Trump Serang Energi Hijau: Turbin Angin Cs Hanya Buang-Buang Uang?

4 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan keras dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang melabeli inisiatif energi hijau sebagai "bencana" dan "pemborosan uang" telah mengirim gelombang kejut ke seluruh pasar energi global.

Klaim ini memaksa kita untuk membedah kembali pertanyaan fundamental: di tengah transisi energi yang sedang berlangsung, apakah energi bersih benar-benar sebuah kegagalan ekonomis?

Untuk menjawabnya, kita perlu bergerak melampaui retorika politik dan melihat data teknis, realitas di lapangan, serta tren struktural yang kini membentuk ulang cara dunia menghasilkan dan mengonsumsi listrik.

Dekonstruksi Klaim Trump: Validitas Argumen Biaya dan Ketidakstabilan

Kritik yang dilontarkan Presiden Donald Trump di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (24/9/2025) bukanlah tanpa dasar. Argumennya berakar pada tantangan teknis dan ekonomis yang nyata.

Secara historis, proyek energi hijau memang membutuhkan belanja modal awal (CAPEX) yang sangat besar, dan seringkali bergantung pada subsidi pemerintah untuk mencapai kelayakan.

Lebih dari itu, masalah fundamental energi terbarukan seperti surya dan angin adalah sifatnya yang tidak stabil 24/7. Ini menciptakan tantangan besar bagi stabilitas jaringan listrik yang menuntut keseimbangan pasokan dan permintaan setiap detik.

Studi kasus seperti transisi energi Energiewende di Jerman, yang sempat dihadapkan pada lonjakan harga listrik, dan kegagalan proyek spesifik seperti menara surya Crescent Dunes di AS, menjadi amunisi bagi argumen bahwa transisi ini penuh rintangan.

Energi Terbarukan Kini Lebih Murah, Tapi...

Jika kita membandingkan biaya membangun pembangkit listrik baru saat ini, energi terbarukan adalah pemenangnya.

Berdasarkan metrik industri Levelized Cost of Energy (LCOE), biaya produksi listrik dari tenaga surya dan angin darat skala utilitas kini lebih murah dibandingkan membangun pembangkit batu bara atau gas baru dari nol. Tren penurunan biaya teknologi ini diproyeksikan akan terus berlanjut.

Namun, di sinilah letak kompleksitasnya. LCOE yang rendah tidak mencakup biaya sistemik untuk mengelola sifat ketidakstabilan.

Biaya ini mencakup investasi masif pada penyimpanan energi (baterai), kapasitas pembangkit cadangan (biasanya gas), dan modernisasi jaringan transmisi. Jika seluruh biaya ini digabungkan, total biaya listrik bagi konsumen di negara dengan porsi energi terbarukan yang tinggi masih bisa menjadi mahal untuk saat ini.

Skala Adopsi Masif & Peran Krusial Tenaga Nuklir

Meskipun diwarnai perdebatan biaya, data global menunjukkan komitmen yang tak terbantahkan. China memimpin dunia dengan kapasitas terpasang tenaga angin lebih dari 521,746 Megawatt (MW), disusul Amerika Serikat dengan 153,152 MW, dan Jerman yang berada pada level 72,823 MW.

Skala investasi proyek pada tenaga angin ini membuktikan bahwa negara-urutan adidaya melihat energi terbarukan sebagai pilar kebijakan industri strategis, bukan sekadar proyek lingkungan terutama apabila kita melihat proyek yang sedang China bentuk untuk energi di masa depan.

Di saat yang sama, argumen mengenai "ketidakandalan" energi bersih seringkali mengabaikan tenaga nuklir.

Tenaga nuklir menyediakan pasokan listrik yang stabil, rendah karbon, dan berkapasitas masif. AS adalah produsen listrik nuklir terbesar di dunia yang berada di angka 29,2% pada total sharenya di seluruh dunia atau setara dengan 823 TWh.

Sementara China berada di angka 16% sebagai pemasok energi nuklir di dunia atau setara 451 TWh. Pada urutan ketiga, Perancis memakai lebih dari 60% energi listriknya yang berasalkan dari tenaga nuklir, dengan total pemasok tenaga nuklir 13,5% seluruh dunia.

Keberadaan nuklir sebagai tulang punggung di negara-negara maju membuktikan bahwa solusi untuk energi bersih yang andal secara teknis sudah ada dan terus digunakan hingga saat ini.

Ini Bukan Penggantian, Ini Revolusi Infrastruktur

Kesalahan terbesar dalam argumen "buang-buang uang" adalah melihat transisi energi sebagai penggantian pembangkit satu-lawan-satu. Kenyataannya, ini adalah sebuah revolusi infrastruktur. Enam pergeseran besar sedang terjadi, termasuk "Elektrifikasi Segalanya" dan "Desentralisasi Energi".

Dunia sedang beralih dari sistem terpusat yang kaku menuju jaringan listrik pintar (smart grid) yang fleksibel dan terdigitalisasi, yang mampu mengelola jutaan sumber energi terdistribusi (DERs) seperti panel surya di atap dan baterai rumahan.

Biaya yang dikeluarkan hari ini bukanlah untuk menambal sistem lama, melainkan untuk membangun arsitektur sistem energi yang sepenuhnya baru untuk abad berikutnya walaupun memang membutuhkan cost yang lebih mahal.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, economic of scale yang terus bertumbuh dan akan menemukan titik efisiensinya dari waktu ke waktu. Hal ini akan memberikan penghematan bagi negara yang memakai energi terbarukan ini karena memiliki tim riset yang semakin canggih karena ketersediaan data dan juga teknologi yang juga bertumbuh.

Perhitungan Biaya Energi Hijau vs Energi Konvensional Batubara

Perhitungan di bawah ini adalah model ilustratif untuk menunjukkan konsep perbandingan DCF, bukan sebuah ramalan ekonomi yang presisi. Model ini menggunakan asumsi-asumsi yang didasarkan pada data yang telah kita bahas untuk memproyeksikan total biaya dari kedua skenario dalam nilai sekarang (present value).

Dasar asumsinya adalah menggunakan tingkat diskonto (Discount Rate) sebesar 4%. Ini adalah angka yang wajar untuk proyek infrastruktur publik jangka panjang di daerah seperti Jerman, yang mencerminkan biaya modal dan risiko.

Skenario 1: Biaya Energiewende Jerman

CAPEX (Investasi Awal): Total €482 miliar (jaringan + kompensasi) kita sebar secara merata selama 10 tahun pertama (€48,2 miliar per tahun). OPEX (Operasional): Setelah 10 tahun, biaya operasional diasumsikan €5 miliar per tahun untuk pemeliharaan. Tidak ada biaya bahan bakar & karbon.

Skenario 2: Biaya Energi Konvensional (Batu Bara)

CAPEX (Investasi Awal): Diasumsikan €10 miliar per tahun selama 5 tahun pertama untuk pemeliharaan dan perpanjangan usia pembangkit lama. OPEX (Operasional) berupa biaya bahan bakar yang mulai dari €20 miliar per tahun dan naik 2% setiap tahun karena inflasi, biaya karbon (EU ETS) yang mulai dari €25 miliar per tahun (berdasarkan harga ~€80/ton) dan naik 5% setiap tahun seiring pengetatan regulasi, dan biaya eksternal berupa biaya sosial akibat polusi sebesar kira-kira €4,5 miliar per tahun, diasumsikan tetap dan konstan.

Kalkulasi Perbandingan Biaya per Tahun (dalam Miliar Euro)

Tabel di bawah ini menunjukkan total biaya tahunan untuk setiap skenario dan nilainya setelah ditarik ke masa sekarang (Present Value - PV).

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |