Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di balik inisiatif besar negara untuk menjamin kesehatan setiap warganya, masih terdapat celah kebijakan yang menyasar populasi penting bagi bangsa Indonesia. Ini menyangkut jutaan anak dan balita dengan kondisi medis khusus, terutama malnutrisi kronis dan stunting berat yang belum mendapatkan akses jaminan pembiayaan terhadap terapi nutrisi yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dan tumbuh optimal.
Produk pangan untuk kebutuhan medis khusus (PKMK) padat kalori dan tinggi protein, yang seharusnya menjadi bagian integral dari terapi stunting, masih diposisikan sebagai "biaya pribadi" oleh sistem Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal, tanpa PKMK, terapi medis kehilangan fondasinya, dan anak-anak ini menghadapi risiko gagal tumbuh, gangguan perkembangan otak, bahkan kehilangan potensi produktivitas di kemudian hari.
Secara definisi, PKMK adalah produk gizi sebagai terapi atau pengobatan, diformulasikan secara khusus untuk menangani kondisi medis tertentu yang tidak dapat diatasi oleh makanan biasa dan bukan sekadar konsumsi regular. Contohnya: formula preterm infant untuk bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah agar mencapai kejar tumbuh optimal, formula hidrolisat ekstensif dan asam amino bebas untuk anak dengan alergi susu sapi berat, formula untuk anak stunting atau gagal tumbuh dengan densitas energi dan protein tinggi atau contoh lain formula bebas laktosa, fenilalanin, atau galaktosa untuk anak dengan kelainan metabolik.
Masalah gizi anak Indonesia yang membutuhkan asupan PKMK sangatlah signifikan. Stunting masih dialami oleh 21,5% balita Indonesia per tahun 2022. Orientasi preventif tentu sangat penting, namun kondisi kurang gizi bertahun-tahun yang terjadi di Indonesia saat ini menyisakan jutaan balita yang sudah tidak lagi dalam periode pencegahan, tetapi harus diobati. Terapi nutrisi untuk mereka hanyalah dengan PKMK. Meskipun sudah ada program pengadaan PKMK padat kalori untuk stunting dan balita gagal tumbuh, namun pendekatan ini tidak akan berkelanjutan karena bukanlah bagian dari sistem pembiayaan universal.
Anak yang mengalami stunting atau faltering growth membutuhkan formula dengan kepadatan energi, kadar protein yang tinggi dan zat gizi mikro yang spesifik. Penelitian dari Nuril Widjaja dkk di Surabaya (2022) menunjukkan, dampak intervensi PKMK padat kalori dan tinggi protein pada balita dengan gagal tumbuh tidak hanya sekedar membantu kejar tumbuh tetapi juga menurunkan risiko penyakit infeksi di kemudian hari. Begitupun dengan penelitian di Makassar yang dilakukan Conny Tanjung dkk (2023) juga membuktikan, dampak PKMK yang luar biasa signifikan dalam mencegah, mengobati, dan mempertahankan status gizi bayi dan anak yang telah terdiagnosis stunting sekalipun.
Tanpa PKMK, anak-anak stunting berisiko mengalami keterlambatan perkembangan otak, penurunan fungsi imun, dan gangguan perilaku sosial (Grantham-McGregor dkk, 2007). Bahkan efek domino jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat pun sangat nyata. Dampak terberat tentunya penurunan kualitas SDM nasional. Anak-anak yang mengalami kurang gizi berbulan-bulan yang tidak terkoreksi akibat tidak terjangkaunya PKMK, memiliki potensi IQ lebih rendah 10-15 poin dibanding anak dengan asupan cukup. Peluang kehilangan produktivitas kerja dan daya saing bangsa sangat besar.
Beban sistem kesehatan pun meningkat. Anak stunting dan gagal tumbuh yang tidak mendapat PKMK lebih rentan mengalami komplikasi, infeksi berulang, rawat inap, dan kebutuhan pengobatan tambahan. Studi oleh Elia (2005) menyebutkan bahwa kekurangan terapi nutrisi meningkatkan lama rawat inap hingga 4 hari lebih lama dan biaya perawatan naik hingga 50 persen.
Tinjauan Efisiensi Pembiayaan
Penelitian dari Hart (2018) menyebutkan bahwa intervensi nutrisi berbasis PKMK pada anak stunting dapat meningkatkan tinggi badan, IQ, dan kualitas hidup dalam jangka panjang. Studi dari USAID dan UNICEF (2020) juga membuktikan pemberian PKMK untuk bayi prematur dan anak gagal tumbuh secara signifikan menurunkan angka rawat inap, komplikasi infeksi, dan kematian. Dengan kata lain, membiayai PKMK bukan beban, tetapi investasi jangka panjang dalam kualitas manusia Indonesia.
Bahkan hasil kajian ekonomi kesehatan yang dilakukan dengan data kongkrit anak Indonesia oleh Akbar (2024) dan telah dipublikasikan di International Society for Pharmacoeconomis and Outcomes Research (ISPOR) menunjukkan bahwa investasi PKMK merupakan program yang hemat biaya dengan memberi manfaat kesehatan yang lebih luas pada anak malnutrisi di Indonesia. Analisis Akbar ini bahkan menegaskan dampak ekonomi PKMK padat kalori pada anak gagal tumbuh membantu negara menghemat biaya terapi penyakit infeksi lanjutan hingga delapan kali lipat.
Ketimpangan Akses PKMK
PKMK bukan barang mewah. Ia adalah bagian dari medical nutrition therapy yang telah terbukti secara ilmiah sebagai bagian dari standar penanganan klinis untuk berbagai kondisi. American Academy of Pediatrics (2021) dan European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition (ESPGHAN 2019) secara eksplisit menekankan pentingnya penggunaan PKMK dalam tatalaksana gangguan tumbuh kembang dan alergi pada anak.
BPJS saat ini tidak menanggung PKMK, bahkan ketika produk tersebut diresepkan oleh dokter spesialis anak. Meskipun secara regulasi PKMK telah masuk dalam formularium nasional yang dikeluarkan pada tahun 2023. Saat ini PKMK untuk stunting bisa dibayarkan melalui biaya intervensi nutrisi lewat program masing-masing daerah di tingkat dinas kesehatan provinsi, kabupaten, dan kota. Semuanya menggunakan dana APBD.
Ini tentunya sangat tidak sustainable karena sangat bergantung dari pendapat asli daerah yang juga harus digunakan untuk anggaran program lain. Hal ini menciptakan ketimpangan struktural dalam pelayanan kesehatan. Anak dari keluarga miskin yang tidak mampu membeli PKMK akan terus tertinggal dalam tumbuh-kembangnya, menciptakan siklus ketimpangan sosial yang sulit diputus.
Ketika tidak diintervensi negara, maka anak-anak dengan kebutuhan medis khusus tidak mendapat akses gizi yang adil, sistem kita gagal menunaikan keadilan itu. Bagaimana tidak timpang, bila negara bisa menjamin operasi jantung senilai ratusan juta rupiah, tetapi menolak menjamin formula penyelamat masa depan seharga ratusan ribu.
Peran Strategis Multi-pihak
Untuk menjadikan PKMK sebagai bagian dari sistem JKN, diperlukan sinergi kebijakan dan partisipasi lintas sektor. Pemerintah dan BPJS Kesehatan perlu menyusun kebijakan integrasi pembiayaan PKMK kedalam manfaat JKN untuk kasus tertentu (prematur, stunting, alergi berat, gangguan metabolik), dan dimasukkan dalam formularium nasional.
Harus diakui dengan kondisi BPJS yang terus mengalami défisit, advokasi pembiayaan PKMK akan tidak mudah. Namun langkah cepat yang paling bisa dilakukan adalah dengan menyediakan subsidi silang dan mekanisme klaim berbasis kebutuhan klinis. Disinilah perlu peran strategis organisasi profesi dokter anak untuk tidak hanya menyusun tetapi juga mengeskalasi kekuatan pedoman klinis yang terstandarisasi dan mendukung peresepan PKMK hingga di tingkat kebijakan pembiayaan.
Industri juga harus dilibatkan karena harga produksi dan inovasi teknologi menjadi elemen kunci yang menyebabkan harga produk ini menjadi lebih mahal. Menekan harga PKMK melalui pengembangan produk lokal berkualitas menjadi solusi jangka menengah dan panjang. Sarihusada telah menginisiasi pendekatan ini dengan produksi lokal formula PKMK padat kalori dan tinggi protein.
Namun untuk jangka pendek, kolaborasi dengan pemerintah dalam skema subsidi dan bulk procurement bisa menjadi opsi yang sangat realistis, mengingat hal ini juga sudah dilakukan di masa awal BPJS pada obat-obat di bidang onkologi. Akademisi dan peneliti juga perlu terus melakukan evaluasi cost-effectiveness dan efektivitas intervensi PKMK.
Pada intinya, kita tidak sedang membicarakan susu mahal. Kita sedang membicarakan hak hidup anak-anak yang sejak lahir telah harus bertahan dengan kondisi yang tak mereka pilih. Mereka tidak butuh belas kasihan, mereka butuh kebijakan yang berpihak. Jika kita serius ingin membangun generasi unggul, maka perhatian terhadap nutrisi sejak dini bukanlah pilihan, melainkan keharusan.
Tidak cukup hanya dengan slogan "anak adalah masa depan bangsa", jika kita membiarkan mereka bertumbuh tanpa akses pada makanan yang menyembuhkan. Ketika seorang anak lahir dengan tubuh yang rapuh karena malnutrisi kronis, ia membutuhkan nutrisi yang sesuai. Nutrisi itu tidak bisa diberikan oleh dapur rumah tangga biasa, tetapi oleh sains, teknologi, dan komitmen negara. Inilah saatnya kita mengubah paradigma. Nutrisi untuk stunting adalah terapi, dan PKMK adalah kebutuhan medis mendesak yang tak bisa ditawar-tawar. Dan negara wajib hadir dengan pembiayaan PKMK universal.
(rah/rah)