Belajar dari Demo RI-Nepal, Chatib Basri: Rakyat Butuh Kerja!

8 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior yang juga merupakan Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Chatib Basri, mengungkapkan kesamaan penyebab terjadinya demo berdarah di Indonesia dan Nepal pada Agustus-September 2025.

Unjuk rasa yang sama-sama merenggut korban jiwa, kerusuhan yang meluas, hingga penjarahan di berbagai tempat termasuk rumah pejabat, menurut Chatib dipicu salah satunya karena negara gagal memberikan pekerjaan yang layak bagi masyarakatnya.

"Dalam kasus Indonesia, jika Anda ingat tentang kerusuhan Agustus lalu, kerusuhan sosial di Nepal dan Bangladesh, saya yakin ini ada hubungannya dengan kegagalan pemerintah menyediakan lapangan pekerjaan yang baik," kata Chatib di Harvard Center for International Development, dikutip Senin (3/10/2025).

Chatib menjelaskan, gagalnya negara dalam membuka lapangan pekerjaan layak itu terlihat dari status pekerjaan masyarakatnya yang mayoritas bergerak di sektor informal. Porsinya mencapai lebih dari 80% dibanding pekerja formal di Nepal, dan di Indonesia hampir 60%.

Pekerjaan informal ini merupakan profesi yang tak memiliki jaminan sosial hingga kesehatan lengkap, serta pendapatan bulanan yang rata-rata belum mampu memenuhi daya beli secara kuat.

Para pekerja informal itu pun kata Chatib selama ini tak memiliki akses untuk mendapatkan bantuan sosial dari negara, namun masih masuk kategori wajib pajak yang harus memenuhi segala kewajibannya kepada negara.

"Mereka tidak memenuhi syarat untuk perlindungan sosial, tetapi mereka harus membayar pajak. Dan isu ini sangat penting karena mereka merasa tidak menikmati pembangunan," tegasnya.

Permasalahan yang pada akhirnya memicu ketimpangan ini kata Chatib semakin meledak setelah masuknya keterlibatan media sosial. Infrastruktur digital itu kata dia mampu membuat masyarakat memahami esensi ketimpangan.

"Ketika kita berbicara tentang ketimpangan di masa lalu, gagasan tentang ketimpangan itu seperti gagasan abstrak. Itu samar. Namun saat ini, dengan media sosial, media sosial telah mengubah isu ketimpangan menjadi acara realitas sehari-hari," ucap Chatib.

"Karena Anda dapat melihat gaya hidup politisi, pejabat pemerintah, maka ini memperburuk keadaan. Jadi itulah mengapa isu penciptaan pekerjaan yang layak ini sangat penting," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, pada Februari 2025 silam, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan jumlah tenaga kerja informal di Indonesia masih sebanyak 86,56 juta orang atau 59,40% dari total penduduk bekerja. Sementara itu, jumlah pekerja formal hanya 59,19 juta orang atau setara 40,60%.

Dibandingkan Februari 2024, persentase penduduk bekerja pada kegiatan informal malah naik dari 0,23% poin. Sementara itu, untuk pekerja formal kebalikannya, yakni turun 0,23% poin.

Menurut laporan Market Brief LPEM FEB UI (Mei 2025) yang ditulis Muhammad Hanri dan Nia Kurnia, lonjakan pekerja informal didorong oleh gelombang PHK yang melanda berbagai sektor. Banyak korban PHK mencari penghidupan di sektor informal atau gig economy. Platform digital seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, hingga TikTok Shop menjadi pelarian cepat bagi mereka untuk tetap memperoleh pendapatan.

"Dan di negara seperti Indonesia, kita tidak punya asuransi pengangguran. Jadi, hanya orang kaya yang mampu menganggur. Kalau Anda miskin, Anda harus bekerja. Anda harus bekerja di pekerjaan apapun, meskipun itu informal," ucap Chatib.

Di Nepal, mayoritas tenaga kerja juga masih terserap di sektor informal dengan lebih dari 82% pekerja berada di sektor ini, menjadikannya salah satu yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Padahal, Nepal memiliki bonus demografi besar dengan populasi muda yang akan mencapai 22 juta orang pada 2030 mendatang. Sayangnya, penciptaan lapangan kerja masih sangat terbatas.

Industri manufaktur dalam negeri yang menyusut, sektor pariwisata yang belum berkembang maksimal hingga energi hydropower yang digadang-gadang sebagai motor pertumbuhan, gagal dalam memberikan dampak bagi penciptaan lapangan kerja.

Keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri, akhirnya mendorong masyarakat Nepal untuk harus bekerja di luar negeri.

Jumlah nya pun tak main-main, data Departemen Ketenagakerjaan Nepal mencatat lebih dari 893.000 izin kerja luar negeri di keluarkan pada tahun fiskal 2024/2025 yang merupakan angka yang sangat besar untuk negara yang jumlah populasinya hanya sekitar 30 juta jiwa.

Tak heran, remitansi kini menjadi penopang utama ekonomi Nepal, dengan menyumbang sekitar 33% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024, rasio ini sekaligus menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.


(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Demo Berdarah Pecah, Massa Bentrok dengan Polisi-16 Orang Tewas

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |