Catatan 1 Tahun PP 47/2024: Menuju Sistem Ekonomi Rakyat yang Tangguh

5 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Genap setahun sejak pemerintah merilis Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Negara terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Kebijakan ini mencakup petani, nelayan, hingga pelaku usaha kecil lain yang selama bertahun-tahun hidup dalam tekanan utang macet dan ketidakpastian ekonomi pascapandemi Covid-19.

Kebijakan ini lahir dari kesadaran sebagian besar pelaku usaha rakyat bukanlah spekulan, melainkan kelompok produktif yang terjebak dalam siklus bertahan hidup. Kini, setelah setahun berjalan, PP 47/2024 bukan hanya menjadi catatan administratif, tetapi simbol nyata keberpihakan negara terhadap ekonomi rakyat.

Negara tidak sekadar menghapus angka di neraca, tetapi memulihkan kepercayaan dan martabat kelompok kecil yang selama ini terpinggirkan. Namun, sebagaimana kebijakan berani lainnya, muncul pertanyaan lanjutan: apakah keringanan ini menjadi titik awal perubahan, atau hanya memberi napas sementara?

Bagi sebagian besar petani dan nelayan di Indonesia, utang bukan alat untuk memperbesar usaha, melainkan jalan bertahan hidup. Mereka berutang untuk membeli pupuk saat harga panen jatuh, atau meminjam demi membeli bahan bakar di musim tangkapan rendah.

Dalam situasi seperti itu, utang menjadi persoalan eksistensial yang menyangkut keberlanjutan hidup keluarga, bukan hanya sekadar hitungan finansial. Oleh karena itu, kebijakan penghapusan utang tidak semestinya dilihat sebagai kebijakan fiskal semata, melainkan bagian dari kebijakan pembangunan manusia. Ia hadir untuk memulihkan daya hidup pelaku usaha kecil, serta membuka peluang bagi mereka untuk bangkit.

Namun, negara harus hati-hati agar tidak terpleset pada euforia kebijakan populis yang hanya memadamkan gejala tanpa menyembuhkan akar masalah. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa penghapusan hanyalah sebagai langkah awal untuk perbaikan. Tanpa reformasi kelembagaan dan pembiayaan produktif yang berkelanjutan, beban yang dihapus hari ini bisa tumbuh kembali di masa depan.

Memang, kebijakan ini memilik dampak positiif yang langsung terasa secara nyata. Di antara lain, pertama, dengan berkurangnya tekanan utang lama, petani dan peternak kecil dapat memfokuskan sumber daya pada kegiatan produksi seperti pembelian benih, pakan, atau perawatan ternak dan lahan mereka.

Kedua, PP 47/2024 membuka kembali akses pembiayaan formal. Setelah piutang macet dihapus, debitur yang sebelumnya "terblacklist" di sistem kredit kini dapat kembali mengakses pinjaman baru. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa pencatatan di SLIK dapat dihapus dan dianggap lunas melalui mekanisme ini.

Ketiga, kebijakan ini mendorong stabilitas produksi pangan. Sektor pertanian dan peternakan merupakan tulang punggung ketahanan pangan nasional. Ketika petani dan peternak terbebas dari beban finansial, mereka lebih leluasa berproduksi dan berinovasi.

Keempat, dengan membersihkan kredit macet yang "mati", sistem perbankan menjadi lebih efisien dan dapat menyalurkan dana kepada pelaku usaha yang produktif. Kelima, dampak psikologisnya besar: kebijakan ini menumbuhkan rasa percaya antara negara dan rakyat, mengembalikan keyakinan bahwa pemerintah hadir melindungi kelompok rentan dan produktif.

Namun, di balik manfaat tersebut, sejumlah tantangan patut dicermati. Risiko moral hazard menjadi yang paling menonjol. Jika pelaku usaha berasumsi bahwa utang macet akan kembali dihapus di masa depan, muncul potensi perilaku kurang disiplin dalam pembayaran.

PP 47/2024 memang memuat kriteria ketat untuk mencegah hal ini, tetapi pengawasan implementasinya tetap krusial. Beban fiskal perlu menjadi perhatian. Setiap utang yang dihapus berarti ada kerugian yang ditanggung negara atau lembaga keuangan. Tanpa mitigasi yang baik, kebijakan ini bisa menekan ruang fiskal dan mengganggu stabilitas lembaga pembiayaan.

Selain itu, tidak semua petani atau nelayan memenuhi syarat. PP 47/2024 mensyaratkan bahwa piutang yang dapat dihapus harus sudah "dihapusbukukan" minimal lima tahun atau memenuhi kriteria tertentu. Kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), misalnya, tidak termasuk dalam cakupan kebijakan ini.

Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa tantangan-tantangan ini bukan hal baru. India pada 2008 menghapus sebagian besar utang petani untuk mendorong produksi. Awalnya berhasil, daya beli meningkat dan produktivitas melonjak. Namun beberapa tahun kemudian, muncul efek moral hazard, banyak petani menunda pembayaran pinjaman baru dengan harapan ada penghapusan berikutnya.

Thailand mengalami pola serupa, penundaan kewajiban pembayaran yang terus diulang membuat beban lama memang hilang, tetapi utang baru segera muncul menggantikannya. Dari dua pengalaman itu, Indonesia bisa belajar bahwa penghapusan utang memang dapat menjadi "obat penenang" jangka pendek, tetapi tanpa perubahan struktural ia mudah kehilangan daya sembuh.

Laporan Asian Development Bank (ADB) menegaskan, "Debt relief can be lifesaving, but without structural reform, it remains temporary." Dengan kata lain, kelegaan fiskal perlu diikuti pembenahan kelembagaan, literasi keuangan, dan mekanisme pembiayaan produktif agar bantuan ini benar-benar menumbuhkan daya rakyat, bukan sekadar menunda beban.

Pelajaran tersebut penting bagi Indonesia. Penghapusan utang perlu diikuti tiga agenda besar. Pertama, integrasi data lintas lembaga, antara perbankan, penyuluh, dan bantuan sosial. Hal ini agar penerima manfaat tepat sasaran.

Kedua, fokus pasca-penghapusan harus bergeser dari keringanan menuju ketahanan melalui skema pembiayaan berbasis hasil panen atau revenue-based repayment. Ketiga, penguatan kelembagaan keuangan desa seperti koperasi dan BPR diperlukan untuk menciptakan akses pembiayaan yang lebih adil dan berbasis kepercayaan sosial.

Setahun setelah PP 47/2024 diberlakukan, publik sebaiknya melihatnya bukan hanya sebagai kebijakan penghapusan utang, tetapi sebagai fondasi reformasi ekonomi rakyat. Pemerintah layak diapresiasi karena berani mengambil langkah konkret menghadirkan keadilan sosial bagi kelompok produktif yang selama ini terpinggirkan.

Namun pekerjaan besar masih menanti: memastikan agar kebijakan ini tidak berhenti sebagai keringanan sementara, tetapi menjadi awal dari sistem ekonomi rakyat yang tangguh dan berdaya.

Menghapus utang memang menghapus sebagian beban, tetapi membangun daya rakyat adalah kemenangan yang sesungguhnya. Dengan keberlanjutan pembiayaan, pendampingan usaha, dan tata kelola fiskal yang sehat, PP 47/2024 dapat dikenang bukan hanya sebagai kebijakan keringanan, melainkan sebagai fondasi menuju ketahanan ekonomi rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |