Jakarta, CNBC Indonesia - Permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) kepada perusahaan bukanlah fenomena baru. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jakarta, Nurjaman mengungkapkan bahwa praktik ini sudah terjadi sejak era Orde Baru.
"Sudah lama, dari zaman Orde Baru ini juga sudah mulai ada. Cuman dulu itu sifatnya sukarela, tidak ada pemaksaan. Kalau iya, ya kasih, kalau enggak juga nggak apa-apa," kata Nurjaman kepada CNBC Indonesia, Minggu (23/3/2025).
Namun, ia menyoroti perbedaan yang signifikan antara tindakan Ormas di masa kini dengan masa Orde Baru. Dahulu, katanya, jumlah ormas masih terbatas dan cenderung lebih tertib. Setelah reformasi, jumlah ormas semakin banyak dan tidak terkendali.
"Dulu kan nggak begitu banyak. Kalau Ormas besar malah nyaris nggak pernah minta. Kayak NU (Nahdlatul Ulama) itu kan Ormas juga, cuman itu kan besar, nggak pernah ada minta yang besar-besar begitu. Ini Ormas kecil-kecil aja paling yang minta," tukasnya.
Nurjaman mengakui, permintaan THR oleh Ormas masih bisa diterima oleh pengusaha sebetulnya, hanya saja jika dilakukan dengan cara yang benar, misalnya dalam bentuk permohonan sukarela. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika ada unsur pemaksaan.
"Harusnya kalau permohonan, permintaan itu sifatnya sukarela. Jangan dipaksakan. Kalau sudah dipaksakan itu kan jadi hal yang nggak bener," ucap dia.
Pemaksaan ini, menurutnya, menimbulkan dampak psikologis yang buruk bagi dunia usaha. Perusahaan jadi merasa terpaksa memberikan, bukan karena niat baik, melainkan karena takut akan konsekuensi tertentu.
"Bukan masalah gede kecilnya yang diberikan, tetapi dampak psikologisnya yang harus dipertimbangkan. Itu yang menjadi pemikiran kita," kata Nurjaman.
(wur/wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Ormas "Tukang Palak" Bikin Resah, Presiden Minta Tidak Tegas
Next Article Bos Hotel Bongkar Modus Aksi Preman Ormas, Ini Paling Marak