Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sejumlah lembaga pemeringkat global seperti Fitch Ratings mempertahankan peringkat sovereign debt rating Indonesia pada tingkat BBB dengan outlook stabil. Sementara Moody's Ratings memperkokoh sovereign debt rating Indonesia pada peringkat BAA2 dengan outlook stabil.
Masih disematkannya peringkat BBB maupun BAA2 sesungguhnya merupakan tantangan sebab ekonomi Indonesia menghadapi gejolak yang sebagian disebabkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia sendiri yang tidak dipandang positif oleh para pelaku pasar. Kebijakan pemotongan anggaran, pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara, dan program Makan Bergizi Gratis ialah sejumlah isu yang mendapat sorotan negatif dari para pemain ekonomi.
Credit rating yang dilekatkan pada Indonesia membuat negeri ini masih tergolong investment grade sehingga biaya utang akan lebih murah bila dibandingkan dengan negara lain yang diberi peringkat non-investment grade. Biaya utang yang murah selalu menjadi harapan pemerintah di tengah besarnya kebutuhan dana bagi APBN, sementara di sisi lain pendapatan pajak dan non pajak masih belum dapat memenuhi semua kebutuhan dana tersebut.
Di samping mendapatkan dana segar lewat penjualan Surat Utang Negara di pasar modal, pemerintah juga menerima dana lewat pinjaman dari lembaga keuangan dalam negeri dan luar negeri. Skema yang terakhir disebut dikenal sebagai Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dan Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang digunakan untuk membiayai kegiatan belanja sejumlah kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Pertahanan.
Seperti diketahui, Kementerian Pertahanan sejak 2024 sampai hari ini masih menghadapi tantangan untuk menyelesaikan semua aspek terkait sekitar 60 kontrak akuisisi sistem senjata. Isu utama yang melingkupi ialah tidak tersedia kapasitas fiskal pemerintah untuk mendukung kontrak-kontrak tersebut memasuki tahap efektif.
Kenaikan tajam alokasi PLN selama periode MEF 2020-2024 tidak diikuti dengan peningkatan kapasitas fiskal pemerintah untuk mendukung kenaikan tersebut. Situasi menjadi lebih menantang saat pemerintah Presiden Prabowo Subianto melakukan pemotongan anggaran semua K/L pada tahun fiskal 2025 senilai Rp 308 triliun, selain pemotongan anggaran BA BUN sebesar Rp 300 triliun.
Antara Januari 2025 sampai Maret 2025, Kementerian Keuangan sudah melaksanakan penandatanganan beberapa loan agreement untuk program pengadaan sistem senjata milik Kementerian Pertahanan. Akan tetapi mengacu pada DIPA Kementerian Pertahanan revisi kedua, tidak tersedia alokasi dana Rupiah Murni Pendamping (RMP) guna mendukung sejumlah kontrak tersebut.
Dengan kata lain, kecil kemungkinan semua kontrak itu dapat memasuki fase efektif tahun ini kecuali terdapat kebijakan untuk mengalokasikan RMP pada bulan-bulan ke depan. Tentu menjadi pertanyaan pula dari mana sumber RMP tersebut, apakah pengalihan alokasi anggaran program-program lain ataukah berasal dari BA BUN?
Beberapa waktu lalu terdapat kebijakan baru terkait PLN untuk akuisisi sistem senjata yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan, yakni dibolehkannya skema pembiayaan 100 persen oleh lender dengan catatan mempertimbangkan resiko yang mungkin tercipta.
Sebagaimana dipahami, selama ini kebijakan yang dianut untuk pembiayaan program yang didanai oleh PLN adalah 85 persen berasal dari lender dan 15 persen bersumber dari Rupiah Murni. Akan tetapi penting untuk diketahui bahwa dibukanya peluang skema pembiayaan 100 persen dari lender akan ditentukan pula oleh apakah lender setuju dengan skema demikian atau tidak.
Di samping itu, apakah Kementerian Keuangan sepakat dengan syarat dan ketentuan yang diajukan oleh lender saat negosiasi loan agreement seperti tenor, suku bunga, commitment fee, management fee, biaya asuransi dan lain-lain.
Kebijakan yang memperbolehkan skema pembiayaan 100 persen oleh lender hanya mencakup kontrak-kontrak pengadaan sistem senjata yang sampai saat ini belum memiliki loan agreement. Adapun bagi kontrak yang telah mempunyai loan agreement masih tetap mengacu pada kebijakan sebelumnya, yaitu pemerintah harus menyediakan RMP senilai 15 persen dari total besaran kontrak.
Tentu masih menjadi pertanyaan apakah lebih dari 50 kontrak yang hingga kini belum mendapatkan loan agreement dapat menerapkan kebijakan pembiayaan 100 persen oleh lender atau tidak.
Satu hal penting yang hendaknya digarisbawahi dengan kebijakan tersebut adalah meningkatnya jumlah utang luar negeri dibandingkan proyeksi sebelumnya, di mana tambahan 15 persen yang harus ditanggung oleh lender jumlahnya tidak sedikit mengingat jumlah kontrak yang belum menerima loan agreement cukup banyak.
Jika pemerintah ingin mengurangi resiko peningkatan utang luar negeri gara-gara kebijakan pembiayaan 100 persen oleh lender, salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan dan ditempuh adalah tidak semua kontrak akuisisi sistem senjata yang belum mempunyai loan agreement diaktivasi menjadi kontrak efektif.
Dengan kata lain, akan terdapat sejumlah kontrak yang default karena pertimbangan kapasitas fiskal pemerintah. Perlu dipertimbangkan pula tentang bagaimana kapasitas fiskal pemerintah hingga akhir dekade ini guna membiayai pengadaan sistem senjata pada tempo 2025-2029.
Kalau pemerintah terlalu fokus untuk membiayai semua program MEF 2020-2024 yang kontraknya belum efektif, terdapat kekhawatiran bahwa kapasitas fiskal ke depan untuk mendanai program modernisasi pertahanan akan semakin sempit mengingat kondisi ekonomi global dan nasional yang penuh tantangan, termasuk kemungkinan penurunan pendapatan pemerintah dari pajak dan non pajak.
Penting untuk dicatat bahwa salah satu program prioritas Kementerian Pertahanan sampai 2029 ialah pembentukan 100 batalyon teritorial pembangunan yang memerlukan pula pendanaan yang cukup besar. Terlepas bahwa program pembelian sistem senjata mempunyai pos anggaran yang berbeda dengan pos anggaran untuk mendukung pembentukan batalyon teritorial pembangunan, hendaknya diingat bahwa semua anggaran tersebut berasal dari alokasi APBN Kementerian Pertahanan.
Tidak boleh dilupakan pula bahwa persetujuan Kementerian Keuangan atas permohonan Kementerian Pertahanan pada tahun lalu yang meminta perubahan skema pembiayaan PLN dari Lembaga Pembiayaan Kredit Ekspor (LPKE) menjadi Kreditur Swasta Asing (KSA) untuk sejumlah program terkait pengadaan dari Turki memiliki implikasi langsung kepada anggaran Kementerian Pertahanan pada tahun-tahun mendatang.
Berbeda dengan skema LPKE yang memiliki grace period utang, skema KSA tidak mempunyai grace period utang sehingga utang yang sudah ditarik harus disegerakan pembayaran cicilannya.
Bertolak belakang dengan harapan sejumlah pihak pada tahun lalu, kondisi saat ini menunjukkan bahwa program modernisasi pertahanan melalui akuisisi sistem senjata bukan prioritas utama pemerintah sebagaimana dicerminkan oleh APBN 2025, terlepas bahwa Kementerian Pertahanan merupakan penerima alokasi APBN terbesar.
Dihadapkan pada kondisi demikian, Kementerian Pertahanan hendaknya menetapkan skala prioritas antara menyelesaikan program-program MEF 2020-2024 dan merencanakan pembiayaan program pembangunan kekuatan pertahanan periode 2025-2029. Penetapan skala prioritas hendaknya dilakukan mengingat kondisi fiskal pemerintah ke depan masih sukar untuk ditebak yang disebabkan oleh situasi ekonomi internasional dan domestik yang masih penuh dengan tantangan.
(miq/miq)