Dari Sawah ke Susu, RI Kalah di Semua Meja Makan Dunia

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia- Dunia hari ini memperingati Hari Pangan Sedunia yang jatuh setiap 16 Oktober, sekaligus menandai usia ke-80 tahun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). Tema tahun ini, "Hand in Hand for Better Foods and a Better Future," menyerukan kolaborasi global untuk menciptakan masa depan pangan yang adil, sehat, dan berkelanjutan.

Namun kenyataan yang tidak seindah idealisme.

Dalam dunia yang semakin rentan terhadap krisis iklim dan geopolitik, hanya satu negara di planet ini yang benar-benar mencapai swasembada pangan penuh: Guyana.

Guyana, Satu-Satunya Negara yang Mampu Memberi Makan Dirinya Sendiri

Laporan yang diterbitkan dalam jurnal Nature Food oleh tim peneliti dari Universitas Göttingen (Jerman) dan Universitas Edinburgh (Skotlandia) menunjukkan bahwa dari 186 negara yang diteliti, hanya Guyana yang berhasil memenuhi kebutuhan pangan penduduknya di tujuh kategori utama: buah, sayur, kacang-kacangan, biji-bijian, daging, ikan, dan susu.

Guyana mencapai skor 100% di seluruh kategori, menandakan kemandirian pangan total. Letaknya yang subur di dataran aluvial Sungai Demerara dan Essequibo menciptakan panen berlimpah sepanjang tahun. Dengan populasi hanya sekitar 900 ribu jiwa, produksi padi, umbi-umbian, dan perikanan air tawar mereka jauh melebihi kebutuhan domestik.

Sementara itu, negara-negara besar seperti China dan Vietnam menempati peringkat kedua dan ketiga, dengan kemampuan memenuhi enam dari tujuh kelompok makanan utama. Keduanya unggul pada kategori biji-bijian, daging, dan ikan, namun masih defisit pada produk susu-komoditas yang masih menjadi tantangan di sebagian besar Asia.

Posisi Indonesia: Kuat di Ikan dan Buah, Lemah di Susu dan Daging

Di tengah daftar panjang tersebut, posisi Indonesia cukup mengejutkan. Berdasarkan penelitian yang sama, Indonesia mampu mencapai swasembada dalam empat dari tujuh kelompok pangan utama, yakni buah, kacang-kacangan, biji-bijian berpati, dan ikan.

Artinya, Indonesia sudah mampu memproduksi lebih banyak buah dan ikan daripada kebutuhan dalam negerinya. Namun pada komoditas susu dan daging, ketergantungan impor masih sangat tinggi. Defisit paling mencolok terjadi di kategori susu, di mana tingkat swasembada tercatat 0%.

Kondisi ini mengonfirmasi realitas yang juga disorot oleh FAO dalam laporan tahunan State of Food Security 2025: negara tropis berpenduduk besar seperti Indonesia menghadapi "jebakan struktural" dalam produksi pangan, di mana peningkatan hasil di satu komoditas kerap diimbangi oleh defisit di komoditas lain.

Faktor Penghambat

Mengapa sulit mencapai swasembada penuh? Para peneliti menilai faktor utamanya bukan sekadar produktivitas, tetapi juga struktur ekonomi dan demografi. Dengan populasi hampir 280 juta jiwa, permintaan pangan domestik Indonesia sangat besar dan terus tumbuh.

Di sisi lain, alih fungsi lahan pertanian ke sektor non-pangan meningkat setiap tahun, terutama di Pulau Jawa. BPS mencatat lebih dari 90 ribu hektare sawah beralih fungsi selama tiga tahun terakhir. Produksi memang tetap tinggi di musim panen, tetapi tidak mampu menutup kebutuhan sepanjang tahun karena distribusi yang timpang antarwilayah.

Selain itu, ketergantungan terhadap bahan baku impor untuk pakan ternak dan susu membuat sektor peternakan sulit berkembang. Harga susu impor yang relatif murah juga membuat produksi domestik tidak kompetitif, sehingga industri hilir lebih memilih bahan baku dari Australia atau Selandia Baru.

Kelemahan Indonesia dalam komoditas susu bukan kasus tunggal. Mayoritas negara Asia menghadapi masalah serupa. Dalam laporan yang sama, Vietnam hanya mencapai 14%, China 29%, dan Filipina 0% dalam swasembada susu. Produk susu dan keju masih dianggap sebagai barang mewah di banyak negara Asia Tenggara.

Namun menariknya, negara seperti Myanmar justru menunjukkan kinerja yang seimbang, mencapai empat dari tujuh kelompok pangan dengan tingkat swasembada tinggi di biji-bijian dan ikan, meski dari basis ekonomi yang jauh lebih kecil dibanding Indonesia.

Dalam semangat Hari Pangan Sedunia, temuan ini seolah menjadi cermin bagi Indonesia. Meskipun secara statistik Indonesia masuk dalam "klub empat kelompok pangan" bersama Myanmar dan Thailand, kemandirian pangan sejati masih jauh dari tercapai.

Kemandirian tidak hanya diukur dari kemampuan memproduksi, tetapi juga keberlanjutan sistem pangan, mulai dari efisiensi distribusi, perlindungan petani, hingga diversifikasi konsumsi masyarakat.

Sebagaimana diingatkan FAO, dunia kini menghadapi kelimpahan pangan di satu sisi, kelaparan di sisi lain. Sekitar 673 juta orang di dunia masih hidup dalam kelaparan, sementara sampah makanan meningkat di negara maju. Dalam konteks ini, Indonesia perlu membangun sistem pangan yang tidak hanya produktif, tetapi juga adaptif terhadap perubahan iklim dan adil bagi petani.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |