Jakarta, CNBC Indonesia - Survei Future Health Index (FHI) 2025 dari Philips mencatat, 77% pasien Indonesia harus menunggu untuk mendapatkan layanan dokter spesialis. Angka ini jauh di atas rata-rata Asia Pasifik maupun global sebesar 73%.
Presiden Direktur Philips Indonesia, Astri Ramayanti Dharmawan mengatakan, tantangan kesehatan di Indonesia kini semakin kompleks, mulai dari beban layanan, kekurangan tenaga kesehatan, hingga minimnya integrasi data medis.
"Waktu tunggu rata-rata (temui dokter spesialis) mencapai 19 hari. Dampaknya, 45% pasien akhirnya harus dirawat karena kondisi terlanjur memburuk. Padahal, dengan penerapan teknologi digital seperti AI, hal ini bisa dicegah," ujar Astri dalam media briefing bertajuk "Building Trust in Healthcare AI" di Jakarta, Rabu (23/7/2025).
Survei ini juga mengungkap 62% tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia kehilangan waktu kerja klinis akibat data pasien yang tidak lengkap. Sebanyak 56% nakes mengaku kini lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas administratif dibandingkan merawat pasien.
Kendati begitu, 90% nakes Indonesia optimistis penggunaan teknologi khususnya kecerdasan buatan (AI), dapat membantu mereka dalam memberikan perawatan yang lebih tepat waktu dan akurat. Teknologi AI dinilai mampu mengotomatiskan tugas repetitif, memperpendek waktu tunggu pasien, serta meningkatkan efisiensi alur kerja.
"Jika kita tidak segera mengadopsi teknologi ini, ada potensi dampak seperti kelelahan nakes, kualitas perawatan menurun, dan meningkatnya jumlah pasien yang tertunda mendapat layanan," ujar Astri merujuk pada kekhawatiran profesional medis dalam survei tersebut.
Indonesia, kata Astri, juga mencatat 84% nakes dan 74% pasien di Indonesia menyatakan optimisme terhadap peran AI dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Ini angka yang melampaui rata-rata global.
Di sisi lain, sebanyak 54% pasien khawatir AI akan mengurangi waktu tatap muka mereka dengan dokter. Selain itu, 71% nakes juga belum sepenuhnya yakin karena belum adanya regulasi dan kejelasan hukum seputar tanggung jawab penggunaan AI dalam medis.
"Kepercayaan adalah kunci. Untuk itu, penerapan AI harus tetap menempatkan manusia sebagai pusat layanan, didukung kerangka regulasi yang jelas, dan kolaborasi lintas sektor," kata Astri.
Astri pun menyampaikan tiga pesan utama diantaranya penerapan teknologi harus mengedepankan pengalaman pasien, transformasi digital harus melibatkan banyak pihak, pemerintah, rumah sakit, komunitas medis, dan industri teknologi hingga regulasi dan pelatihan menjadi aspek krusial dalam memastikan adopsi AI berjalan etis dan efektif.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menkes Blak-Blakan: Hal Ini yang Bikin RI Krisis Dokter Spesialis