Jakarta, CNBC Indonesia- Produksi lada Indonesia terus menurun dalam dua dekade terakhir, sementara impor justru menunjukkan tren meningkat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Tanaman Perkebunan Tahunan Indonesia 2024, luas areal lada nasional pada 2024 tercatat hanya 152.141 hektare, turun tajam 25% dari 204.364 hektare pada 2003. Produksi pun merosot dari 90.740 ton pada 2003 menjadi 58.897 ton pada 2024. Penurunan ini menandakan adanya tekanan struktural pada industri lada nasional-baik dari sisi produktivitas, regenerasi petani, maupun daya saing ekspor.
Kementerian Pertanian mencatat, seluruh produksi lada Indonesia berasal dari perkebunan rakyat, tanpa kontribusi dari sektor besar swasta. Artinya, rantai produksi lada masih didominasi petani kecil yang bergantung pada harga pasar global dan kondisi cuaca. Ketika harga jatuh, banyak petani memilih beralih ke komoditas lain seperti sawit atau karet yang lebih stabil secara ekonomi.
Secara spasial, dua provinsi utama penghasil lada di Indonesia adalah Lampung dan Bangka Belitung. Lampung mencatat produksi 15.791 ton atau 26,8% dari total nasional, disusul Bangka Belitung dengan 12.009 ton atau 20,3%. Kedua wilayah ini menjadi tulang punggung produksi lada nasional. Namun, keduanya pun mengalami penurunan areal tanam: Bangka Belitung misalnya, turun dari 38.684 hektare pada 2023 menjadi hanya 28.097 hektare pada 2024.
Selain Lampung dan Bangka Belitung, beberapa provinsi lain seperti Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara juga berperan penting, dengan produksi masing-masing mencapai 6.216 ton dan 5.267 ton pada 2024. Meski demikian, kontribusi luar Sumatera masih relatif kecil, menandakan sentralisasi produksi lada di wilayah barat Indonesia.
Jika dibandingkan antar tahun, produktivitas lada nasional ikut menurun. Pada 2023, produktivitas rata-rata mencapai sekitar 617 kg per hektare, namun pada 2024 turun menjadi sekitar 616 kg per hektare. Meskipun penurunan tampak kecil, tren ini memperkuat sinyal stagnasi produktivitas yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir.
Dari sisi perdagangan, data BPS menunjukkan ekspor lada Indonesia masih cukup besar, tetapi juga mengalami dinamika yang mencerminkan fluktuasi pasar global. Pada 2024, volume ekspor lada nasional mencapai 55.475 ton dengan nilai US$ 311,28 juta, naik signifikan dari 23.818 ton senilai US$ 114,53 juta pada 2023. Kenaikan ini menunjukkan adanya pemulihan harga dan peningkatan permintaan dunia, terutama dari Vietnam, China, dan India.
Namun di sisi lain, impor lada justru meningkat tajam. Volume impor melonjak dari 450 ton pada 2023 menjadi 1.097 ton pada 2024 dengan nilai US$ 4,54 juta. Kenaikan ini menjadi anomali, mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen lada terbesar dunia. BPS mencatat bahwa impor tersebut didominasi oleh lada hitam (HS 09041120) yang mencapai 944 ton atau hampir 86% dari total impor lada nasional.
Tren impor yang meningkat di tengah penurunan produksi domestik mengindikasikan dua hal.
Pertama, kebutuhan industri pengolahan lada di dalam negeri yang belum dapat dipenuhi pasokan lokal. Kedua, adanya potensi masalah kualitas atau efisiensi produksi lada rakyat yang membuat pelaku industri memilih produk impor dengan standar tertentu.
Dari sisi ekspor, kategori lada putih (HS 09041110) masih mendominasi, menyumbang lebih dari 51,8% dari total ekspor 2024. Nilai ekspornya mencapai US$ 123,1 juta, sementara lada hitam menyumbang US$ 158,6 juta.
Negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Vietnam dengan volume 18.015 ton atau 32,47% dari total ekspor, diikuti oleh China dan India. Data ini memperlihatkan bahwa rantai perdagangan lada Indonesia masih sangat bergantung pada pasar Asia.
Foto: Ilustrasi Lada. (Pixabay)
Ilustrasi Lada. (Pixabay)
Perbandingan jangka panjang menunjukkan bahwa ekspor lada Indonesia telah turun dari lebih dari 60 ribu ton di awal 2010-an menjadi rata-rata di bawah 50 ribu ton per tahun dalam beberapa tahun terakhir. Ini menandakan berkurangnya keunggulan kompetitif Indonesia di pasar global, terutama dibanding Vietnam yang kini menjadi eksportir lada terbesar dunia.
Jika tren ini berlanjut, Indonesia berpotensi kehilangan peran strategisnya dalam rantai pasok lada global. Kebutuhan industri lokal dapat semakin tergantung pada impor, sementara petani lada kecil terus tertekan oleh biaya produksi tinggi dan harga jual rendah
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)


















































