Menjembatani Kedermawanan dan Ketimpangan di Indonesia

1 week ago 6

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia telah lama dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan kedermawanan. Selama empat tahun berturut-turut, laporan World Giving Index menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia.

Masyarakatnya aktif berbagi, baik melalui donasi langsung, wakaf, maupun pembayaran zakat. Tradisi ini mengakar kuat dalam budaya dan ajaran keagamaan, menjadikan Indonesia sebagai contoh nyata solidaritas sosial.

Namun, ada ironi yang mencolok di balik prestasi ini. Meskipun semangat berbagi begitu tinggi, ketimpangan ekonomi tetap menjadi persoalan serius yang belum terselesaikan.

Sementara sebagian kecil elite menikmati kekayaan yang terus bertambah, jutaan rakyat Indonesia masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi zakat yang luar biasa besar. Menurut Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat di Indonesia mencapai Rp327 triliun per tahun.

Namun, angka ini masih jauh dari realisasi yang ada, di mana dana zakat yang berhasil dihimpun hanya sekitar Rp90 triliun. Kesenjangan ini mencerminkan betapa sistem pengelolaan zakat di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.

Di sisi lain, ketimpangan ekonomi terus melebar. Data menunjukkan bahwa kekayaan tiga orang terkaya di Indonesia meningkat hingga 174% dalam beberapa tahun terakhir, sementara di waktu yang sama, jutaan masyarakat tetap berada dalam kondisi miskin dan rentan.

Ekonom Islam terkemuka, Muhammad Umer Chapra, telah lama menekankan bahwa sistem ekonomi yang sehat membutuhkan distribusi kekayaan yang lebih adil. Dalam pandangan ekonomi Islam, zakat bukan hanya sekadar bentuk ibadah individu, tetapi juga instrumen ekonomi yang berperan dalam redistribusi kesejahteraan.

Jika dikelola dengan baik, zakat dapat menjadi alat untuk mempersempit kesenjangan sosial serta menciptakan keseimbangan ekonomi yang lebih inklusif. Sayangnya, di Indonesia, potensi besar ini masih belum mampu menjawab tantangan ketimpangan secara optimal.

Salah satu alasan utama mengapa zakat belum memberikan dampak maksimal dalam menekan ketimpangan adalah lemahnya tata kelola dan manajemen distribusi dana zakat. Saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat masih relatif rendah.

Banyak individu lebih memilih menyalurkan zakat mereka secara langsung kepada penerima manfaat, dibandingkan mempercayakannya kepada lembaga resmi. Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan bahwa institusi zakat kurang transparan dan belum cukup profesional dalam mengelola dana umat.

Selain itu, sebagian besar dana zakat yang terkumpul lebih sering digunakan untuk bantuan konsumtif jangka pendek, seperti santunan atau bantuan tunai, daripada program pemberdayaan yang bersifat jangka panjang. Akibatnya, zakat hanya menjadi solusi sementara dan tidak memberikan dampak yang berkelanjutan dalam mengangkat mustahik (penerima zakat) keluar dari lingkaran kemiskinan.

Fragmentasi kelembagaan juga menjadi tantangan besar dalam sistem pengelolaan zakat di Indonesia. Terlalu banyak lembaga zakat yang beroperasi tanpa koordinasi yang efektif, sehingga distribusi dana menjadi tidak efisien dan sering kali tumpang tindih.

Di beberapa daerah, program zakat yang dijalankan oleh satu lembaga bisa saja bertabrakan dengan program dari lembaga lain, sementara di daerah lain justru kekurangan intervensi yang memadai. Ketidakseimbangan ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan zakat perlu reformasi menyeluruh agar dapat berjalan lebih efektif dan tepat sasaran.

Untuk menjawab tantangan ini, Indonesia perlu melakukan modernisasi dalam tata kelola zakat agar lebih profesional dan transparan. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan standar audit keuangan dan syariah pada setiap lembaga pengelola zakat.

Dengan adanya mekanisme pengawasan yang lebih ketat, kepercayaan publik terhadap lembaga zakat dapat meningkat, sehingga penghimpunan dana zakat bisa lebih maksimal. Selain itu, modernisasi dalam pengelolaan zakat juga mencakup penggunaan teknologi digital.

Dengan sistem digital yang terintegrasi, pengumpulan, distribusi, serta pelaporan zakat dapat dilakukan secara lebih transparan dan efisien, memudahkan masyarakat untuk melihat langsung bagaimana dana mereka digunakan.

Lebih dari sekadar transparansi, reformasi zakat di Indonesia juga perlu berfokus pada perubahan paradigma distribusi zakat. Selama ini, mayoritas zakat diberikan dalam bentuk bantuan konsumtif yang hanya bersifat sementara.

Padahal, untuk menciptakan dampak yang lebih besar, zakat perlu diarahkan ke program pemberdayaan ekonomi. Model zakat produktif, yang mengalokasikan dana untuk pengembangan usaha kecil, pelatihan keterampilan, atau program ekonomi berbasis komunitas, terbukti lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan.

Beberapa negara telah berhasil menerapkan sistem zakat produktif dengan baik. Lembaga Zakat Selangor (LZS) di Malaysia, misalnya, berhasil mengurangi tingkat kemiskinan di Selangor dari 3,2% pada 2010 menjadi 1,7% pada 2020 melalui program zakat berbasis pemberdayaan ekonomi.

Di Indonesia sendiri, BAZNAS melalui Zakat Community Development (ZCD) telah menunjukkan bagaimana model zakat produktif dapat mengubah kehidupan mustahik. Dalam lima tahun terakhir, program ini telah memberdayakan 607 desa dengan total penerima manfaat mencapai 1,2 juta orang.

Menariknya, sekitar 43% mustahik yang sebelumnya menerima zakat kini telah bertransformasi menjadi muzakki (pemberi zakat). Keberhasilan ini membuktikan bahwa dengan sistem pengelolaan yang lebih baik, zakat dapat menjadi katalis bagi perubahan sosial yang lebih luas.

Selain modernisasi dan pergeseran ke zakat produktif, reformasi zakat juga membutuhkan sistem pengukuran dampak yang lebih komprehensif. Saat ini, banyak lembaga zakat yang belum memiliki indikator kinerja yang jelas dalam menilai efektivitas program mereka.

Tanpa sistem evaluasi yang kuat, sulit untuk mengetahui apakah zakat benar-benar memberikan manfaat yang maksimal bagi penerima. Oleh karena itu, lembaga zakat di Indonesia perlu menerapkan standar pengukuran dampak sosial-ekonomi yang lebih jelas, termasuk evaluasi berkala terhadap program-program yang dijalankan.

Pada akhirnya, reformasi dalam sistem pengelolaan zakat bukan hanya sekadar upaya administratif, tetapi juga merupakan langkah strategis dalam membangun keadilan sosial dan ekonomi di Indonesia.

Seperti yang diungkapkan oleh Chapra, zakat bukan hanya rukun Islam, tetapi juga fondasi ekonomi yang berkeadilan. Indonesia tidak boleh berhenti hanya sebagai negara yang dermawan, tetapi harus berkembang menjadi negara yang mampu mengelola kedermawanan ini untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata.

Dengan reformasi institusional yang menyeluruh, modernisasi tata kelola, dan fokus pada pemberdayaan ekonomi, zakat bisa menjadi solusi nyata untuk menjembatani paradoks antara kedermawanan yang tinggi dan ketimpangan yang masih menganga.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |