Jakarta, CNBC Indonesia - Bank terbesar di Asia Tenggara, DBS menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terdampak oleh sentimen global dan domestik. DBS pun akan melakukan penilaian kembali atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% pada 2025 yang kini menghadapi risiko penurunan moderat.
Seperti yang diketahui, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia melambat ke level 4,85% pada kuartal I-2025, dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yakni sebesar 5%. Salah satu penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional adalah konsumsi domestik yang melemah. Terbukti, konsumsi pemerintah turun 1,2% year on year (yoy) pada kuartal I-2025, dibandingkan dengan kuartal I-2024 yang mana konsumsi pemerintah tumbuh 20% yoy berkat adanya Pemilu.
Dari sisi global, kebijakan kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan memicu perang dagang, sehingga turut memengaruhi kondisi ekonomi global dan nasional. Ditambah lagi, pasar juga dihantui oleh kebijakan imigrasi dan upaya Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) AS yang memangkas jumlah pegawai federal, sehingga mengurangi kepercayaan konsumen dan memicu risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Kendati mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, DBS menilai Indonesia tetap berpeluang bangkit seiring potensi optimalisasi penanaman modal asing (FDI) serta pemanfaatan ekspor dan konfigurasi ulang Tiongkok+1. Terlebih lagi, di tengah persaingan global yang memanas, Presiden Prabowo Subianto menggarisbawahi pentingnya tetap 'tidak berpihak', tetapi mempertahankan keterkaitan dengan semua mitra global utamanya.
"Di bawah pemerintahan yang baru, DBS Group Research berharap aktivitas perdagangan dan investasi akan menerima dorongan baru untuk memanfaatkan konfigurasi ulang rantai pasokan yang sedang berlangsung, yang didorong oleh pertimbangan Tiongkok+1," ungkap laporan DBS yang berjudul "Tren Ekonomi Indonesia di Kuartal Pertama 2025: Antara Dorongan Pertumbuhan dan Tantangan Fiskal," dikutip Sabtu (9/5/2025).
Seperti yang diketahui, pangsa Indonesia dalam ekspor global telah meningkat paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya antara tahun 2018 dan 2022-2023. Peningkatan ini khususnya terjadi pada sebagian besar sektor komoditas, selain bahan kimia, pulp dan kertas, produsen kayu, barang pertanian, tekstil, dan makanan laut.
Berkaca dari situ, tidak heran jika Indonesia telah secara aktif terus mengejar hilirisasi berbagai komoditas untuk memangkas kerentanannya terhadap perubahan harga di pasar global. Hilirisasi ini juga dilakukan untuk menarik nama-nama mapan agar dapat menaikkan rantai nilai dan meningkatkan ekspor versi olahan dari sumber daya alam. Kinerja ekspor (22% dari PDB) Indonesia pun terkait erat dengan siklus komoditas.
"Analisis kami tentang pertumbuhan ekspor masa lalu vis-à-vis harga komoditas (menggunakan Indeks CRB Komoditas FTSE/Inti sebagai proxy) menunjukkan korelasi yang erat antara keduanya," ungkap DBS Group Research.
DBS Group Research juga memaparkan, pertumbuhan konsumsi dan sumber daya manusia juga terus terjadi. Indonesia terus menikmati keuntungan dari dividen demografis, bahkan ketika negara-negara tetangganya menghadapi penurunan jumlah penduduk usia kerja dan meningkatnya usia harapan hidup, sehingga menghasilkan masyarakat menua dengan cepat.
Sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar di kawasan ASEAN, Indonesia telah diuntungkan oleh model pertumbuhan yang didorong oleh konsumsi. Selain kuantitas, pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas angkatan kerja.
Sementara itu, dari sisi investasi modal dan rasionalisasi fiskal pada 2023, belanja modal oleh pemerintah tercatat lebih tinggi dibandingkan subsidi. Hal ini menandai perubahan yang signifikan dari awal tahun 2010-an ketika subsidi hampir dua kali lipat dari belanja modal, dan hampir dua kali lipat dari pencairan modal. Upaya rasionalisasi subsidi selanjutnya telah membantu menahan total tagihan subsidi sejak 2015-2017.
"Seiring dengan membaiknya bauran pengeluaran, fokus juga kemungkinan akan bergeser ke kualitas belanja. Untuk saat ini, proporsi belanja modal relatif kecil dibandingkan dengan belanja pendapatan (material, pegawai, bunga pembayaran bunga, subsidi, dll.). Pengeluaran untuk pengembangan yang lebih tinggi diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produktif ekonomi dan menarik minat investor," pungkas laporan tersebut.
(dpu/dpu)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Efek Trump, Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 Dipangkas
Next Article Video: Pilihan Instrumen Investasi Saat Ekonomi Tengah Bergejolak