Transformasi Ekonomi Syariah RI: Membaca SGIE 2025 di Era Krisis Dunia

7 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah riuhnya ketidakpastian global-perang, inflasi, gejolak harga pangan, dan perubahan iklim-ekonomi syariah tampil bukan hanya sebagai alternatif, tetapi sebagai solusi. Laporan terbaru State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2025 yang dirilis DinarStandard menegaskan kembali arah baru ekonomi global yang berpusat pada nilai-nilai keberlanjutan, keadilan, dan etika. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memegang posisi sentral dalam transformasi ini.

Namun, bagaimana posisi Indonesia dalam lanskap ekonomi syariah global saat ini? Apakah kita sudah melampaui simbolisme dan menuju substansi? Apakah Indonesia sedang menuju transformasi struktural atau hanya bersolek dengan pencitraan?

SGIE 2025 mengajak kita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu secara jujur dan strategis. Indonesia harus membaca laporan ini bukan sebagai daftar peringkat semata, tetapi sebagai peta jalan menuju cita-cita besar yaitu menjadi pusat ekonomi syariah dunia.

Indonesia kembali menempati peringkat ketiga dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025. Meski masih bertahan di tiga besar dunia, kinerja Indonesia belum merata di seluruh sektor industri halal.

SGIE mencatat, Indonesia unggul di sektor fesyen Muslim dengan menempati peringkat kedua dunia dan berada di posisi keempat untuk keuangan syariah. Namun, pada sektor makanan halal, kosmetik halal, serta media dan hiburan Muslim, Indonesia berada di posisi keenam. Sementara itu, untuk sektor obat-obatan halal, Indonesia hanya menempati peringkat kedelapan.

Dari sisi investasi, Indonesia mencatat capaian penting. Sepanjang 2023, Indonesia menjadi negara dengan nilai investasi halal tertinggi di dunia, yakni sebesar 1,6 miliar dolar AS dari 40 transaksi. Angka tersebut melampaui Uni Emirat Arab yang berada di posisi kedua dengan investasi sebesar 1,53 miliar dolar AS.

Transformasi ekonomi syariah tidak bisa dilakukan secara sektoral dan terpisah-pisah. Perlu pendekatan ekosistem terintegrasi, di mana semua sektor mulai dari keuangan, pangan, pendidikan, digital, hingga industri kreatif yang saling menopang dan memperkuat.

Indonesia telah memiliki ratusan lembaga keuangan syariah mulai dari Bank Umum Syariah, BPRS, asuransi syariah dan Lembaga keuangan syariah lainnya. Namun pangsa pasarnya masih baru mencapai 25,1% dari total industri keuangan nasional dengan kontribusi terbesar dari pasar modal syariah. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perlu reformasi menyeluruh mulai dari model bisnis, insentif regulasi, integrasi digital, hingga penguatan SDM.

Kehadiran Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) sudah menjadi titik awal penting, tetapi belum cukup. Transformasi keuangan syariah membutuhkan pendekatan inklusif yang mampu menyentuh pelaku UMKM, petani, nelayan, santri, dan kelas menengah urban. Digitalisasi berbasis fintech syariah, keuangan sosial Islam (zakat, wakaf, infaq, dan sedekah), serta pembiayaan mikro syariah harus diperkuat.

SGIE 2025 mencatat bahwa konsumsi global produk halal mencapai US$ 2,5 triliun, dan akan tumbuh menjadi US$ 3 triliun pada 2027. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi produsen utama, bukan sekadar pasar konsumen. Namun, penguatan sektor hulu (pertanian halal, peternakan, farmasi, dan logistik) masih lemah.

Transformasi memerlukan rantai pasok halal dari hulu ke hilir, yang didukung oleh sertifikasi halal yang cepat, murah, dan kredibel. Lembaga sertifikasi halal perlu menjadi mitra pemberdaya, bukan sekadar regulator.

Indonesia dapat menjadi rumah bagi ratusan startup fintech syariah dan platform halal lifestyle. Namun, ekosistemnya masih terpecah dan minim kolaborasi. Kunci transformasi terletak pada penguatan inovasi berbasis nilai-nilai Islam, bukan hanya label "syariah" semata. Dukungan pada halal tech, Islamic blockchain, dan digital zakat platform menjadi krusial di masa depan.

SGIE 2025 menyebutkan bahwa generasi muda Muslim dunia memiliki preferensi tinggi terhadap produk dan layanan yang etis, ramah lingkungan, dan spiritual. Indonesia harus mengambil posisi strategis sebagai pusat ekonomi digital syariah berbasis generasi muda.

Krisis global hari ini bukan hanya soal ekonomi. Ini adalah krisis nilai, krisis tata kelola, dan krisis keadilan. Dalam konteks itu, nilai-nilai ekonomi syariah menjadi sangat relevan yaitu keadilan sosial, keuangan etis, distribusi kekayaan, dan keberlanjutan lingkungan.

Ekonomi syariah menempatkan redistribusi sebagai jantung sistem: melalui zakat, wakaf, sedekah, dan infaq. Jika dikelola optimal, potensi zakat nasional bisa mencapai lebih dari Rp 327 triliun per tahun, tetapi realisasinya masih sekitar Rp 20 triliun.

Reformasi tata kelola keuangan sosial Islam menjadi bagian penting dalam transformasi ekonomi syariah Indonesia. Integrasi pengelolaan zakat dan wakaf dalam satu lembaga dapat menjadi salah satu titik transformasi yang krusial.

Dalam sistem syariah, uang bukan komoditas, tetapi alat tukar. Transaksi harus berbasis pada nilai riil, dan dilarang mengandung riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi). Di tengah krisis pasar global dan ketidakpastian geopolitik, sistem keuangan syariah menawarkan stabilitas berbasis prinsip berbagi risiko.

Syariah mengajarkan tawazun (keseimbangan), termasuk terhadap lingkungan. Dalam konteks krisis iklim dan rusaknya ekosistem global, prinsip green halal economy menjadi sangat relevan yaitu mulai dari pertanian organik, produk halal ramah lingkungan, hingga konsumsi moderat dan antipemborosan.

SGIE 2025 menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi terbesar untuk memimpin ekonomi syariah global. Namun, potensi tidak menjamin posisi, jika tidak dikelola dengan strategi yang konkret dan menyeluruh. Indonesia bisa menjadi "pemain utama", atau hanya menjadi "pasar besar" bagi negara lain jika tidak melakukan lompatan strategis.

Dalam transformasi ini, masih banyak tantangan struktural yang harus dihadapi. Tantangan pertama ialah rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah. Banyak masyarakat belum memahami prinsip dasar syariah seperti keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan. Produk syariah masih dianggap 'alternatif', bukan arus utama.

Infrastruktur sertifikasi halal yang belum merata menjadi tantangan berikutnya yang perlu dijawab. Sertifikasi masih dianggap rumit dan memakan waktu, khususnya bagi UMKM di daerah. Kondisi ini menunjukkan perlunya digitalisasi dan desentralisasi dalam proses sertifikasi.

Tantangan ketiga ialah berkenaan dengan kesenjangan regulasi dan kelembagaan. Koordinasi antarkementerian dan lembaga masih belum sepenuhnya selaras. Diperlukan satu peta jalan dan pusat komando ekonomi syariah nasional.

Tantangan selanjutnya ialah keterbatasan SDM unggul di bidang ekonomi syariah. Kurikulum perguruan tinggi belum seluruhnya adaptif terhadap tuntutan industri syariah global. Oleh karenanya perlu diperkuat dan dikembangkan program vokasi, riset, dan sertifikasi professional syariah.

Pemerintah perlu melakukan Langkah konkret yang dapat mengakselerasi dari peta jalan (roadmap) menjadi suatu hal yang dapat direalisasikan. Langkah pertama ialah dengan melakukan transformasi kelembagaan KNEKS menjadi Badan Pengembangan Ekonomi Syariah. Lembaga baru ini diharapkan akan dapat lebih fleksibel dan memiliki kewenangan penuh dalam melaksanakan programnya.

Langkah kedua ialah pentingnya integrasi kebijakan lintas sektor dan daerah. Saat ini pengembangan ekonomi syariah telah masuk dalam RPJPN dan RPJMN. Agar ekonomi syariah dapat berkembang lebih pesat maka harus masuk pula dalam RPJPD dan RPJMD di Tingkat daerah.

Seluruh pemangku kepentingan mulai dari Tingkat Kementerian sampai pemerintah daerah perlu menjadikan ekonomi syariah sebagai bagian dari strategi pembangunan daerah dan sektoral. Langkah ketiga ialah pemerintah perlu memberi insentif fiskal dan pembiayaan bagi pelaku UMKM syariah, startup halal, pesantrenpreneur, dan sektor industri halal.

Lembaga keuangan syariah harus didorong agar tidak hanya fokus pada sektor konsumtif, tetapi juga produktif dan berbasis ekspor. Langkah berikutnya ialah penguatan sumber daya manusia dan literasi syariah nasional. Ekonomi syariah tidak akan tumbuh tanpa SDM unggul. Perlu reformasi kurikulum ekonomi syariah di pendidikan tinggi, peningkatan pelatihan guru dan dosen, serta kampanye literasi syariah yang masif dan kreatif di masyarakat umum.

Langkah yang tak kalah pentingnya ialah digitalisasi dan inklusi ekonomi syariah. Ekosistem digital halal harus difasilitasi dan diinkubasi secara nasional, termasuk dengan membentuk Halal Innovation Hub, Wakaf Technopark, dan platform pembiayaan syariah berbasis komunitas. Ekonomi syariah harus terasa di desa, pasar tradisional, dan kampung santri. Sehingga ekonomi syariah dirasakan bukan hanya di pusat kota dan konferensi internasional.

Transformasi ekonomi syariah Indonesia tidak hanya tentang angka dan peringkat, tetapi tentang bagaimana prinsip keadilan, keberlanjutan, dan keberpihakan kepada yang lemah diterjemahkan ke dalam sistem yang nyata dan berfungsi. Indonesia memiliki semua modal untuk memimpin yaitu pasar besar, SDM kreatif, tradisi Islam yang moderat, dan dukungan politik. Namun, modal itu hanya akan menjadi sejarah potensial, jika tidak diubah menjadi strategi yang terukur dan kolaboratif.

Laporan SGIE 2025 memberi kita cermin, yaitu sejauh mana kita telah berjalan, dan sejauh mana kita harus berlari. Kini saatnya menjadikan transformasi ini sebagai gerakan nasional. Dari pasar menjadi produsen. Dari konsumen menjadi pemimpin. Dari peserta menjadi penentu arah.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |