran output ekonominya, sehingga menunjukkan kemampuan negara untuk membayar utang, menarik investasi, serta menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.
Rasio utang yang tinggi umumnya menandakan risiko fiskal yang lebih besar. Beban utang yang berat dapat mendorong biaya pinjaman yang lebih mahal, menekan ruang ekspansi ekonomi, dan mengurangi kapasitas negara dalam menghadapi guncangan atau krisis. Sebaliknya, rasio utang yang lebih rendah menunjukkan posisi fiskal yang lebih sehat dan memberikan ruang kebijakan yang lebih fleksibel bagi pemerintah.
Berbeda dengan melihat nominal utang secara absolut, rasio utang terhadap PDB memberikan gambaran yang lebih akurat mengenai beban utang relatif terhadap kemampuan ekonomi dalam menghasilkan pendapatan.
Berdasarkan data terbaru International Monetary Fund (IMF) dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2025, berikut adalah 10 negara di Asia dengan rasio utang terbesar, yang mencerminkan dinamika fiskal dan tantangan struktural masing-masing negara.
Jepang
Rasio utang pemerintah Jepang mencapai 229,6% terhadap PDB, dengan total utang sekitar US$9,83 triliun atau setara 8,9% dari total utang dunia. Tingginya angka ini mencerminkan kebutuhan pembiayaan fiskal yang sangat besar di tengah kondisi demografis yang menua dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di Negeri Sakura.
Singapura
Rasio utang Singapura berada di level 175,6% terhadap PDB, menjadikannya negara dengan rasio utang terbesar kedua di Asia.
Meskipun angka ini tampak tinggi, konteksnya berbeda karena sebagian besar utang Singapura digunakan sebagai instrumen pasar keuangan untuk stabilitas likuiditas, bukan sekadar pembiayaan defisit. Total utang Singapura mencapai sekitar US$1 triliun hingga menjadikannya negara dengan rasio utang terbesar di Asia Tenggara menurut data IMF.
Bahrain
Bahrain menyusul di peringkat ketiga dengan rasio utang 142,5% terhadap PDB. Tingginya rasio utang Bahrain dari PDB ikut mendorong lembaga pemeringkat global menurunkan penilaian atas kemampuan fiskal negara tersebut. S&P Global Ratings menurunkan peringkat kredit Bahrain karena meningkatnya beban utang dan defisit anggaran yang terus berlanjut. Fitch Ratings juga mengubah outlook Bahrain menjadi negatif, mencerminkan tekanan fiskal yang masih besar.
Kenaikan kebutuhan pembiayaan membuat Bahrain kembali ke pasar obligasi untuk melakukan refinancing, sementara volatilitas harga minyak terus menjadi risiko utama bagi stabilitas anggaran negara tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

















































