Jakarta, CNBC Indonesia- Harga telur di Amerika Serikat (AS) tengah melonjak akibat wabah flu burung yang memangkas pasokan. Pemerintah AS bahkan mulai mengimpor telur dari Korea Selatan dan Turki untuk menstabilkan harga, yang mencapai sekitar 10 sen per butir atau sekitar Rp 1.658 (Rp US$1=16.580).
Di tengah kondisi ini, Indonesia melihat peluang besar dengan rencana ekspor 1,6 juta butir telur per bulan ke Negeri Paman Sam. Namun, pertanyaannya, apakah stok dalam negeri cukup jika ekspor dilakukan?
Saat ini, produksi telur Indonesia terus meningkat, mencapai 6,34 juta ton pada 2024. Dengan jumlah penduduk sekitar 281 juta jiwa, sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS) rata-rata setiap orang mengonsumsi 5 butir telur per minggu gabungan antara telur ayam kampung dan ras yang setara dengan 260 butir per tahun per kapita. Atau 73 miliar butir telur untuk konsumsi telur RI di 2024.
Di Tanah Air sendiri,M. Arief Cahyono selaku Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementan menegaskan, harga telur tetap stabil dan stok terjaga, bahkan melimpah. Per hari kemarin, Selasa (25 Maret 2025), harga telur ayam ras nasional berada di angka Rp29.475 per kilogram (kg). Sementara itu, di Jakarta, harga telur lebih rendah dari rata-rata nasional, yakni Rp27.688 per kg.
"Seperti yang sudah disampaikan oleh Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, pemerintah terus menjaga stok dan harga komoditas pangan strategis, termasuk telur. Alhamdulillah, berkat kerja keras semua pihak, terutama petani dan peternak, pada Ramadan dan Lebaran kali ini, stok dan harga sembilan komoditas pangan strategis dalam kondisi aman, bahkan melimpah," kata Arief.
Jika Indonesia mengekspor 1,6 juta butir telur per bulan, maka dalam setahun jumlahnya akan mencapai 19,2 juta butir.
Dengan asumsi berat rata-rata satu telur 50 gram, total ekspor ini setara dengan 960.000 kg atau 960 ton. Dibandingkan dengan total produksi nasional, ekspor ini hanya sekitar 0,015% dari produksi nasional, sehingga dampaknya terhadap pasokan domestik relatif kecil.
Sebagai perbandingan, konsumsi telur AS jauh lebih besar. Rata-rata masyarakat AS mengonsumsi 281.000 butir per tahun, dengan total konsumsi nasional mencapai lebih dari 93 miliar butir. Dengan angka ini, kontribusi ekspor Indonesia masih sangat kecil dalam memenuhi kebutuhan AS yang terus meningkat akibat berkurangnya produksi domestik.
Meski demikian, langkah Indonesia mengekspor telur ke AS menunjukkan potensi besar dalam industri perunggasan nasional. Tahun lalu, ekspor telur RI mencapai lebih dari 3,18 juta KG, meskipun mayoritas masih dikirim ke Timor Leste dan Singapura. Sebagai catatan menarik, ekspor ke Timor Leste hanya sebesar 1.300kg, sementara sisanya mengalir ke Singapura.
Dengan semakin banyaknya negara yang bergantung pada impor, termasuk AS yang kini membuka pintunya bagi pemasok baru, peluang bagi Indonesia untuk menembus pasar global semakin besar.
Namun, tantangan tetap ada, terutama terkait regulasi ekspor ke AS yang terkenal ketat, mulai dari standar kebersihan hingga perizinan. Selain itu, persaingan juga semakin ketat dengan Turki yang telah lebih dulu mengekspor 15.000 ton telur ke AS. Jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam pasar ini, kesiapan industri dalam memenuhi standar internasional akan menjadi kunci utama.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)