Neraca Gas 2035: Surplus Menipis, Defisit Semakin Mendekat

5 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia pernah menjadi eksportir besar LNG, dengan kapal-kapal Bontang dan Tangguh yang hilir mudik mengangkut gas ke Jepang dan Korea Selatan. Namun, saat ini produksi menurun tajam hingga di bawah enam miliar kaki kubik per hari.

Kondisi itu disebabkan oleh sumur tua yang mulai lelah dan biaya eksplorasi laut dalam menjadi semakin mahal, terutama dengan juga mempertimbangkan adanya ketidakpastian harga domestik.

Sementara itu, permintaan gas terus meroket: PLN menyiapkan turbin gas sebagai cadangan saat energi terbarukan tidak mencukupi, industri pupuk kembali beroperasi, smelter nikel menuntut pasokan stabil, pusat data terus berjalan, dan ribuan rumah memasang jaringan gas baru.

Hasilnya terjadi jurang yang menakutkan: beberapa riset memperingatkan kemungkinan defisit 1 bcf hingga 2 bcf per hari pada tahun 2035, yang artinya Indonesia bisa berubah dari eksportir menjadi pembeli LNG.

Di saat global meluncurkan ekspansi besar-besaran, seperti Qatar North Field, Amerika Serikat, Mozambik, dan Kanada, Indonesia justru menghadapi dilema: bila bertindak cepat, impor LNG bisa dilakukan pada harga kompetitif sambil menjual surplus saat pasar premium. Namun pilihan itu membutuhkan reformasi fiskal untuk membuka blok laut dalam lewat skema bagi hasil yang lebih menarik.

Dalam hal infrastruktur, keberadaan Floating Storage Regasification Unit (FSRU) seperti di Cilamaya memberi contoh bagaimana fleksibilitas dapat menjadi aset strategis. Penambahan unit serupa di Belawan atau Benoa dapat memperlancar suplai ke wilayah yang membutuhkannya, dan bila ladang domestik produktif, FSRU bisa dipindah tanpa menjadi aset mangkrak.

Namun yang tidak kalah penting adalah menciptakan sistem harga tunggal yang jelas. Saat ini patokan gas diserang banyak formula: Brent untuk ekspor, JKM (Japan Korea Marker) Asia untuk spot LNG, harga domestik USD 6 per MMBtu untuk sektor strategis, bahkan harga "abu-abu" antarpulau.

Tanpa kesepakatan harga standar, investor, PLN, dan pelaku industri berjalan di kondisi yang berbeda-beda. Usulan indeks "JKM-ID" yang merupakan JKM Asia dikurangi biaya pengiriman dan regasifikasi ke Jawa bisa menjadi jalan keluar yang mendasar untuk memastikan kontrak jangka panjang bisa berjalan dengan kepastian harga.

Selain itu, reputasi gas Indonesia juga perlu dijaga. Emisi metana yang bocor jauh lebih buruk dibanding CO₂ dalam dua dekade pertama. Tanpa pemasangan teknologi penangkal seperti oksidasi katalitik dan turbin rendah emisi, LNG bisa dicap "kotor" oleh pasar global.

Indonesia tidak boleh mengulangi kesalahan sawit. Penalti emisi, diskon harga, dan bahkan boikot transaksi akan jauh lebih merugikan dibanding menyiapkan teknologi sejak awal. Di samping itu, dasar hukum seperti UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi, Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2022 tentang harga gas, serta Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Carbon Capture dan Storage (CCS), menjadi kerangka penting bagi pelaksanaan reformasi ini.

Pilihan ke depan tidak mudah, tetapi menunda sama sekali bukan sebuah pilihan. Tiap tahun defisit gas yang membesar berarti kenaikan impor, tekanan pada transaksi berjalan, dan beban subsidi yang bisa menggerus anggaran pendidikan atau kesehatan.

Sebaliknya, reformasi cepat yang meliputi revisi skema fiskal migas, kontrak portofolio berjangka, FSRU mobile, penerapan CCS sesuai PR 14/2024, serta pembentukan indeks harga seperti JKM-ID bisa membuat Indonesia tetap berdiri tegak di tengah gemuruh super-siklus LNG global: membeli saat murah, menjual saat pasar membayar mahal.

Yang terpenting, krisis ini membuka kesempatan jarang: menghasilkan sistem data terpadu yang transparan. Informasi produksi, konsumsi, ekspor, impor, serta emisi metana harus rutin dipublikasikan agar publik, investor, dan regulator membuat keputusan berdasarkan angka konkret, bukan sekadar perkiraan semata.

Gas Balance 2035 sejatinya bukan sekadar catatan teknis atau statistik. Hal ini adalah refleksi masa depan ketahanan energi Indonesia. Apakah kita akan menghadapi defisit dan subsidi yang makin berat, atau menjadi negara tangguh yang mampu mengelola surplus secara cerdas dan berkelanjutan?

Saat ini, kesempatan berada di tangan pembuat kebijakan. Mari bergerak cepat, menguatkan regulasi, menyelaraskan harga, dan membuka jalan bagi teknologi bersih. Dengan demikian, surplus gas tidak menguap menjadi risiko, melainkan menjadi fondasi bagi ketahanan energi, iklim, dan ekonomi Indonesia yang lebih kuat.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |